Jumat, 19 April 2013

Bukannya Dunia Bisa Kalah?


Bukannya Dunia Bisa Kalah?
Pagi itu, matahari tak nampak dimanapun. Awan kelabu menggelayut mesra, menawan matahari lengkap dengan cahayanya. Aku membuka mata perlahan, tidak ada sinar mencolok, tidak ada kewajiban lain. Lalu apa? Aku kembali menghempaskan diri ke ranjang. Pengumuman kelulusan sudah dilakukan sejak dua minggu yang lalu dan aku menjadi pengangguran. Sesekali, aku pernah pergi ke sekolah sekadar menghabiskan waktu. Tapi, pagi ini aku disini—di sebuah kota dengan jalan penuh lubang, sebuah kota yang berada di sebelah barat Provinsi Jawa Tengah. Aku kembali membuka mata pagi ini, kepalaku masih pusing akibat perjalanan delapan jam ditemani jalan penuh lubang.
“Sarapan dulu, Meg. Sudah jam delapan,” kata Yumna yang aku yakin berada di luar kamar. Aku hanya mengeliat dan berujar dengan setengah sadar. Lalu hening. Aku ternyata telah kembali, tertidur dalam suasana pagi kota Brebes.
Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh ketika aku benar-benar menemukan kesadaran untuk bangun. Aku berjalan menuju kamar mandi di samping kamar, menghidupkan keran lalu merasakan airnya yang agak hangat menyentuh kulitku. Aku hanya berlibur di sini—awalnya, tapi siapa sangka hidup yang semula terasa sangat mudah menjadi se-mengejutkan ini?
“Om Niko sakit apa, Bunda?” tanyaku waktu kami sampai di rumah sakit tempat Om Niko dirawat.
“Gagal ginjal, berdoa aja ya semoga semuanya baik-baik saja,” kata Bunda malam itu. Tapi, Om Niko berkeras bahwa dia tidak akan melakukan cuci darah.
Om Niko adalah ayah Yumna, dan dua orang anak Om Niko lainnya yaitu Reza dan Kiko. Ketiga anaknya masih bersekolah, Yumna sekarang kelas tiga SMA, Reza kelas satu SMA, dan Kiko baru kelas tiga SD.  Aku pernah berekpektasi buruk tentang mereka karena—yang benar saja—Yumna yang sudah kelas tiga SMA tidak bisa mengendarai sepeda motor, dan tidak bisa memasak, sedangkan Reza dia mungkin lebih tidak manja daripada yang lain tapi dia justru tinggal di Pondok Pesantren, dan Kiko aku tidak menyalahkannya umurnya baru sepuluh tahun, jadi yang dia tahu hanya bermain dan berteriak agar kebutuhannya terpenuhi. Keluarga itu, semuanya terpusat pada sosok Om Niko kebutuhan mereka semuanya dipenuhi Om Niko bahkan untuk urusan lauk pauk dan masak-memasak.
Aku berlibur di kota ini selama tiga hari dan hari pertama tentu dihabiskan dengan menjenguk Om Niko di Rumah Sakit Kardinah, Tegal. Hari kedua, aku akhirnya bisa menikmati liburanku yang sebenarnya, pukul sepuluh pagi aku dan keluargaku yang lainnya bertolak ke Pantai Randusanga. Pantai itu berada di pesisir utara Pulau Jawa dengan jarak kurang lebih lima belas kilometer dari kediaman Om Niko. Pantai berpasir putih dengan banyak pecahan kerang, pantai yang relatif sepi dengan ombak yang tenang—khas pantai utara dan hari itu, aku melihat sorot kebahagian lagi di mata itu—di mata Kiko.
“Ayo, Dit! Lempar bolanya,” seru Kiko, kakinya basah ditempa ombak. Adit melempar bola ke a rah pantai lepas, dan seketika itu aku tahu bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana kau bernafas, sedikit berusaha dengan banyak efek.
“Ayo sini, lempar ke aku,” kataku berusaha untuk ikut menambahi kebahagian mereka. Lalu tanpa disuruh kakiku melangkah mendekati Adit dan berusaha menjatuhkannya di pantai. Kalian tahu? Betapa kami terlihat seperti keluarga bahagia, seperti tak punya beban. Padahal disisi lain, kami semua tahu bahwa kematian selalu ada didepan mata kita.
“Wah, buka baju segala. Sudah kayak artis aja,” kata Om Deni melihat setelan bajuku hanya dengan tank-top, maklum tidak ada persiapan untuk berbasah-basahan.
“Biarin, biar mobilnya nggak basah,” kataku mengelak sambil terus berusaha menjatuhkan Adit.
Setiap waktu berlalu dengan cepat ketika kita menikmatinya, setiap waktu bersama orang yang membuat kita tertawa, setiap waktu yang membawa kita menerawang sambil tersenyum bahagia, setiap waktu dan tempat yang selalu punya cerita bahagia.
Tapi, tepat enam bulan setelah vonis dokter, Om Niko meninggal. Kalian tahu betapa buruknya saat itu? Betapa buruknya saat melihat Bundaku menangis ditelepon? Melihat Bundaku sama sekali tidak bisa berpikir jernih dan hanya bisa mengikuti kata hatinya? Betapa buruknya saat aku tahu bahwa Om Niko tidak pernah berhenti berusaha bertahan hidup? Memang Om Niko tidak mau mengikuti program cuci darah, tetapi beliau tidak pernah berhenti mencoba pengobatan-pengobatan alternatif dengan obat herbal. Om Niko hanya tidak ingin menyusahkan orang lain untuk mengantarkannya pergi cuci darah di Rumah Sakit. Betapa mencekamnya malam itu seakan setiap dering telepon hanya akan menambah satu kabar buruk.
Dimulai dari satu dering telepon malam itu, “Tante, Bapak kritis. Tante harus ke sini, sekarang,” kata Yumna malam itu, dan bundaku hanya bisa bilang, “Maaf, Yum. Tante nggak ada sopir, Om Indro juga baru aja kecelakaan, nggak bisa nyopir.”
Kemudian dering telepon kedua, yang terdengar hanya suara tangis Yumna dan semuanya menjadi lebih jelas, semuanya menjadi lebih buruk. Om Niko meninggal.  
Satu hal yang terburuk saat itu adalah ketika aku sama sekali tidak bisa meneteskan air mata, ketika pukul 13 siang aku sampai di kota itu lagi, ketika aku melihat mayat Om Niko membujur kaku dengan dibungkus kain kafan. Melihat tubuhnya membiru dan kapas putih menutupi setiap lubang di wajahnya, yang aku tahu saat itu bahwa aku sama sekali tidak akan pernah merasa kehilangan Om Niko—bahkan sampai sekarang—karena setiap tawanya, setiap suaranya masih terpatri jelas diingatanku.
“Pak, kok aku nggak bisa nangis ya?” tanyaku sore hari setelah Om Niko dikuburkan.
“Sedih itu nggak harus nangis kan?” kata Bapak saat itu, “Bapak aja nggak bisa nangis, kalau kamu nggak bisa nangis itu bukan karena hati kamu yang kayak batu, orang itu beda-beda,” kata Bapak lalu meminum teh hangat di depannya.
Kami menghabiskan dua hari berkabung—dua hari penuh abu-abu—di rumah Om Niko akhirnya, sebelum kami bertolak ke Yogyakarta sore itu kami lebih dulu mendatangi makam Om Niko dan berdoa disana.
“Yum, tante balik dulu ya? Jaga ibu, jaga eyang, jaga adik-adik,” kata Bunda sore itu diringi air mata yang entah mengapa sore itu bisa aku rasakan.
“Iya, Tante. Tante hati-hati ya, sering main ke sini,” kata Yumna memeluk bunda.
Tiga bulan setelah kepergian Om Niko, Yumna mengikuti Ujian Nasional untuk SMA dan ketika pengumuman jalur undangan, Yumna diterima di Universitas Negeri Semarang jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar seperti mendiang ayahnya dahulu. Hidup harus terus berjalan, kan? Tidak peduli apa yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu? Kita sendiri yang memutuskan untuk sukses atau tidak,kan? Bukan orang lain? Kita tidak akan maju, kan? Sampai kita sendiri yang memutuskan kalau kita akan bergerak maju? Sampai kita sendiri yang memutuskan untuk mengalahkan dunia? Bukannya dunia akan mengerahkan seluruh tangannya ketika kita benar-benar berusaha?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar