Doni membuka
pintu mobil kemudian aku dan Gina turun. Sydney sedang musim panas jadi malam
ini cuaca agak gerah. Angin laut berhembus pelan membawa lengket garam. Musim
panas seperti ini, pekerjaanku dan Gina sebenarnya sedang gila-gilaan karena
banyak gosip dan event-event besar diadakan pada waktu ini. Tapi, kami bertiga
justru berencana untuk menghabiskan malam di Watsons Bay Beach Club setelah
Doni memaksa kami untuk menemaninya menikmati panasnya summer di Sydney.
Agak
susah mendapatkan meja di Watsons dan entah pesona apa yang diberikan oleh Doni
akhirnya kami bertiga mendapatkan tempat duduk tepat di bawah pohon dengan
pemandangan laut di depan mata. A perfect
place for summer, I think. Kami menghabiskan malam dengan tiga gelas pinot
noir membicarakan apapun yang menarik malam ini.
“Udah
berapa cewek sih yang jadi korban lo, Don?” tanyaku malam ini di sela tawa dan
alunan musik di Watsons.
“Udah
ada kali sekampung kalo dibikin perumahan,” Gina menimpali membuat kami
tertawa.
“Sialan,”
umpat Doni pura-pura kesal. “Lagian pertanyaan lo salah, Tris. Yang bener
adalah berapa orang beruntung yang udah dapet pelajaran hidup dari gue.” Katanya
membela diri.
Kami
tertawa.
Aku
tersentak terbangun dari mimpiku. Itu mimpi tentang kejadian empat bulan yang
lalu ketika kami masih baik-baik saja dan kami bertiga seakan tidak
terkalahkan. Us vs the world. And look
at us now, tidur di ruangan yang sama namun practically looks like
stranger. Ruangan ini sedikit temaram, hanya ada dua buah lampu tidur di sebelah
kanan dan kiri ranjang. Doni tidur di sampingku dengan posisi duduk diatas
sofa, sedangkan aku meringkuk di sofa. Gina tidur bersama Candra diatas ranjang
tempat Candra dirawat.
Seminggu
yang lalu, saat sedang bermain bisbol tangan Candra cidera dan harus dirawat
karena mengalami keretakan. Hari itu, aku dan Gina sedang di kantor menulisi
undangan yang akan mulai disebar. Dan dengan paniknya Gina langsung bergegas
menuju rumah sakit.
“Tris,
what if it’s a sign? Gimana kalau ini
sebuah kesalahan? Gimana kalau ini pertanda gue sama Candra nggak harusnya
menikah?” dan racauan lainnya yang aku dengar selama di perjalanan.
“Gin,
Gin. Calm down, okay. It’s gonna be fine,
okay. Tarik nafas. Listen to me,
tarik nafas.” Kataku siang itu.
Dan
sore tadi ketika aku menjenguk Candra dan berencana menemani Gina tidur di sini
malam ini, Doni dengan entengnya menawarkan diri untuk menemaniku tidur di
sini. Aku sudah menolaknya dengan berbagai alasan tapi tak berhasil. Jadi,
akhirnya aku biarkan dia tidur di sini. Kami tidak banyak bicara, Doni lebih
sering bicara dengan Gina atau Candra tapi tidak denganku.
Aku
bangkit dari sofa berencana keluar dari ruangan ini, mencari udara segar Sydney
di musim gugur. Ada sebuah balkon kecil di dekat ruang rawat Candra, aku hanya
berdiam di sana mengamati jalanan Sydney di bawahku yang tidak pernah sepi
bahkan di waktu seperti ini.
“Tris,”
panggil seseorang dari belakangku.
Aku
menengok, hafal dengan suara orang yang memanggilku. “Hei, Don.”
“Nggak
bisa tidur?” tebaknya
“Nggak,
tadi kebangun aja. Lagi cari udara segar.”
Dia
tertawa. “Sydney has no fresh air, you
know that.”
Giliran
aku yang tertawa. Dia benar.
Sydney tidak
jauh berbeda dengan Jakarta, kota metropolitan ini memang tidak pernah sepi. There are always lives beating in this city.
Meskipun banyak taman kota yang dibangun disini, tapi tidak pernah bisa membuat
udara di Sydney menjadi bersih apalagi segar.
“Tapi, kadang
keramaian adalah hal yang dibutuhkan oleh orang-orang yang ingin membunuh sepi,
Tris.” Katanya merenung.
Aku hanya
memandanginya. “Yeah, walaupun kadang sepi yang disini,” kataku menunjuk hati,
“stay no matter how loud the city is.”
Kami berdua
sama-sama terdiam.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada tahun 2005,
Frank Warren mendirikan sebuah komunitas dimana setiap orang dapat mengirimkan
surat secara anonim dalam sebuah postcard. Surat tersebut dapat berisi apa
saja, tidak ada larangan dalam konten surat yang mereka kirimkan. Aturannya
hanya dua: jujur dan belum pernah diceritakan kepada orang lain. Surat-surat
tersebut kemudian akan dipilih dan diposkan dalam blog PostSecret.
Aku sendiri
terkadang membuka PostSecret saat keadaan di kantor sedang tidak terlalu sibuk.
Dua minggu yang lalu aku menemukan sebuah surat yang diposting oleh Warren
dalam blognya, postcard itu bergambar daisy dengan tulisan tersebar di seluruh
halamannya berbunyi, “When I pick daisy
petals, I always say: He loves me, he loves me, he loves me. Because I’m too
afraid of risking the other option.”
Dua minggu
berlalu dan kata-kata itu masih berhasil menamparku hingga sekarang. Kenapa?
Karena itulah yang selalu aku lakukan setiap kali aku bertemu dengan Arga
selama tiga bulan terakhir hubungan kami. Every
time I see him, I convinced myself that he loves me. Hal itulah yang
menjaga pikiranku tetap waras saat aku berkali-kali melihat Arga keluar bersama
sekertarisnya.
Arga memang
masih perhatian denganku, masih sering menjemputku ketika lembur, dan
menghabiskan waktu denganku ketika weekend. Kami sering hanya duduk diam berdua
menonton DVD dengan semangkuk popcorn di apartemennya ketika weekend dan kami malas
pergi kemana-mana. Sometimes, words
doesn’t matter, but the presence of ourselves. Tapi, pagi itu dua minggu
yang lalu, aku sedang bersama Doni keluar membeli sarapan, setelah semalaman
menunggu Candra. Kami berdua melihat Arga keluar dari mobilnya, membukakan
pintu lalu seorang wanita muda berusia sekitar 24 tahun keluar dari mobilnya,
aku mengenalnya dengan baik, wanita itu adalah Vivian sekertarisnya di kantor.
Doni yang
pertama kali melihatnya, lalu berlari kearah Arga dan menghujamkan tinju tepat
di rahang sebelah kanannya. Arga hanya terenyak kemudian berusaha berdiri
kembali sementara kami berdua, aku dan Vivian, hanya bisa menjerit histeris. Sampai
akhirnya, aku meminta Doni untuk berhenti.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Warren telah menerbitkan buku yang berisi surat-surat yang dikirimkan
kepadanya melalui PostSecret. Dalam bukunya, Warren selalu menyelipkan sebuah
cerita rahasia yang sengaja ia bagikan kepada publik. Warren pernah berkata
dalam bukunya yang berjudul My Secret, “Sometimes when we think we
are keeping a secret, that secret is actually keeping us.
Doni tidak pernah tahu bagaimana keretakan
hubunganku dengan Arga. Aku menyimpannya untuk diriku sendiri. Gina juga tidak
tahu tentang hal ini. Aku tidak berniat memberitahu Gina yang sedang hectic
dengan berbagai urusan pernikahan dan keadaan Chandra yang cidera. It’s his
second chances and he already failed twice.
Aku menemui Arga dua hari setelah insiden
kejadian itu, dia baik-baik saja meskipun lebam masih terlihat di dekat
rahangnya. Dia terkejut melihatku mampir di kantornya.
“Hi.” Sapaku, “How’s your wound?”
tanyaku sedikit khawatir. Aku membenci diriku sendiri yang masih khawatir.
“Nggak apa-apa.
Bentar lagi juga hilang. Tris, let me
explain it to you,” katanya berusaha menjelaskan sebelum aku menyuruhnya
diam.
“Nggak usah, Ga.
Nggak perlu,” kataku sedatar mungkin, “Maybe
we just not meant to be together. I
should know better that we won’t work. Kita sudah mencobanya sekali dan
gagal kan, Ga. And it’s the second time
we failed. Aku nggak mau ada yang ketiga, Ga.” Kataku tegas.
“Tris, you have
to trust me, please.”
“Trust is earned. And I don’t see you try. So
let’s just stop trying, Ga. Okay?”
Itulah terakhir
kalinya aku berbicara dengan Arga sebelum akhirnya bertemu lagi dengannya hari
ini. Hari ini adalah hari pernikahan Gina dan meskipun tangan Candra memang
belum sepenuhnya tetapi mereka berdua terlihat bahagia. They look perfectly happy. Pernikahan Gina didominasi dekorasi
berwarna mint dan ivory terlihat segar berpadu dengan cuaca Sydney yang cerah
namun tidak terik sore ini.
“Nih, gue
ambilin minum buat lo.” Doni mengangsurkan sebuah gelas berisi soda dan segelas champagne untuknya.
“Thanks, Don.
Sendirian aja lo?”
“Nggak, kan
berdua sama lo, Tris. Lagian gue kan udah insyaf,” katanya acuh.
Aku hampir
tersedak. “Ya, ya, ya. Look who's talking. Lo pikir gue nggak lihat daritadi lo flirting sama cewek sana sini..”
“Sialan,” katanya
kemudian tertawa.
Gina tersenyum
diatas kursinya melambaikan tangan ke arahku. Sedangkan Candra disampingnya
mengecup puncak kepala Gina dan tersenyum bahagia. Aku dan Doni sama-sama
melambaikan tangan.
“They do look great together, don’t they?”
“Yeah, they are.” Kataku tersenyum
“We do look great together, don’t you think?”
Aku hanya
tertawa sebelum menjawab, “You wish.”
Saat aku melihat
kembali kearah Gina dan Candra, mataku menemukan Arga datang bersama Vivian
bersalaman dengan Gina dan Candra dan berjalan ke arahku dan Doni. Saat
melihatku, Arga hanya menyapa kemudian berlalu. Aku teringat sebuah line dalam
salah satu episode TV series yang sering aku tonton bersama Gina, saat itu
Camille sedang berbicara dengan Marcel mengenai Klaus setelah menghabiskan
malam bersama Marcel kemudian Camille berkata, “Maybe it’s better to move forward instead of holding on things we can’t
change.”
Untuk Cami, Klaus is the thing she can’t change. Just
like, Arga, for me. In the end, I
understand somebody is never gonna change from the way they are.
“You’re okay, right, Tris?” Tanya Doni
setelah Arga berlalu, suaranya khawatir.
“I’m okay. Don’t worry about me. We’re like
friends now.”
Di
salah satu edisi PostSecret, ada sebuah kartu pos dengan foto siluet dua orang
yang sedang berdiri di dalam kolam renang di atasnya terdapat tulisan dengan
huruf kecil: “The funny thing is, nobody
ever really knows how much anybody else is hurting. We could be standing next
to somebody who is completely broken and we wouldn’t even know it.”
Yang
tidak Doni tahu adalah bahwa aku adalah seorang wanita yang sudah rusak dan aku
sendiri tidak tahu apakah masih bisa diperbaiki atau tidak.
“Tris,
I know this maybe too soon. But, I want
to be with you. We’ll take it slow, you can take all the time you need. I don’t care,
but let me be with you.” Katanya, matanya menatapku mantap.
“Don,
I’m broken.” Kataku lemah.
“I will fix you. You can take all the time in the world, Tris.”
Aku
tidak menjawab, you know what, Don, it’s hard
for me to trust someone all over again. In the end, you can’t trust someone it’s
only yourself.
“Dance with me?” katanya mengalihkan
pembicaraan saat aku tidak kunjung menjawabnya.
Aku
tertawa. “You’re joking, I can’t dance.”
“Oh, you can. Because your partner is professional
dancer,” katanya.
Aku
tertawa lagi. Dan dia benar, dia benar-benar mahir menari berbeda denganku yang
hanya mengikuti gerakan kakinya. Aku meletakkan kepala di pundaknya, menikmati
bunyi nafasnya yang teratur.
“You, know that I love you, right?”
tanyanya ketika musik hampir berhenti, dia memutarku wajahku menghadap matanya.
“I know,” kataku.
Dia
tertawa. Tawanya ringan, tidak seperti orang sedang tercekik atau tersendat
kehabisan nafas. In fact, he has nice
laughs. And one thing I realize: he’s growing on me.
-----------------------THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar