Aku tidak
berniat untuk memberitahu Gina masalah pertemuanku dengan Arga. Aku datang
hanya untuk memastikan bahwa aku memang telah memaafkannya. Kami hanya duduk
berjam-jam di kedai kopi favoritnya—Starbucks. Aku sendiri tidak pernah
menyukai kopi, aku hanya meminumnya sesekali kalau sedang lembur gila-gilaan
atau sedang perlu kafein. Arga adalah pencinta kopi sejati, dia bisa membuat
kopi paling enak yang pernah aku rasakan. Dia membaca berbagai buku tentang
kopi, hobi memilih biji kopi, mengerti semua proses pembuatan kopi dari
pemilihan biji, roasting, grinding hingga brewing, dia mengerti jenis-jenis
kopi hanya dari mencium aromanya atau melihat bentuknya.
Aku
sering menggodanya masalah hobinya meracik kopi. “Kayaknya kamu lebih cocok
jadi barista, Ga, daripada jadi arsitek.” Begitu gurauku kalau dia sudah
terlalu serius menjelaskan masalah biji-bijian yang tidak aku pahami itu. Dia
hanya tersenyum, mengacak rambutku lalu mengecup puncak kepalaku. We have beautiful story once, Ga and I used to think we’ll have it as long as
we live. I was wrong, though.
Jadi,
hari ini seperti hari-hari yang lalu, aku duduk di depan Arga memesan minuman
yang sama. Aku setia dengan vanilla latte dan dia dengan black coffee-nya. Dia
selalu berkata “the blacker the better”.
Arga menyesap kopinya perlahan sebelum mengalihkan perhatiannya dari desain
apapun yang sedang dia buat.
“I missed this place, you know. And I miss you, Tris.” Katanya memecah
keheningan diantara kami.
“Memangnya
kamu udah nggak pernah ke sini lagi?” Tanyaku mencoba mengalihkan
pembicaraannya.
“Nope. Setelah hari itu aku udah nggak
pernah ke sini lagi. Aku cari tempat ngopi yang lain, tapi rasanya nggak pernah
sama.”
Kenapa?
Kenapa dia sudah tidak pernah ke sini lagi? Aku ingin menanyakan hal itu. Namun,
aku tidak siap untuk mendengar jawaban apapun yang akan keluar darinya. Jadi,
aku hanya diam saja dan menyesap latte-ku.
“It feels nice.” Dia mendongak, “Going back here.” Kataku melanjutkan.
Aku sendiri juga sudah tidak pernah kembali ke tempat ini setelah hari itu. Aku
hanya tidak ingin menemukannya duduk di tempat yang sama. Secara refleks aku
menjauhkan diri dari tempat ini. Menolak setiap ada teman kantor yang mengajak
ke tempat ini. Atau ketika kebetulan ada pertemuan di daerah itu, aku lebih
memilih untuk memutar arah berjalan lebih jauh daripada harus menemukannya di
sini. Mungkin, itu kesalahanku sejak dulu. Berlari menjauhinya bukan berhadapan
dengannya berkonfrontasi langsung.
Kami
mengobrol panjang lebar. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan ringan seperti apa
kabar. Hingga pertanyaan yang lebih susah untuk dijawab. Dia bertanya berapa
lelaki yang sudah menggantikannya setelah kami berpisah. Jawabannya mudah:
tidak ada. Aku bertanya bagaimana hubungannya dengan wanita itu. Katanya dia
sudah berpisah dengan wanita itu satu bulan setelah aku meninggalkan
apartemennya. Dan itu berarti, dua hari sebelum aku berpisah dengannya di sini.
Dia bertanya lagi kenapa aku tidak memulai untuk berkencan atau berhubungan
dengan orang lain setelahnya. Aku menjawabnya jujur, jawaban yang tidak pernah
aku akui pada orang lain. Aku tidak bisa mempercayai orang lain lagi setelah
pengkhianatannya hari itu. Aku tidak ingin terluka lagi.
“I’m sorry, Tris.” Katanya setelah
mendengar pengakuanku. “I’ve made you
like this.”
“It’s okay. The problem is not you. It’s on
me. Harusnya aku menyelesaikannya, bukan justru menutup pintu lalu membuang
kuncinya.”
“Is it okay?” aku menatapnya, menunggunya
melanjutkan, “meeting again like this?”
“I feel fine. Mungkin memang sudah
saatnya kita harus bertemu seperti ini. Menyelesaikan yang belum selesai.
Meskipun sebenarnya sudah selesai. Tapi entah kenapa aku merasa harus
menghadapimu, membiarkanmu menjelaskan semuanya. Membiarkan ini selesai dengan
baik-baik agar aku bisa mulai mempercayai seseorang lagi.”
“Have you ever regretted this, Tris? Us? If
you could use the rewind button, would you?”
“No. The only thing I regretted is that I let
you choose her over me. Kadang aku bertanya, apa salahku sampai kamu harus
mencari wanita lain untuk membuat kamu bahagia. But, everything happens for a reason, that’s what everybody says.”
“Do you believe
that? I’m really sorry, Tris. Maybe I’m just a dick after all.”
Aku tersenyum.
“Maybe. But, believing things happen for
a reason makes us easier to let things go. To move on and to accept it.
“Kenapa
kamu mau ketemu aku hari ini, Tris?”
“Nggak
tahu,” aku berkata jujur. “Mungkin karena kemarin malam aku menemukan kamu di
depan Freda’s dan ternyata aku merasa bisa menghadapi kamu. Atau mungkin, untuk
memastikan bahwa aku sudah memaafkan kamu.”
Kami
berpisah hari ini dengan janji yang sama untuk hari-hari selanjutnya. We’re like old friends, hanging out together.
Kadang, dia mengirimiku hasil gambarannya untuk proyek yang sedang dia
kerjakan. Sebagai balasannya kadang aku mengirimkan hasil pemotretan yang
menurutku menarik. Saat Gina akhirnya tahu kami sering bertemu dan berkirim
email dia hanya berkata, “I hope you know
what you’re doing.” Yang Gina tidak tahu adalah aku berharap hal itu juga.
Kadang
aku pergi menemani Arga mencari inspirasi untuk proyek barunya. Atau kadang aku
dan dia hanya duduk di Starbucks, dia menggambar apapun yang sedang melintas di
kepala dan aku mengetik naskah-naskah wawancara yang harus diserahkan kepada
Pak Bos paginya. Kadang, kami begitu larut dalam pekerjaan hingga yang
terdengar hanya suara keyboard, helaan nafas karena kami berdua sama-sama belum
puas dengan hasil pekerjaan kami atau suara obrolan orang lain.
Weekend ini kami berencana untuk
menghabiskan pagi di Sydney Harbor. Ketika aku mengajaknya dia hanya mengakat
alis meminta penjelasan lebih lanjut.
Aku
mengangkat bahu. “Cuman mau lihat pelikan aja. Siapa tahu Merlin sama Dory lagi
berenang disitu nyari Nemo.” Aku tahu Arga sangat menyukai film itu. Itu adalah
satu-satunya film kartun yang dia tonton. Arga bukan tipe-tipe cowok romantis
yang menyukai film seperti Dear John atau Life as We Know It. Arga lebih
menyukai film-film documenter yang membosankan seperti Trashed, An Inconvenient
Truth hingga March of the Penguins.
Tapi, malam itu berbeda, malam itu aku sedang flu Arga datang untuk
mengantarkan paracetamol dan aspirin. Gina sedang di luar kota mewawancarai
entah artis siapa yang sedang ada di Aussie. Jadi hanya ada kami berdua di
apartemen malam itu, aku memutar DVD Finding Nemo, sedang tidak bertenaga untuk
menonton acara TV, Arga duduk disampingku mengunyah popcorn sedangkan aku hanya
bisa puas dengan bubur seadanya masakan Arga. Aku tahu dia tidak pernah suka
film kartun, tapi malam itu dia hanya diam menonton hingga selesai. Dan saat
film itu selesai dia berkomentar, “Baru kali ini aku nonton film kartun bagus.”
Yang
tidak aku katakan padanya adalah alasanku yang sebenarnya. Aku hanya perlu
melihat pantai pagi ini. Aku hanya perlu menenangkan diri untuk melupakan
kejadian dua hari yang lalu ketika Doni dengan lancangnya menciumku di depan
Pablo & Rusty’s di bawah langit Sydney yang hangat hari itu. Terlihat romantis
kan? Tapi tidak saat orang yang menciummu adalah orang yang kamu anggap sebagai
saudaramu sendiri. Hari itu Doni mengajakku makan siang berdua di Pablo &
Rusty’s saat aku tanya kenapa Gina tidak ikut, dia hanya membalas, “Nggak
apa-apa kan berdua saja?” akhirnya aku hanya bisa mengiyakan.
Doni
sebenarnya bukan teman sekantor kami, dia adalah teman Gina sewaktu kuliah di
UNSW jadi aku merasa agak aneh ketika Doni mengajakku keluar berdua. Tapi, kami
memang sudah kenal jauh lebih dekat setahun belakangan. Doni bekerja di
Commonwealth menjadi analyst consultant, gedungnya lumayan jauh dari kantor
tempatku bekerja namun dia sering makan siang bersama kami berdua. Saat aku
tiba di Pablo & Rusty’s Doni sudah disana, duduk di tempat biasa.
“Udah
lama, Don?” tanyaku merasa bersalah.
“Nggak.
Baru aja, mau pesan apa?”
“Samain
aja, deh. Tumben ngajak makan berdua. What’s up?”
“Udah
deh makan dulu. Laper gue.”
Kami
makan dalam diam. Doni jadi agak pendiam siang ini dan dari
pengalaman-pengalaman sebelumnya, ini bukan pertanda bagus. Biasanya, ada hal
yang serius yang ingin dia sampaikan kalau si womanizer ini menjadi pendiam.
“Gina
udah cerita.” katanya, “I think you two
still has unfinished business.”
Aku
tidak paham kemana arah pembicaraan ini. Jadi, respon yang paling wajar adalah
aku hanya mengangkat alis.
“Don’t give me that look.”
“What look?”
“You look silly.”
“Okay. Who still has unfinished business?”
“You and the guy in Freda’s.” katanya,
suaranya terdengar malas, “Arga kalau nggak salah namanya.”
“Okay.
Jadi, Gina nyuruh lo buat ngasih ceramah ke gue masalah mantan calon suami gue?
I’m sorry, but, who are you?”
“I’m your friend, Tris. And I care about you.
Should I remind you that I’m your friend?”
“Sorry, Don. Gue juga nggak tahu apa yang
gue lakukan sama dia. I hope I know, just
like what Gina said. But, I don't. And I’m scared.”
“God damn it. Tris, he’s cheating on you. Why
you still give him second chances? What
are you doing really? ”
“I don’t. And I don’t want you talking to me that
way. Don’t talk about him that way either.” Aku membereskan barangku di meja
meninggalkan uang dan pergi dari Pablo.
Tapi Doni
mengejarku siang itu hingga di depan Pablo, dia mencengkeram tanganku erat
sebelum berkata, “Aku ingin melakukan ini sejak dulu.” Lalu dia menciumku. Ciuman
itu menuntut seakan dia ingin aku menyadari kehadirannya selama ini.
Saat akhirnya
dia melepaskan diri dariku aku hanya bisa berkata, “Friends don’t kiss.” Menampar wajahnya dan berbalik pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar