Aku sering
bertanya pada diriku sendiri apa yang aku lakukan dengan Arga selama ini. Kami
pergi ke tempat dimana kami dulu sering menghabiskan waktu. Dia menjemputku
kalau aku sedang lembur, mengantarkanku pulang hingga di depan apartemenku di
Darlinghurst sementara apartemennya berada di Ashfield. Tapi, aku sendiri juga
tidak berniat mendefinisikan apa yang terjadi diantara kami. Aku tidak tahu apakah ini residu dari
perasaanku padanya dulu atau perasaan yang benar-benar baru, aku masih belum
bisa memutuskan.
Jadi,
jangan salahkan aku ketika Doni bertanya padaku apa yang aku lakukan dengan
Arga aku justru berbalik memarahinya. Aku tidak butuh seseorang yang menghakimi
apapun yang sedang aku lakukan. That is
the last person that I needed. Sebenarnya, kemarahanku pada Doni hanyalah refleksi
kekesalanku pada diriku sendiri yang tidak bisa menjelaskan perasaanku. Aku
tidak perlu diingatkan bahwa apapun yang aku lakukan dengan Arga adalah salah. I already knew that. Dan, Doni adalah
orang terakhir yang aku harapkan akan menghakimiku. Kekesalan akan kenyataan
itulah yang menamparku berkali-kali menjadikan rasa kesalku menjadi monster
yang membuatku meninggalkannya hari itu. Monster itu seakan dibangunkan saat
dengan lancangnya dia menciumku.
God, Tris, just stop thinking about that
kiss. Damn it, Doni Rasyid, what are you doing with me?
Weekend ini Sydney agak mendung, angin
laut agak lebih kencang dari biasanya. Tapi, entah kenapa aku justru sangat
menikmatinya. Mendung dan angin laut seakan membuatku lebih bisa merenung,
berpikir apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Aku tidak bisa menghindari Doni
selamanya karena Gina belum tahu tentang hal ini tapi aku juga tidak bisa
berpura-pura tidak ada yang terjadi pada kami setelah hari itu.
“Tris,
what happen?”
“Nggak
ada, Ga. Kenapa sih?”
“Kamu
mungkin ada disini tapi aku tahu pikiran kamu kemana-mana. Kamu tiba-tiba
terlihat hilang gitu tadi.”
“Nggak
ada, Ga. Aku lagi mikir aja, banyak kerjaan akhir-akhir ini.”
“You know that I’m here, you know that you
can tell me everything, right?”
”Yeah, I know, Ga.
I know.” Aku menyandarkan kepala di bahunya seperti dulu hanya untuk
membuatnya diam agar dia tidak perlu banyak bertanya. Dan agar aku tidak perlu
menjelaskan apa yang terjadi padaku, betapa berkecamuknya hatiku saat ini
setelah ciuman itu. He doesn’t need to
know that.
“Tris?”
“Hmm.”
“You know what? I can do this forever.”
“Do what?” tanyaku mengerti ke arah mana
pembicaraan ini akan berujung.
“Let’s try again, shall we? Let’s give it a
try. Once more.”
Aku
diam, memejamkan mata sejenak. Dia tidak menatapku, matanya lurus melihat laut
di depan sana. Tapi, aku tahu dia serius, dia tulus berkata itu padaku.
Saat aku diam
saja, dia memanggilku sekali lagi. “Tris?”
“Hmm.”
“Kamu tidur ya?”
“Okay.”
Aku menjawabnya tanpa membuka mata, tapi aku tahu dia tersenyum. Entah kenapa
aku tidak tersenyum. Saat mengiyakannya aku hanya berpikir ini akan lebih mudah
untukku dan Doni. Aku akan bisa bertemu dengannya tanpa harus merasa canggung
karena kini aku bersama Arga. Doni tidak perlu berharap terlalu banyak tentang
hubungan kami dan kami akan bersahabat sama seperti sebelumnya.
Aku
kembali dari Port Jackson saat hari sudah menjelang siang, kami mampir ke salah
satu kedai makan di pinggir Port Jackson kemudian memutuskan untuk pulang. Saat
sampai di apartemen Gina sedang bersama Candra, tunangannya, memilih undangan
pernikahan mereka. Sama seperti yang aku lakukan bersama Arga lebih dari dua
tahun yang lalu. Wajah mereka juga sama dengan kami waktu itu. She’s glowing. My best friend is a bride to be. Don’t get me wrong. I’m so happy for them both. Aku hanya khawatir
Gina akan mengalami hal sepertiku, tapi aku juga sadar Gina bukan aku dan
Candra bukan Arga.
“Tris!”
teriaknya histeris saat melihatku masuk ke apartemen kami. “Come and help me with this.” Katanya
Aku
duduk di karpet melipat kakiku kemudian ikut membolak-balik pilihan undangan di
depanku. Arga juga ikut bersama kami. Aku tahu Gina tidak menyukainya tapi hari
ini dia tidak berkomentar apa-apa. Aku tahu dia akan selalu menghormati semua
keputusanku sama seperti aku menghormati keputusannya.
Setelah
kepulangan Arga dan Candra, Gina menyusulku ke kamar lengkap dengan piyama ungu
favoritnya. Dia tersenyum, senyuman yang tidak pernah hilang sejak Candra
melamarnya. Aku sendiri sudah gegoleran
diatas tempat tidur ketika akhirnya dia bergabung denganku.
“I can’t believe that I’m gonna get married soon.”
“Yeah, me too.” Kataku, dia masih
tersenyum matanya menerawang entah kemana.
“You know, Tris, I used to think that you’re
the one who’s gonna get married first.” Tuturnya pelan seakan takut
membuatku tersinggung.
Aku
tertawa membungkam semua kepahitan dalam suaraku, sebelum akhirnya menjawab, “Me too, Gin. But, life is full of surprise
and I’m so happy for you.”
“So, you and Arga
are what now? A friend? Couple? Or what?”
Aku menangkat
bahu, kadang Gina memang menyeramkan, tanpa memberi tahunya dia seperti sudah
tahu apa yang terjadi antara orang lain dan apa yang dipikirkan orang lain. “Gue
kan cenayang, Tris” katanya ketika waktu itu bertengkar dengan Arga dan kembali
ke apartemen.
Gina
menatapku masih menunggu jawaban, di bibirnya masih terulas senyum konyol
sedangkan alisnya dia mainkan seperti saat biasanya kalau dia sedang penasaran.
Aku mendesah keras sebelum menjawab. “Kind
of. Tadi Arga nembak gue and I said
yes.”
“Lo
tahu kan kalau gue bakal selalu bahagia dan dukung kalau itu kebaikan. He should be better this time. Gue nggak mau lo ditinggal lagi sama dia. No men worth your tears twice.”
“Iya,
gue tahu, Gin.”
“Jadi,
kalian udah ngapain aja?” dia melakukan ekspresi yang sama lagi.
Aku
tertawa kemudian menimpuk mukanya dengan bantal. “Nggak ngapa-ngapain.”
“No goodbye kisses? No sleepover?”
“Nggak
penting banget, ya, lo.” Sekarang giliran dia yang tertawa.
“By the way, Tris. Besok anterin gue cari
gaun ya. No women can do this without her
best friends.”
“Best friends? Lo mau ngajak siapa aja?
Temen lo sekampung?”
“Sialan”,
katanya. “Lo sama Doni.”
“Sebenernya,
gue sama Doni not in speaking terms right
now.” Kataku berusaha mengucapkannya senormal mungkin.
Dia
tidak bertanya hanya mengangkat alis seakan berkata “Serius? Kenapa?”. Jadilah
aku menceritakan kejadian siang itu tanpa menghilangkan detail apapun.
Saat
aku selesai bercerita Gina hanya mendesah kemudian berkata, “Udah gue duga.”
“Lo
udah tahu?”
“Nggak,
tapi sewaktu dia nanya ke gue tentang hubungan lo sama cowok yang di Freda’s
itu dia kelihatan marah banget. Nggak tahu juga kenapa. Mungkin dia udah tahu
kalau kalian ada masalah dan yang disakitin itu lo, bukannya Arga. Dia kan juga
tahu orang itu nggak mungkin ada hubungannya sama gue. Jadi, mungkin dia
nyimpulin sendiri.”
Dia
terlihat berpikir sebentar. “Tapi lo tetap mau nemenin gue kan? Sekali seumur
hidup lo doang, Tris. Kapan lagi gue nikah? Masalah Doni gampang lah.”
“Lo
nggak jadi ngajak Doni?”
“Ya
jadilah. Gue kan butuh pendapat dari cowok juga. Gampang lah, anggep aja ini
cara gue mendamaikan kalian. Biar nggak seperti kucing sama anjing.”
“I don’t think it’s a good idea.”
“Just promise me you’ll come.”
Aku
mendesah pasrah. “Okay. But, it’s gonna
get really awkward.”
Benar
saja, dua minggu kemudian ketika Gina, aku, dan Doni menyusuri Paddington
hingga Parramatta untuk mencari gaun pernikahan Gina, kami hanya berkendara
dalam diam. Hanya ada suara radio mengalunkan lagu Back To You milik John
Meyer.
“Come on, guys. What’s wrong with you two? It
should be fun!” katanya sudah tidak tahan dengan diamnya kami berdua.
Akhirnya,
Doni yang angkat bicara. Melucu seperti biasanya, jokes yang sering dia
lemparkan saat kami makan siang bersama. Aku hanya diam saja, bingung bagaimana
harus meresponnya. Aku hanya tertawa seadanya. Aku terselamatkan ketika
akhirnya kami sampai di toko keempat hari ini, terletak di Church St.
Parramatta, Bridal Secrets, memiliki toko bergaya gothic berbentuk seperti
gereja. Dindingnya berwarna cokelat seperti batu-bata yang sengaja tidak di
cat. Meskipun terlihat tua dari luar, di dalam toko ternyata sama sekali
berbeda. Dinding di dalam toko di cat dengan nuansa putih dan abu-abu. Terdapat
sebuah sofa berwarna hitam dan silver yang sengaja disediakan untuk pengantar a bride to be seperti aku.
Kami
hanya duduk bersama dalam diam ketika Gina mencoba gaun-gaun yang sudah
dipilihnya. Banyak hal yang sebenarnya ingin aku beritahukan kepada Doni
seperti bahwa aku sudah kembali lagi bersama Arga dan betapa aku marah padanya.
Namun, akhirnya semua itu tidak tersampaikan. Sepuluh menit kemudian, Gina
keluar dengan gaun Maggie Sottero berwarna putih. Gaun itu tidak terlalu rumit,
hanya sebuah gaun berbelahan dada rendah berbentuk v-neck tanpa lengan. Bagian
atasnya berbahan brokat sedang bawahnya terbuat dari satin panjang, terdapat
sedikit Swarovski pada bagian pinggangnya berbentuk seperti ikat pinggang. She looks amazing.
Ketika
dia keluar kami otomatis terpesona melihatnya dengan gaun itu. Dia membenarkan
bagian bawah gaunnya, kemudian menatap kami dengan rona bahagia meskipun aku
tahu dia lelah.
“Well, I hope this one is good enough. Aku
udah capek.” Katanya merajuk.
“You look stunning!” kata Doni. Aku ikut
mengangguk. Dia benar Gina terlihat luar biasa.
Gina
kembali ke kamar pas, saat itulah aku melihat iPhone-ku bergetar di meja. Arga calling.
“Hallo?
Iya, Ga?” jawabku. Aku memberi isyarat pada Doni untuk keluar sebentar. Dia
hanya mengangguk.
“Iya,
ini lagi nemenin Gina cari gaun. Di Parramatta. Kenapa, Ga?”
“Aku
susulin kesana ya?” katanya.
Udah gila dia, batinku. Tapi yang keluar
adalah, “Kamu lagi dimana memangnya?”
“Nggak
jauh, 10 menit lagi sampai.”
“Okay.
Aku di dalam ya, langsung masuk aja.”
Sepuluh
menit kemudian Arga sudah sampai di Bridal Secrets, dia duduk di sampingku
sementara Doni duduk tidak nyaman di depan kami. Aku juga tidak nyaman dengan
posisi seperti ini, aku merasa seperti sedang sengaja menyakiti Doni. Tapi,
Doni, as he always does, mulai
berbicara dengan Arga tentang hal-hal remeh seperti sepak bola. Mungkin, itu
cara Doni mengatasi kecanggungan diantara kami. Sedangkan aku mengatasi
kecanggungan dengan pergi dari situ dan berkeliling berpura-pura melihat gaun
apapun yang mereka pajang.
Gina
selesai fitting gaun itu setengah jam kemudian, ketika kami akan pulang, Arga
mengajakku untuk pulang bersamanya. Gina hanya mengangguk sedangkan Doni tidak
berkata apa-apa. Sebelum kami masuk mobil, Doni sempat memegang tanganku dan
membisikkan kata-kata yang tidak aku sangka akan keluar dari mulutnya, “Gue
bakal selalu ada disini, Tris. Kalau lo butuh apa-apa atau Kalau dia macem-macem
bilang sama gue, biar gue bekep.” Aku hanya tersenyum dan berkata, “I know.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar