Some people say it is
love that keep us going. For me, it is work—job that keep me going. Bukan
berarti aku workaholic atau gila harta. I’m not. It’s just
much easier that way. Bekerja dari pagi sampai subuh, punya rutinitas yang
pasti setiap hari, tidak perlu bertanya-tanya kejutan apa yang akan dihadapi
hari ini karena biasanya tidak ada sesuatu yang spesial setiap harinya, kecuali
kalau Pak Bos tiba-tiba marah-marah meminta headline minggu ini diganti atau
revisi seluruhnya. Pekerjaanku hanya berkutat diantara kertas, pulpen, komputer
dan telepon. Bangun, lapor Bos Besar, sarapan, berangkat, membuat kopi,
menyerahkan draft, revisi, rapat, lapor Bos Besar, makan siang, menyerahkan
draft, revisi, lapor Bos Besar, pulang, mengerjakan judul baru, lapor Bos
Besar, tidur, kemudian mengulang semua itu lagi setiap harinya. My life seems boring,
right? But, I don’t find it boring. Karena kehidupan diluar itu jauh lebih
sulit untuk dijalani.
Kadang, kalau keadaan sedang
tidak hectic seperti
hari ini, Gina, teman dekatku akan menarik kursinya ke arah mejaku kemudian
menatapku sebentar dan bertanya, “Are you okay?”
aku tahu dia hanya khawatir, namun dia juga tahu bahwa aku akan selalu
menggangguk mantap dan menjawabnya tanpa keraguan, “I’m okay. Why can’t I
be?”
Namun, yang tidak dia ketahui
adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul setelah jawaban itu. Pertanyaan yang
hanya bisa diajukan kepada diriku sendiri. Apakah aku
benar-benar baik-baik saja? Kadang, aku dengan mudah menjawabnya. Namun,
kadang, jawaban yang tidak aku inginkan muncul. Dan, secepat kemunculannya,
secepat itu pula aku mengenyahkannya. Aku baik-baik saja.
Aku sudah mengulang kata-kata itu selama dua tahun seperti mantra.
Aku hidup merantau berdua
dengan Gina sejak lulus SMA, meninggalkan Yogyakarta untuk kuliah di Sydney dan
memutuskan untuk tidak pernah kembali lagi setelahnya. Setiap weekend Bunda
selalu menelponku, sekadar memastikan anak perempuannya baik-baik saja, “Piye, Nduk, kabarmu?”
selalu begitu pertanyaan Bunda saat menelponku. Jawabanku juga selalu sama,
jawaban standar yang selalu aku berikan kepada orang-orang yang bertanya
keadaanku. Aku baik-baik saja. Bukan karena aku tidak terbuka dengan Bunda,
hanya saja aku tidak ingin membuat Bunda khawatir dengan keadaan putrinya yang
jauh darinya.
Setelah jawaban itu, Bunda selalu menghela nafas
sebelum berkata, “Nduk,
kamu tahu kamu selalu bisa cerita ke Bunda masalah apa saja, kan?”
Aku mengangguk, meskipun tahu
Bunda tidak akan melihatnya, “Iya, Nda, saya tahu.”
Itu percakapan seminggu yang
lalu, Bunda akan menelponku lagi nanti malam dan entah kenapa aku enggan untuk
bicara dengannya. Mungkin, karena setiap pertanyaannya hanya akan aku jawab
dengan kebohongan lagi, kebohongan yang sama setiap minggunya selama dua tahun
terakhir. Atau mungkin, aku memang baik-baik saja. Aku rasa aku mulai kurang
kafein karena mempercayai kebohongan yang aku buat sendiri.
“Tris! Trisa! Earth to Trisa!”
Gina memanggilku, menjetik-jentikkan jarinya di depan mataku.
“Apaan sih, Gin,” jawabku
malas.
“You seemed off,”
katanya, matanya menatapku khawatir sedangkan tangannya yang lain memegang file
yang sudah siap diantar ke Pak Bos.
“Nggak, eh, itu headline yang
mau dicetak besok, kan? Sini gue lihat dulu,” kataku berusaha menjauhi topik
yang sebenarnya. Gina hanya mengangsurkan file itu dan menarik kursi duduk di
depanku.
“Okay, udah bagus nih, gue
anter ke Bos dulu. Tunggu disini. Abis ini kita lunch bareng,
udah laper gue,” kataku sambil berlalu.
Sepuluh menit kemudian aku
keluar dari ruangan Bos dengan senyum lebar. Satu slot sudah terisi, tinggal
mengerjakan yang lain.
“Gimana? Bos setuju?” Gina
menghadangku di luar ruangan Bos.
“Yep, kita bisa lunch dengan
tenang.
Gina meraih iPhone di saku
blazernya. “Bentar, gue ajak Doni dulu."
Jadilah kami bertiga terdampar
di Pablo & Rusty’s menikmati nitro coffee-nya yang terkenal dan roast
chicken sandwich. Pablo & Rusty’s adalah salah satu dari sekian banyak bar
dan kafe yang tersebar di sekitar Sydney CBD. Tempatnya cukup nyaman dengan
interior bernuansa kayu dan cat hitam yang mendominasi ruangan. Halaman
depannya bersentuhan langsung dengan Castlereagh Street.
“Tris, gue ada party nih besok
di Freda’s,” Doni yang sejak tadi tidak berhenti mengunyah sandwich tiba-tiba
menyeletuk.
“Nggak ah, males gue, mending
tiduran di rumah,” kataku malas. Aku bukan anak rumahan sebenarnya, namun
kerjaan yang gila-gilaan kadang membuat seseorang lebih menghargai waktu di
rumah daripada harus clubbing kesana
kemari kemudian paginya hangover.
“Come on, Tris. It’ll
be fun, promise. Sekali-kali nggak apa kan lo keluar cari kesenangan,”
sekarang giliran Gina yang merayuku.
“Capek gue, Gin. Nggak penting
juga disana, palingan kalian yang teler cuman gue yang sober akhirnya gue juga
yang nyopirin kalian balik.”
“Nah, itu tahu. Lumayan kan
kalo lo ikut, Tris. Gue sama Doni nggak perlu bayar taksi.”
Dasar si sableng ini.
Akhirnya, setelah birokrasi panjang lebar dan janji sana-sini, aku mengiyakan.
Namun, aku segera menyesali
keputusanku mengiyakan mereka hari itu karena malam ini aku hanya duduk di
salah satu sudut Freda’s puas dengan segelas mocktail membiarkan kedua temanku
menari di lantai dansa. Mereka sempat mengajakku tadi tapi aku masih cukup
waras untuk tidak ikut menari bersama mereka. Tiba-tiba iPhone di saku celanaku
bergetar, aku melirik jam tangan sebentar.
“Halo, assalamualaikum. Iya,
Nda?” sapaku berusaha mengalahkan kebisingan.
Aku menoleh ke arah Doni dan
Gina memberi isyarat untuk keluar sebentar. Mereka berdua hanya mengangguk
sebentar kemudian lanjut menari.
“Halo. Iya, Nda? Maaf tadi
nggak kedengeran, nemenin Gina sama Doni, Nda.”
“Oh, yasudah. Nanti saja,
Bunda telepon lagi. Jangan pulang malam-malam, Tris. Nggak baik,” kata Bunda
kemudian menutup telepon.
Aku berbalik berencana masuk
kembali ke dalam. Saat itulah aku melihatnya, seorang laki-laki yang sedang
membungkuk di sebelah kanan pintu masuk. Akal sehatku menyuruhku untuk
membiarkannya saja tetapi kakiku secara refleks berjalan ke arahnya, tidak tega
melihatnya muntah sendirian. Aku menghampirinya. Setelah dua tahun dalam
hidupku, aku menghampirinya.
“Are you okay?”
tanyaku hati-hati, takut tiba-tiba dia muntah di sepatuku.
Dia tidak menjawab, tangannya
hanya menyuruhku untuk menjauh. Setelah lima menit dia berhenti muntah dan
terlihat lebih baik.
“Are you okay?”
aku mengulangi pertanyaanku sekali lagi.
Dia tersenyum samar. “Yeah, I’m fine.”
“Come on. Let me take
you inside, you need water.”
Dia hanya menurut, tidak
memiliki tenaga untuk membantah.
Setelah meminum beberapa
tegukan dia terlihat membaik, rona pipinya telah kembali. Dia tertawa kecil. “Thanks and sorry. I’m
really messed up right now.” katanya tertawa lagi
“It’s fine. Feeling
better?"
“Yeah. It’s been two years,
right?”
“Iya, nggak kerasa ya,” aku
tertawa lemah tidak berani melihat matanya, tanganku memainkan gelas di
depanku.
“How have you been?”
“Fine, nothing special,”
aku menjawab seadanya, “What about you?”
tanyaku sopan.
“Sama, aku baik. Sama siapa
kesini?”
“Sama mereka,” tanganku menunjuk
Gina dan Doni.
“Oh, I think you two
look great together,” katanya. Aku tidak paham siapa yang dia maksud. Aku
dengan siapa?
“Aku? Sama siapa? Doni?”
“Iya, kalian serasi,” katanya
sambil meneguk sparkling water.
Aku hanya tertawa, benar-benar
tertawa seperti tidak pernah tertawa sebelumnya. “Are you joking? We’re
friends, Ga,
nothing special,” kataku masih sambil tertawa. Dia hanya dia mengangkat
bahu. Sementara aku masih tertawa tidak habis pikir.
Gina melihatku tertawa
kemudian menghampiri kami, Doni mengekor di belakangnya. Mukanya berubah ketika
melihat siapa yang duduk bersamaku, “Hai, Ga.” sapanya sopan.
“Hai, Gin. What’s up?"
“I’m good. We’re about
to leave. See you around, Ga,” kata Gina menarikku dan Doni pergi dari
Freda’s.
Sepanjang perjalanan Gina
diam, tidak berkata apa-apa. Doni yang baru mengenalku dan Gina satu tahun
belakangan tidak tahu apa yang terjadi malam ini jadi dia juga ikut diam. Aku
juga diam hanya ada suara radio yang sedang memutar lagu Paperweight milik
Joshua Radin dan Schuyler Fisk.
“Gin, say something,
please,” kataku sesampainya di apartemenku dan Gina aku tidak tahan lagi
karena dia tetap diam saja.
“Aku harus ngomong apa, Tris?
Kamu lebih tahu dari aku harus gimana.”
“Aku nggak tega, Gin. Dia tadi
muntah sendirian di depan Freda’s. What am I supposed to
do? Diemin aja?”
“Are you okay? Meeting
again with him like this?” tanyanya, sorot matanya melunak.
“I’m okay. What if I
already forgive him? Gimana kalo ternyata aku udah maafin dia? Karena tadi
aku benar-benar baik-baik saja.
“You may forgive but
you won’t forget, Tris. You know that,” katanya pelan, “Udah ah, gue mau
tidur, pusing gue,” katanya berlalu.
Dia benar, aku mungkin sudah
memaafkannya. Namun, apa yang terjadi tidak akan pernah terlupakan. Tidak ada
hal yang luput dari ingatan seseorang. Tidak ketika ingatan itu terlalu
menyenangkan atau terlalu menyakitkan. Seperti untuk seseorang yang telah
menganggur bertahun-tahun, tidak akan pernah melupakan bagaimana rasanya mendapatkan
gaji pertama. Untuk seseorang yang telah menunggu buah hati bertahun-tahun,
kamu tidak akan lupa bagaimana rasanya ketika mendengar bayi mungil itu
menangis pertama kalinya. Atau untuk seseorang yang telah kehilangan orang yang
dicintainya, Kakek, Nenek, Adik, Kakak, Bapak, Ibu, kamu tidak akan pernah lupa
bagaimana rasanya sakit itu. Karena beberapa rasa sakit tidak pernah
beradaptasi, kamu tidak akan pernah terbiasa dengan perasaan sakit karena
kehilangan.
Dan untukku, aku tidak akan
pernah lupa bagaimana rasanya ketika melihat Arga calon suamiku, yang dua
minggu lagi akan menikah denganku, aku temukan tidur bersama perempuan lain di
apartemen kami. Aku tidak akan lupa bagaimana rasanya ketika melepas cincin
tunanganku, mengepak kembali barang-barang yang sudah aku pindahkan ke
apartemennya dan kemudian kembali ke apartemenku dan Gina. You may forgive, but
you won’t forget. Gina benar.
Let me tell you about
the day I left him. Aku masih ingat benar hari itu, Kamis 23 Januari 2014.
Aku memutuskan untuk pulang lebih awal, berencana makan malam bersama Arga.
Hari itu aku berencana memasak untuknya, aku sudah membeli red wine untuk
kita berdua. Merayakan promosi jabatanku menjadi senior editor. Aku memiliki
kunci apartemen Arga sejak kita memutuskan untuk menikah. Jadi, hari itu
seperti hari-hari sebelumnya, aku membuka pintu apartemen, meletakkan wine dan jaketku,
kemudian berencana mandi sebelum memasak. Aku masuk ke kamar Arga dan menemukan
wanita itu, di balik selimut Arga. Arga hanya mendongak, matanya terkejut
menemukanku di ambang pintu. Aku hanya diam, menutup pintu, kemudian pergi dan
tidak pernah kembali lagi ke apartemennya.
Arga berusaha menghubungiku
ratusan kali setelah hari itu. Menemuiku di apartemen, menghadangku di lobby
kantor, menelponku, mengirim email, mengirimkan pesan melalui pos, bahkan
meminta Gina untuk membujukku bertemu dengannya. Hingga suatu hari, aku
menemuinya, Arga selalu menghabiskan waktunya di Starbucks menyiapkan rancangan
proyek-proyeknya, seperti hari itu. Aku menemukan Arga duduk di tempat
biasanya, wajahnya terlihat serius sedangkan tangannya bergerak diatas kertas.
Aku pernah bertanya padanya dulu, saat kita masih bersama, kenapa dia selalu
memilih duduk di dekat jendela. Dia mendongak dan tertawa kecil sebelum menjawab,
"Karena, Tris, dari sini kita bisa lihat orang di luar sana."
"Ga, aku tanya
beneran."
"Okay. Karena dari
sini kita bisa lihat orang di luar sana, jadi pengamat. Seperti orang yang
duduk menonton dari pinggir panggung. Wondering what they might think. It's
like we are here, but weren't here in the same time."
Namun, hari itu, dia masih
berkutat dengan kertas dan pensil ketika aku datang kemudian duduk di depannya.
Dia mendongak, matanya terlihat gembira. Hari itu, kita tidak membicarakan
tentang mimpiku atau mimpinya, tidak membicarakan tentang desain yang sedang
dia kerjakan atau rencana breakfast Sabtu pagi. Hari itu adalah hari yang
benar-benar berbeda. Aku hanya tersenyum tipis, memberinya tanda untuk diam
sebelum aku bicara.
“Ga, aku cuma mau mengembalikan
ini,” kataku melepas cincin yang sudah satu setengah tahun melingkar di jari
manisku. Aku meletakkannya di meja, mengecup pipinya sekilas. Dia tahu bahwa
itu adalah kecupan perpisahanku untuknya, jadi dia hanya diam, matanya
mengamatiku hingga aku keluar dari Starbucks siang itu. Dan kami tidak pernah
bertemu lagi setelahnya, hingga malam ini.
Kata orang, when someone gets
hurt they won’t be the same people anymore. Itu juga yang terjadi padaku
setelah hari itu. Jadi, setelah hari itu aku menyibukkan diri dengan bekerja
bahkan saat weekend,
Gina sering mengajakku keluar atau bahkan secara terus terang menjodohkanku
dengan teman-temannya tetapi aku selalu menolak. Saat itulah aku sadar apa yang
hilang dari diriku. Kepercayaan. Aku tidak pernah mempercayai lelaki lagi
setelah kejadian itu. The only people who
can hurt you is the one you loved the most. Hidup akan lebih mudah ketika
kamu menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menyakitimu. Aku menjauhi sebanyak
mungkin lelaki setelah kejadian itu.
Sampai pagi ini, ketika
ponselku berbunyi dan ada sebuah pesan masuk dari nomor yang telah aku hapus
namun masih aku hafal. Shit, Ga, I can erase
you but I can’t forget you. Hanya satu kata, “Coffee?” dan
entah karena dorongan apa aku mengetikkan jawaban, “OK.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar