Kamis, 07 Juni 2012

Cinta Itu Berlegenda


“Hallo. Iya yang. Aku sama mama udah nyampe bandara,”
“Iya. Eyang di sebelah mana?” tanyaku sambil mataku berkelana mencari sesosok nenekku diantara kerumunan orang yang juga mencari anggota keluarga mereka.
“Tea,” panggil seseorang dibelakangku yang kemudian disusul pelukan hangat dan erat.
“Eyang,” seruku juga setelah bangun dari keterkejutan yang melandaku.
“Kamu kok ya baru pulang, eyang udah kangen sama kamu. Mana mama?” tanyanya lembut.
“Di kamar mandi, Yang. Eyang tetep cantik deh, nggak keliatan tambah tua. Aaaa aku kangen banget sama eyang,” aku memeluknya makin erat.
“Bu,” sapa mama seraya mencium tangan eyang. Orang tuanya yang 10 tahun terakhir sudah jarang kami kunjungi.
“Aduh, kamu ini lho Nduk. Lama banget nggak balik ke Yogya.”
“Maaf, bu. Tea baru aja selesai SMA baru kemaren kelulusan. Jadi baru bisa pulang.”
“Yaudah, yaudah nggak apa-apa. Langsung pulang dulu aja ya? Istirahat dulu besok baru keliling-keliling Yogya.”
Aku Thealika Viona Annora. Aku anak pertama juga anak tunggal. Hari ini hari kepindahanku ke kota pendidikan. Yogyakarta. Mamaku akhirnya bisa meyakinkanku bahwa keputusannya pindah ke Indonesia setelah kepergian Papa adalah keputusan yang terbaik. Aku sudah 13 tahun tinggal di Negara kangguru – Australia.
Pagi harinya, aku baru merasakan udara yang bertiup disini tak sedingin di Aussie meskipun temperature rata-ratanya tak jauh berbeda. Tapi, kelembaban kota ini jauh lebih tinggi daripada Aussie—ya, maklum saja kawasan disana memiliki curah hujan yang tidak cukup tinggi daerahnya sebagian besar berupa gurun. Aku tinggal di Negara Bagian Victoria. Di kota Melbourne, kota yang mempunyai tempat kedua dalam kriteria kota yang paling layak dihuni di dunia.
“KRIIIIIIIIIIIIIIING!” jam beker pemberian Mama berbunyi nyaring sekali di kupingku.
“Ugh!” erangku. Cahaya matahari yang masuk lewat jendela membutakan mataku sejenak sampai sel kerucutku mampu merespon cahaya matahari yang cerah dari arah timur.
Well, untunglah matahari terbit masih dari timur. So, aku pikir kiamat nggak bakal datang deket-deket ini,” gumamku. Aku masih belum mendapatkan kesadaranku secara penuh, sekarang mataku sudah mulai terbiasa dengan cahaya terang matahari. Mataku mengamati kamarku.
PINK!!” pekikku kaget melihat cat dindingku berwarna superduper cewek banget. Sebenarnya memang sudah dari dulu berwarna merah muda. Tapi untuk sekarang? Oh my god! Setidaknya aku sekarang sudah menjelang delapan belas tahun.
“Kenapa sih, The?” tanya Mama yang menghambur ke kamarku karena kaget mendengar pekikanku yang keras.
“Ma, Thea mau kamar ini dikasih wallpaper aja. Nggak usah dicat. Boleh, Mom?”
“Yah. Mama usahain deh.”
“Emuaaaah. Thanks, Mom. You’re the best Mom in the world. Emuah,” kukecup keningnya sekali lagi.
“Kamu kalo lagi ada maunya ya kayak gini. Iiih.”
“Jadi keliling Jogja, ma hari ini?” tanyaku setelah aku turun dari kamar dan bergabung dengan eyang di ruang makan.
“Jadi dong, mau kemana aja?”
“Wherever. Aku ngikut mama aja, aku kan udah lama nggak pulang.”
“Oh iya. Eyang lupa, hari ini putrinya sultan nikahan. Acaranya kayaknya bakalan seru dan sarat tradisi. Kenapa nggak nonton itu aja?” ajak Eyang.
“Dimana, Eyang?”
“Jalan Malioboro di dekat Bank Indonesia.”
Can we go there, Mom?” tanyaku memelas —setidaknya aku rasa mukaku telah menunjukkan ekspresi memelas yang optimal.
“Ya. Good idea,” seru Mama menyetujui.
Aku berdandan simple dengan pita abu-abu menghiasi kepala, baju biru tipis dari bahan kain dan celana abu-abu yang membungkus pahaku indah menunjukkan bentuk pahaku yang panjang dan kecil.
Acara belum dimulai saat aku sampai di depan Bank Indonesia. Banyak orang berjejalan di sepanjang jalan yang kulalui tadi, serasa pernikahan agung Pangeran William dengan Kate Middleton. Hanya saja dengan keadaan lingkungan sekitar dan orang-orang yang berbeda.
“Panas, Mom,” keluhku.
“Sesuatu yang berharga itu selalu butuh pengorbanan, The.”
Yeah, I think so.”
Untunglah aku tidak perlu menunggu lebih lama lagi karena satu setengah jam setelah kedatanganku, iring-iringan kereta kencana yang aku yakini sebagai kereta yang akan membawa mempelai dan keluarganya terlihat melambaikan tangan disertai senyum kebahagiaan kepada semua masyarakat yang saat itu menyempatkan datang ke Jalan Malioboro.
“JPREEET!” aku mulai beraksi dengan kamera kesayanganku, mengabadikan semua hal menarik yang tidak mungkin aku dapatkan dua kali seumur hidupku.
“Uh, apaan nih? Aku udah nunggu satu setengah jam dan mereka hanya lewat kurang dari tiga puluh menit,” gerutuku.
“Emangnya kamu maunya gimana? Mereka turun terus atraksi sirkus dulu di sini?” tanya mama yang agak risih karena aku terus-terusan mengeluh.
“Nggak gitu juga, Ma. Tapi setidaknya mereka turun dulu kek, nyalamin satu-satu kan yang nonton jadi ngerasa sedikit dihargai.”
“Emangnya kamu nonton pangeran William turun dari kereta terus nyalamin penonton yang datang? Bisa-bisa mereka malah kena penyakit kulit dari penontonnya, The.”
“JPREEET!” sekali lagi, kini frekuensi pemotretanku semakin cepat. Sebelum mereka akhirnya pergi dan benar-benar tidak meninggalkan jejak sedikitpun. Hanya taburan bunga mawar merah yang kulihat memenuhi jalan raya di depanku.
Semua mata memandang mereka. Mulai dari tatapan kagum, bercampur haru, bercampur bahagia, lengkap menjadi satu kesatuan terpadu. Kemudian mata para penonton mengikuti arah mereka menjauh semakin lama semakin kecil, dan akhirnya hilang sama sekali.
Aku dan Mama memutuskan untuk sekadar berjalan-jalan sebentar di daerah Jalan Malioboro. Sekadar menikmati malam, dan mencoba mengerti kebiasaan malam masyrakat di sini.
Aku mendapatkan wallpaper untuk dinding kamarku, warnanya tidak terlalu mencolok. Coklat berpadu hijau dan sedikit merah. Gambarnya juga tidak terlalu kekanakan, vignette abstrak dengan lingkaran kecil dan juntaian gambar tidak beraturan. Tidak norak sama sekali.
Sesampainya di rumah kubuka lagi hasil jepretanku dalam kamera. Fokusnya keren, mirip photographerhandal.
“Wow,” aku berdecak kagum. “Lumayan juga hasil jepretanku, not too bad. Tidak terlalu terlihat amatiran,” sedikit bangga juga dengan hasilku hari ini.
Kulihat lagi – berkali-kali . Aku memotret lebih dari seratus kali. Semuanya hampir perfect. Sampai akhirnya mata normalku menangkap gambar yang menurutku tidak lazim.
“Hey! Aku rasa orang ini baru berusia kira-kira dua puluh tahun, tapi kenapa dia memutuskan untuk mengabdi dengan suatu komitmen? Aku pikir dia lumayan pintar. Matanya penuh harapan juga, tidak terlalu bodoh untuk seukuranku. Dia kan bisa saja kuliah, atau setidaknya kalaupun bekerja orang-orang seperti orang ini lebih menyukai pekerjaan yang tidak terlalu berhubungan dengan sesuatu yang kuno. Kebanyakan pemuda kan lebih menyukai yang modern. Tapi? Dia unik,” senyumku mengembang menunjukkan deretan putih gigiku.
***
            Aku sekarang sudah tiga bulan berada di kota ini. Mengenali setiap budaya yang ada, mitos-mitos kuno yang menurutku tidak masuk akal. Aku memang tidak menyukai hal-hal yang berbau takhayul, menggambarkannya dalam imajinasiku saja sudah membuatku bergidik. Kalaupun aku memulai hayalan-hayalan liar yang muncul begitu saja dalam benakku, hayalan liar tentang mitos-mitos takhayul itu – terlalu banyak pertanyaan yang muncul aku tahu menjawabnya dengan ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Harus banyak ilmu tentang dunia lain yang aku kuasai, ilmu tentang suatu hal yang tidak memiliki batasan pasti. Ilmu yang mengalir begitu saja, yang hanya berdasarkan anggapan seseorang tanpa diikuti tinjauan teoritik. Dan aku membenci sesuatu yang tidak pasti.
            Aku melanjutkan kuliah di Universitas yang lumayan bagus dan memiliki nama di sini. Mengambil jurusan yang berhubungan dengan sesuatu yang perlu bukti dan dilandasi tinjauan tertentu sampai akhirnya sebuah teori baru terbentuk.
            “Thea pamit dulu, Mom.”
            “Pulang sebelum jam delapan, The.”
            “Iya, Ma,” jawabku kemudian menghambur pergi menuju halaman depan rumah eyang yang berbentuk setengah lingkaran, kecil tapi indah. Di daerah sekeliling pintu dihiasi bunga mawar yang tidak terlalu tinggi. Di bagian yang lebih jauh dari rumah dihiasi pohon cemara rindang, bunga bougainville, dan bunga lain yang aku sendiri tidak tahu jenis bunga apa. Ada beberapa lampu taman yang jika malam hari cahayanya cukup terang untuk menyinari seluruh taman kecil ini.
            “Oh iya, Ma. Aku nanti mau mampir ke alun-alun katanya ada semacam perayaan gitu. Sekalian mau riset nih,” kataku dari halaman.
            “Yang penting jam delapan harus udah sampai rumah,” jawab Mama enteng.
            “Ma, ayolah. Mama bisa ngecek aku kesana aku nggak bakalan macam-macam kok. Hanya riset, okay?” bujukku.
            “Ya, good idea. Setengah Sembilan,” jawab Mama lagi.
            “Thanks, Mom.”
            Setelah aku menyelesaikan kuliah hari ini, aku langsung menuju alun-alun untuk melakukan penelitian. Hari ini, pertunjukan permainan gamelan jawa sudah digelar.
            “Permisi,” kataku pada seseorang yang aku yakin dia adalah abdi dalem keraton.
            “Oh, iya mbak. Ada yang bisa dibantu?” tanyanya.
            “Gini pak, saya mahasiswa fakultas ilmu sejarah di Universitas GajahMada. Hari ini, maksud saya kesini adalah melakukan penelitian tentang budaya Jawa, dan legenda-legenda yang menyertainya,” jelasku.
            “Oh, iya-iya. Mbak mau tau yang tentang apa?” tanyanya masih sopan.
            “Saya hanya butuh beberapa penjelasan tentang gamelan yang bapak mainkan, terus tentang sekaten ini,” jawabku lancar.
            Umurnya kira-kira empatpuluh delapan tahun. Tapi masih cukup sehat dan bugar, perutnya juga tidak seperti perut papa yang membuncit. Cukup baik hati, sopan, juga menguasai sesuatu yang dia kerjakan. Setelah setengah jam aku mendengarkan penjelasan bapak pemain gamelan, retina mataku menangkap sosok asing yang aku sendiri tak yakin mengenalnya.
            “Cowok yang sama yang tempo hari ada dikameraku,” batinku.
            “Pak, yang lagi main bonang itu baru ya?” tanyaku.
            “Tidak mbak, dia sejak kecil udah ikut di sini.”
            “Kenapa, pak?” tanyaku bingung. “Maksud saya, dia kan masih muda. Biasanya mereka lebih menyukai hal-hal yang berbau modern dan?” aku tak melanjutkan takut salah bicara dan terlalu banyak menilai.
            “Dia itu sudah terbiasa dengan hal-hal kuno, Mbak,” katanya sambil terkekeh. “Dia lebih menyukai kehidupannya yang sekarang,” lanjutnya – matanya menerawang jauh. Kemudian dia melihatku.
            Aku tersipu, tidak tahu apa yang harus kukatakan. Malu. Sepertinya aku terlalu banyak bertanya. “Maaf, Pak,” kataku.
            “Iya, tidak apa-apa. Sepertinya saya yang terlalu banyak berbicara. Mau saya panggilkan dia saja? Biar bisa ngobrol dan tanya-tanya sendiri? Saya tidak enak, Mbak. Soalnya saya juga tidak tahu yang mana bisa diceritakan dan yang mana yang tidak.”
            “Malah jadi merepotkan nanti, lagipula dia lagi main, Pak,” kataku – pipiku merona saat mengatakan hal itu. “Iya pak, iya,” hatiku meronta – tapi bibirku tak mampu mengatakan hal itu.  
            “Kris,” panggil bapak itu, rupanya dia tidak mengihiraukan perkataanku.
            “Njeh, Pak,” katanya sopan. “Ada apa?” tanyanya, matanya lembut. Coklat kehitaman seperti warna mata pada umumnya.
            “Ini, mbak ini. Mau tanya-tanya tentang kamu,” aku melihat senggolan kecil yang bapak itu arahkan ke cowok yang dipanggil Kris tadi.
            Pipiku bereaksi, kadang memang mengesalkan menjadi manusia normal. Pipiku dan jantungku terutama, benar-benar tidak mau diajak kompromi. Jantungku yang awalnya normal sekarang berubah liar, pipiku juga merona merah tak bisa ku hentikan. Aku merasakan darah semakin cepat melewati nadiku, kemudian paru-paru dan akhirnya sampai di tempatnya dipompa kembali.
            Kemudian hening, semuanya diam. Kecuali suara gending lembut yang mengalun menjadi musik latar di belakangku.    
“Hai,” sapaku canggung. “Oh, iya. Aku Thealika,” aku memulai.
“Krisna,” katanya sambil menjabat tanganku. “Mau tanya soal apa mbak?” tanyanya tak kalah canggung.
Well – sebenarnya, Pak Hendro tadi sudah menjelaskan panjang lebar sama saya. Tapi, jujur,” aku tercekat. Rasanya aku lupa bernafas, tenggorokanku kering. “Aku malah penasaran sama kamu,” aku mengakui.
“Oh, penasaran tentang apa mbak?” tanyanya masih terlihat canggung, ditambah sedikit malu. Mungkin juga tidak enak hati mendengar penuturanku tadi.
“Eh, oh. Eh, panggilnya Thea aja ya. Rasanya aku tua banget,” jawabku salah tingkah.
“Oh, oke. Maaf, kalau tidak keberatan kita ngobrolnya besok aja gimana? Aku nggak enak sama teman-teman yang disana,” matanya menuju para pemain gamelan yang sedang beraksi, meskipun tempatnya sudah digantikan. Dia menyerahkan selembar kertas yang tadi sudah diberi tulisan nomor telepon dan alamat rumah.
“Oh, oke. Terimakasih, maaf mengganggu. Selamat malam,” aku mengulurkan tangan kemudian pergi menjauh. Senyum mengembang indah di pipiku.
“Aku akan mimpi indah malam ini,” pikirku kemudian aku menutup mata.
***
Setelah pertemuan itu, aku sering sekali bertukar pikiran dan bertukar pengalamanku saat di Aussie, dia juga menceritakan tentang hidupnya dan untuk apa dia mengabdi menjadi abdi dalem diusianya yang masih sangat muda. Rupanya setelah mengenalnya semakin jauh, bukan malah membuatku semakin risih dengan dia karena semua takhayul dan hal-hal yang tak pernah aku sukai yang juga selalu mengucur lancar dari bibirnya yang indah dan bagai malaikat itu. Bahkan sampai sekarang, sampai lima bulan aku mengenalnya aku sama sekali belum terbiasa dengan kehidupannya yang penuh hal-hal mistik dan tidak bisa dipikir melalui logika. Di duniaku yang dulu, hal-hal seperti itu bahkan tidak pernah ada. Yang ada hanya perayaan Halloween semalam suntuk dengan kostum-kostum yang menurutku justru lucu. Tapi hal-hal seperti itu yang ada di Indonesia lebih nyata dan lebih menyeramkan. Ah, sudahlah untuk hal ini aku tidak mau terlalu larut karena hal ini justru membuatku sering bertengkar dengan Krisna.
Hari ini, aku akan pergi ke pantai di ujung selatan provinsi ini. Walaupun sudah delapan bulan lebih aku tinggal disini, tapi masih sangat banyak hal yang belum pernah aku coba dan sangat membuatku penasaran.
“PIMPIMMMMM,” suara bel sepeda motor yang sangat aku kenali sampai didepan rumah eyangku.
“Permisi tante,” terlihat sesosok laki-laki yang sekarang sudah menjadi pacarku mencium tangan ibuku dengan sangat sopan. “Thea-nya ada?” tanyanya lagi.
“Oh, ada itu lagi di kamar. Tante panggilkan dulu ya,” ibuku kemudian pergi menjauh.
“Theaaaaaa,” ibuku memasuki ruang tamu kemudian memanggilku. “Sudah ditunggu Krisna,” sambungnya.
Okay, Mom,” kataku singkat kemudian turun dari tangga. Aku hanya menggunakan kaos berwarna biru muda dengan jeans bellel berwarna hitam.
Kemudian kami berangkat, perjalanan kami tempuh selama kurang lebih satu setengah jam, Krisna baru memberi tahuku bahwa tujuan kepergian kami diubah. Kami akan pergi ke pantai di ujung timur Kabupaten Gunungkidul. Pantai dengan pasir putih dan ombak yang relatif tenang.
Pantai yang juga bisa dibilang sepi, tidak banyak pengunjung di pantai ini. Entahlah, tapi kurasa memberikan sebuah ketenangan batin yang luar biasa. Aku kemudian beraksi dengan kameraku, hobiku yang satu ini sudah jarang aku tekuni karena kesibukanku untuk kuliah.
 “Kadang aku bingung dengan Mama, kenapa beliau malah menyuruhku pulang ke Yogyakarta padahal jelas-jelas kualitas pendidikan disana lebih baik. Tapi, semuanya jadi terlihat jelas sekarang ternyata Tuhan telah menyiapkan seseorang disini yang mungkin tidak akan aku temukan disana,” batinku -- kemudian aku tersenyum.
“Aku mencintaimu, Kris,” batinku saat aku memotretnya.
“Thea, ayo sini turun!” ajaknya dari tengah air.
“Iya sebentar, foto bentar yuk!” ajakku dengan penuh semangat.
Akhirnya Krisna-lah yang mengalah, kemudian kami mengambil beberapa foto dengan sudut yang indah dan background yang mendukung. Dia turun lagi ke pantai menyelam dan melihat biota laut dengan air yang masih jernih. Aku meletakkan kameraku di dalam tas yang ku taruh tidak jauh dari tempat Krisna berada.
“Ayolah, The. Disini bagus,” ajaknya lagi. Akhirnya kali ini aku yang mengalah.
Setelah beberapa saat kami menikmati biota laut yang ada tak jauh dibawah air di pantai ini, Krisna dan aku naik ke pasir. Untuk sekadar bercerita . . .
“Kamu pernah dengar mitosnya Nyi Roro Kidul?” tanyanya dengan mata menerawang jauh sekali, dan suara yang hormat saat menyebut nama itu.
Well, sebenarnya pernah, tapi udah agak lupa. Soalnya saat itu umurku baru tujuh tahunan. Kenapa?” tanyaku sambil meminum air kelapa.
“Kamu percaya cerita itu?” pertanyaan yang sama setiap kami berbicara tentang mitos dan hal-hal lain.
“Kenapa sih dia nggak tanya tentang fabel aja?” batinku. “Ayolah, Kris. Selalu pertanyaan yang sama. Aku nggak mau kita bertengkar lagi cuman gara-gara hal yang sama,” aku membuang muka.
“Thea, sekarang kamu di Indonesia. Negara yang penuh tentang adat dan cerita-cerita rakyat. Dan aku seorang abdi dalem, kamu tahu duniaku disini kan?” Krisna mencoba mengerti. Matanya masih sama, penuh kasih. Sekarang tatapannya berpindah dari mataku ke pantai itu lagi. Menerawang lagi.
“Ayahku juga seorang abdi dalem dulunya. Sebelum beliau pergi, beliau meninggal terseret ombak di Pantai Parangtritis. Kemudian kami mempercayai bahwa yang membawanya pergi adalah Nyi Roro Kidul. Ibuku, sangat terpukul saat itu, tapi akhirnya kami juga bisa menerima kepergian bapak,” dia bercerita seperti musik biola yang mengalun ditemani sepoi angin.
“Kris, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, dan aku tidak ingin seperti ibumu. Kamu juga tahu duniaku disana, hal yang paling ditakuti hanya vampire dan ya kamu tahulah. Mereka juga hanya tampak nyata saat Halloween, tapi tentang ayahmu. Aku bahkan baru tahu sekarang, aku juga sudah tidak punya ayah. Aku tahu seperti apa, dan aku tidak mau kehilangan sosok laki-laki yang aku sayang lagi,” mataku mulai berkaca-kaca, Krisna memelukku kemudian mencium keningku.
“Aku mencintaimu, Te. Aku ingin menyelam sebentar saja,” katanya seraya pergi.
Tak lama setelah itu, pantai yang sebelumnya sangat tenang tiba-tiba menjadi sangat tak bersahabat, ombak kian membesar. Aku terkejut dan baru sadar setelah sekian lama ombak menggulung Krisna. Sama sekali tak berbekas, padahal di pantai ini tidak ada palung sama sekali, tapi semuanya tiba-tiba menjadi buruk. Aku hanya bisa menangis, Tim SAR yang ada di daerah pantai juga tidak mampu menemukannya. Kemudian aku menghubungi mama.
***
Tujuh hari tidak cukup untuk menangisi Krisna, tidak cukup untuk berkabung. Sama sekali tidak cukup. Hari ini aku kembali lagi ke tempat terakhir aku bersama Krisna.
“Hari ini genap tiga kali aku datang ke tempat ini, ke pantai yang mengukir kenangan manis dan kenangan pahit yang tidak akan pernah hilang. Aku sadar sebenarnya mereka datang sebagai satu paket, mereka menjelma menjadi pasangan yang setia, berjalan beriringan membentuk pola dasar manusia untuk bersikap,” batinku--aku terjatuh dan bersimpuh di pasir pantai yang pernah aku duduki bersama Krisna.
Aku sudah berada disini sejak tiga jam yang lalu, tapi toh aku juga belum mampu mendapatkan apa yang aku inginkan. Meskipun keinginan untuk mendapatkannya dalam keadaan hidup masih ada, tapi aku mulai tak berharap banyak. Aku memang masih sangat kalut, hubunganku yang baru berjalan lima bulan terakhir telah membuatku mengerti dan memandang banyak hal dari sisi yang berbeda.
Aku duduk di batu besar di ujung sebelah timur pantai ini, sampai akhirnya aku sadar telah banyak waktu yang aku habiskan. Langit mengubah warnanya, biru ditemani semburat kemerahan sedikit ungu, warna yang sangat aku sukai. Menimbulkan kedamaian yang luar biasa saat melihat warnanya. Semuanya bersatu padu dengan padupadan warna yang serasi. Aku bisa melihat sang bintang senja yang bertengger agung mengalahkan bintang lain yang cahayanya belum nampak.
***
Hari ini, hari terakhirku di kota ini. Setelah aku menyelesaikan studi S1 ku. Aku dan mama memutuskan untuk kembali ke Aussie, meneruskan studi S2 ku disana.
“Setiap daerah punya legenda, legenda tentang sesuatu yang melindungi daerah mereka juga sebuah legenda tentang hal-hal mistik yang tak pernah dimengerti. Hanya ada sebuah legenda yang bisa ku mengerti, legenda tentang adanya awal dan akhir. Setiap orang juga punya cerita, tentang bagaimana dia hidup dan sebagainya. Bukan sesuatu yang buruk untuk dipercaya, bahkan mereka ada dengan sejuta makna indah dan sangat banyak pelajaran berharga. Tapi begitu juga aku, aku ada karena cerita sarat makna cerita tentang cinta. Aku memang tidak percaya adanya mereka, tapi aku percaya adanya kamu. Aku baru sadar kalau kamu mencintai duniamu karena pelajaran hidup yang tidak pernah kamu dapat dari duniaku. Aku akan menjadikanmu legenda dan cerita sarat makna dalam hidupku. Aku mencintaimu Krisna Pandhu Dewata. I can’t give you anything, because you’re my everything. . .” aku menghembuskan nafas lega, kemudian menutup buku harian berwarna biru yang sudah sepuluh tahun menemaniku. Menutup cerita tentang Krisna tentang kehidupanku di kota ini, memeluk buku itu erat dan akhirnya pesawatku mulai meninggalkan Yogyakarta berangkat menuju Negeri Kangguru—tempat seharusnya aku berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar