Tampilkan postingan dengan label Sydney. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sydney. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Januari 2016

SYDNEY p.4



Doni membuka pintu mobil kemudian aku dan Gina turun. Sydney sedang musim panas jadi malam ini cuaca agak gerah. Angin laut berhembus pelan membawa lengket garam. Musim panas seperti ini, pekerjaanku dan Gina sebenarnya sedang gila-gilaan karena banyak gosip dan event-event besar diadakan pada waktu ini. Tapi, kami bertiga justru berencana untuk menghabiskan malam di Watsons Bay Beach Club setelah Doni memaksa kami untuk menemaninya menikmati panasnya summer di Sydney.
                Agak susah mendapatkan meja di Watsons dan entah pesona apa yang diberikan oleh Doni akhirnya kami bertiga mendapatkan tempat duduk tepat di bawah pohon dengan pemandangan laut di depan mata. A perfect place for summer, I think. Kami menghabiskan malam dengan tiga gelas pinot noir membicarakan apapun yang menarik malam ini.
                “Udah berapa cewek sih yang jadi korban lo, Don?” tanyaku malam ini di sela tawa dan alunan musik di Watsons.
                “Udah ada kali sekampung kalo dibikin perumahan,” Gina menimpali membuat kami tertawa.
                “Sialan,” umpat Doni pura-pura kesal. “Lagian pertanyaan lo salah, Tris. Yang bener adalah berapa orang beruntung yang udah dapet pelajaran hidup dari gue.” Katanya membela diri.
                Kami tertawa.
                Aku tersentak terbangun dari mimpiku. Itu mimpi tentang kejadian empat bulan yang lalu ketika kami masih baik-baik saja dan kami bertiga seakan tidak terkalahkan. Us vs the world.  And look at us now, tidur di ruangan yang sama namun practically looks like stranger. Ruangan ini sedikit temaram, hanya ada dua buah lampu tidur di sebelah kanan dan kiri ranjang. Doni tidur di sampingku dengan posisi duduk diatas sofa, sedangkan aku meringkuk di sofa. Gina tidur bersama Candra diatas ranjang tempat Candra dirawat.
                Seminggu yang lalu, saat sedang bermain bisbol tangan Candra cidera dan harus dirawat karena mengalami keretakan. Hari itu, aku dan Gina sedang di kantor menulisi undangan yang akan mulai disebar. Dan dengan paniknya Gina langsung bergegas menuju rumah sakit.
                “Tris, what if it’s a sign? Gimana kalau ini sebuah kesalahan? Gimana kalau ini pertanda gue sama Candra nggak harusnya menikah?” dan racauan lainnya yang aku dengar selama di perjalanan.
                “Gin, Gin. Calm down, okay. It’s gonna be fine, okay. Tarik nafas. Listen to me, tarik nafas.” Kataku siang itu.
                Dan sore tadi ketika aku menjenguk Candra dan berencana menemani Gina tidur di sini malam ini, Doni dengan entengnya menawarkan diri untuk menemaniku tidur di sini. Aku sudah menolaknya dengan berbagai alasan tapi tak berhasil. Jadi, akhirnya aku biarkan dia tidur di sini. Kami tidak banyak bicara, Doni lebih sering bicara dengan Gina atau Candra tapi tidak denganku.
                Aku bangkit dari sofa berencana keluar dari ruangan ini, mencari udara segar Sydney di musim gugur. Ada sebuah balkon kecil di dekat ruang rawat Candra, aku hanya berdiam di sana mengamati jalanan Sydney di bawahku yang tidak pernah sepi bahkan di waktu seperti ini.
                “Tris,” panggil seseorang dari belakangku.
                Aku menengok, hafal dengan suara orang yang memanggilku. “Hei, Don.”
                “Nggak bisa tidur?” tebaknya
                “Nggak, tadi kebangun aja. Lagi cari udara segar.”
                Dia tertawa. “Sydney has no fresh air, you know that.
                Giliran aku yang tertawa. Dia benar.
Sydney tidak jauh berbeda dengan Jakarta, kota metropolitan ini memang tidak pernah sepi. There are always lives beating in this city. Meskipun banyak taman kota yang dibangun disini, tapi tidak pernah bisa membuat udara di Sydney menjadi bersih apalagi segar.
“Tapi, kadang keramaian adalah hal yang dibutuhkan oleh orang-orang yang ingin membunuh sepi, Tris.” Katanya merenung.
Aku hanya memandanginya. “Yeah, walaupun kadang sepi yang disini,” kataku menunjuk hati, “stay no matter how loud the city is.
Kami berdua sama-sama terdiam.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada tahun 2005, Frank Warren mendirikan sebuah komunitas dimana setiap orang dapat mengirimkan surat secara anonim dalam sebuah postcard. Surat tersebut dapat berisi apa saja, tidak ada larangan dalam konten surat yang mereka kirimkan. Aturannya hanya dua: jujur dan belum pernah diceritakan kepada orang lain. Surat-surat tersebut kemudian akan dipilih dan diposkan dalam blog PostSecret.
Aku sendiri terkadang membuka PostSecret saat keadaan di kantor sedang tidak terlalu sibuk. Dua minggu yang lalu aku menemukan sebuah surat yang diposting oleh Warren dalam blognya, postcard itu bergambar daisy dengan tulisan tersebar di seluruh halamannya berbunyi, “When I pick daisy petals, I always say: He loves me, he loves me, he loves me. Because I’m too afraid of risking the other option.”
Dua minggu berlalu dan kata-kata itu masih berhasil menamparku hingga sekarang. Kenapa? Karena itulah yang selalu aku lakukan setiap kali aku bertemu dengan Arga selama tiga bulan terakhir hubungan kami. Every time I see him, I convinced myself that he loves me. Hal itulah yang menjaga pikiranku tetap waras saat aku berkali-kali melihat Arga keluar bersama sekertarisnya.
Arga memang masih perhatian denganku, masih sering menjemputku ketika lembur, dan menghabiskan waktu denganku ketika weekend. Kami sering hanya duduk diam berdua menonton DVD dengan semangkuk popcorn di apartemennya ketika weekend dan kami malas pergi kemana-mana. Sometimes, words doesn’t matter, but the presence of ourselves. Tapi, pagi itu dua minggu yang lalu, aku sedang bersama Doni keluar membeli sarapan, setelah semalaman menunggu Candra. Kami berdua melihat Arga keluar dari mobilnya, membukakan pintu lalu seorang wanita muda berusia sekitar 24 tahun keluar dari mobilnya, aku mengenalnya dengan baik, wanita itu adalah Vivian sekertarisnya di kantor.
Doni yang pertama kali melihatnya, lalu berlari kearah Arga dan menghujamkan tinju tepat di rahang sebelah kanannya. Arga hanya terenyak kemudian berusaha berdiri kembali sementara kami berdua, aku dan Vivian, hanya bisa menjerit histeris. Sampai akhirnya, aku meminta Doni untuk berhenti.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Warren telah menerbitkan buku yang berisi surat-surat yang dikirimkan kepadanya melalui PostSecret. Dalam bukunya, Warren selalu menyelipkan sebuah cerita rahasia yang sengaja ia bagikan kepada publik. Warren pernah berkata dalam bukunya yang berjudul My Secret, “Sometimes when we think we are keeping a secret, that secret is actually keeping us.
Doni tidak pernah tahu bagaimana keretakan hubunganku dengan Arga. Aku menyimpannya untuk diriku sendiri. Gina juga tidak tahu tentang hal ini. Aku tidak berniat memberitahu Gina yang sedang hectic dengan berbagai urusan pernikahan dan keadaan Chandra yang cidera. It’s his second chances and he already failed twice.
Aku menemui Arga dua hari setelah insiden kejadian itu, dia baik-baik saja meskipun lebam masih terlihat di dekat rahangnya. Dia terkejut melihatku mampir di kantornya.
“Hi.” Sapaku, “How’s your wound?” tanyaku sedikit khawatir. Aku membenci diriku sendiri yang masih khawatir.
“Nggak apa-apa. Bentar lagi juga hilang. Tris, let me explain it to you,” katanya berusaha menjelaskan sebelum aku menyuruhnya diam.
“Nggak usah, Ga. Nggak perlu,” kataku sedatar mungkin, “Maybe we just not meant to be together. I should know better that we won’t work. Kita sudah mencobanya sekali dan gagal kan, Ga. And it’s the second time we failed. Aku nggak mau ada yang ketiga, Ga.” Kataku tegas.
“Tris, you have to trust me, please.”
Trust is earned. And I don’t see you try. So let’s just stop trying, Ga. Okay?
Itulah terakhir kalinya aku berbicara dengan Arga sebelum akhirnya bertemu lagi dengannya hari ini. Hari ini adalah hari pernikahan Gina dan meskipun tangan Candra memang belum sepenuhnya tetapi mereka berdua terlihat bahagia. They look perfectly happy. Pernikahan Gina didominasi dekorasi berwarna mint dan ivory terlihat segar berpadu dengan cuaca Sydney yang cerah namun tidak terik sore ini.
“Nih, gue ambilin minum buat lo.” Doni mengangsurkan sebuah gelas berisi soda dan segelas champagne untuknya.
“Thanks, Don. Sendirian aja lo?”
“Nggak, kan berdua sama lo, Tris. Lagian gue kan udah insyaf,” katanya acuh.
Aku hampir tersedak. “Ya, ya, ya. Look who's talking. Lo pikir gue nggak lihat daritadi lo flirting sama cewek sana sini..”
“Sialan,” katanya kemudian tertawa.
Gina tersenyum diatas kursinya melambaikan tangan ke arahku. Sedangkan Candra disampingnya mengecup puncak kepala Gina dan tersenyum bahagia. Aku dan Doni sama-sama melambaikan tangan.
They do look great together, don’t they?”
Yeah, they are.” Kataku tersenyum
We do look great together, don’t you think?”
Aku hanya tertawa sebelum menjawab, “You wish.”
Saat aku melihat kembali kearah Gina dan Candra, mataku menemukan Arga datang bersama Vivian bersalaman dengan Gina dan Candra dan berjalan ke arahku dan Doni. Saat melihatku, Arga hanya menyapa kemudian berlalu. Aku teringat sebuah line dalam salah satu episode TV series yang sering aku tonton bersama Gina, saat itu Camille sedang berbicara dengan Marcel mengenai Klaus setelah menghabiskan malam bersama Marcel kemudian Camille berkata, “Maybe it’s better to move forward instead of holding on things we can’t change.”
Untuk Cami, Klaus is the thing she can’t change. Just like, Arga, for me. In the end, I understand somebody is never gonna change from the way they are.
You’re okay, right, Tris?” Tanya Doni setelah Arga berlalu, suaranya khawatir.
I’m okay. Don’t worry about me. We’re like friends now.”
                Di salah satu edisi PostSecret, ada sebuah kartu pos dengan foto siluet dua orang yang sedang berdiri di dalam kolam renang di atasnya terdapat tulisan dengan huruf kecil: “The funny thing is, nobody ever really knows how much anybody else is hurting. We could be standing next to somebody who is completely broken and we wouldn’t even know it.”
                Yang tidak Doni tahu adalah bahwa aku adalah seorang wanita yang sudah rusak dan aku sendiri tidak tahu apakah masih bisa diperbaiki atau tidak.
                “Tris, I know this maybe too soon. But, I want to be with you. We’ll take it slow, you can take all the time you need. I don’t care, but let me be with you.” Katanya, matanya menatapku mantap.
                “Don, I’m broken.” Kataku lemah.
                “I will fix you. You can take all the time in the world, Tris.”
                Aku tidak menjawab, you know what, Don, it’s hard for me to trust someone all over again. In the end, you can’t trust someone it’s only yourself.
                “Dance with me?” katanya mengalihkan pembicaraan saat aku tidak kunjung menjawabnya.
                Aku tertawa. “You’re joking, I can’t dance.”
                Oh, you can. Because your partner is professional dancer,” katanya.
                Aku tertawa lagi. Dan dia benar, dia benar-benar mahir menari berbeda denganku yang hanya mengikuti gerakan kakinya. Aku meletakkan kepala di pundaknya, menikmati bunyi nafasnya yang teratur.
                You, know that I love you, right?” tanyanya ketika musik hampir berhenti, dia memutarku wajahku menghadap matanya.
                I know,” kataku.
                Dia tertawa. Tawanya ringan, tidak seperti orang sedang tercekik atau tersendat kehabisan nafas. In fact, he has nice laughs. And one thing I realize: he’s growing on me.
-----------------------THE END

Rabu, 27 Januari 2016

SYDNEY p.3



Aku sering bertanya pada diriku sendiri apa yang aku lakukan dengan Arga selama ini. Kami pergi ke tempat dimana kami dulu sering menghabiskan waktu. Dia menjemputku kalau aku sedang lembur, mengantarkanku pulang hingga di depan apartemenku di Darlinghurst sementara apartemennya berada di Ashfield. Tapi, aku sendiri juga tidak berniat mendefinisikan apa yang terjadi diantara kami.  Aku tidak tahu apakah ini residu dari perasaanku padanya dulu atau perasaan yang benar-benar baru, aku masih belum bisa memutuskan.
                Jadi, jangan salahkan aku ketika Doni bertanya padaku apa yang aku lakukan dengan Arga aku justru berbalik memarahinya. Aku tidak butuh seseorang yang menghakimi apapun yang sedang aku lakukan. That is the last person that I needed. Sebenarnya, kemarahanku pada Doni hanyalah refleksi kekesalanku pada diriku sendiri yang tidak bisa menjelaskan perasaanku. Aku tidak perlu diingatkan bahwa apapun yang aku lakukan dengan Arga adalah salah. I already knew that. Dan, Doni adalah orang terakhir yang aku harapkan akan menghakimiku. Kekesalan akan kenyataan itulah yang menamparku berkali-kali menjadikan rasa kesalku menjadi monster yang membuatku meninggalkannya hari itu. Monster itu seakan dibangunkan saat dengan lancangnya dia menciumku.
                God, Tris, just stop thinking about that kiss. Damn it, Doni Rasyid, what are you doing with me?
                Weekend ini Sydney agak mendung, angin laut agak lebih kencang dari biasanya. Tapi, entah kenapa aku justru sangat menikmatinya. Mendung dan angin laut seakan membuatku lebih bisa merenung, berpikir apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Aku tidak bisa menghindari Doni selamanya karena Gina belum tahu tentang hal ini tapi aku juga tidak bisa berpura-pura tidak ada yang terjadi pada kami setelah hari itu.
                “Tris, what happen?”
                “Nggak ada, Ga. Kenapa sih?”
               “Kamu mungkin ada disini tapi aku tahu pikiran kamu kemana-mana. Kamu tiba-tiba terlihat hilang gitu tadi.”
                “Nggak ada, Ga. Aku lagi mikir aja, banyak kerjaan akhir-akhir ini.”
                You know that I’m here, you know that you can tell me everything, right?”
                ”Yeah, I know, Ga. I know.” Aku menyandarkan kepala di bahunya seperti dulu hanya untuk membuatnya diam agar dia tidak perlu banyak bertanya. Dan agar aku tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi padaku, betapa berkecamuknya hatiku saat ini setelah ciuman itu. He doesn’t need to know that.
                “Tris?”
                “Hmm.”
                You know what? I can do this forever.”
                Do what?” tanyaku mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan berujung.
                Let’s try again, shall we? Let’s give it a try. Once more.
                Aku diam, memejamkan mata sejenak. Dia tidak menatapku, matanya lurus melihat laut di depan sana. Tapi, aku tahu dia serius, dia tulus berkata itu padaku.
Saat aku diam saja, dia memanggilku sekali lagi. “Tris?”
“Hmm.”
“Kamu tidur ya?”
                “Okay.” Aku menjawabnya tanpa membuka mata, tapi aku tahu dia tersenyum. Entah kenapa aku tidak tersenyum. Saat mengiyakannya aku hanya berpikir ini akan lebih mudah untukku dan Doni. Aku akan bisa bertemu dengannya tanpa harus merasa canggung karena kini aku bersama Arga. Doni tidak perlu berharap terlalu banyak tentang hubungan kami dan kami akan bersahabat sama seperti sebelumnya.
                Aku kembali dari Port Jackson saat hari sudah menjelang siang, kami mampir ke salah satu kedai makan di pinggir Port Jackson kemudian memutuskan untuk pulang. Saat sampai di apartemen Gina sedang bersama Candra, tunangannya, memilih undangan pernikahan mereka. Sama seperti yang aku lakukan bersama Arga lebih dari dua tahun yang lalu. Wajah mereka juga sama dengan kami waktu itu. She’s glowing. My best friend is a bride to be. Don’t get me wrong. I’m so happy for them both. Aku hanya khawatir Gina akan mengalami hal sepertiku, tapi aku juga sadar Gina bukan aku dan Candra bukan Arga.
                “Tris!” teriaknya histeris saat melihatku masuk ke apartemen kami. “Come and help me with this.” Katanya
                Aku duduk di karpet melipat kakiku kemudian ikut membolak-balik pilihan undangan di depanku. Arga juga ikut bersama kami. Aku tahu Gina tidak menyukainya tapi hari ini dia tidak berkomentar apa-apa. Aku tahu dia akan selalu menghormati semua keputusanku sama seperti aku menghormati keputusannya.
                Setelah kepulangan Arga dan Candra, Gina menyusulku ke kamar lengkap dengan piyama ungu favoritnya. Dia tersenyum, senyuman yang tidak pernah hilang sejak Candra melamarnya. Aku sendiri sudah gegoleran diatas tempat tidur ketika akhirnya dia bergabung denganku.
                I can’t believe that I’m gonna get married soon.”
                Yeah, me too.” Kataku, dia masih tersenyum matanya menerawang entah kemana.
                You know, Tris, I used to think that you’re the one who’s gonna get married first.” Tuturnya pelan seakan takut membuatku tersinggung.
                Aku tertawa membungkam semua kepahitan dalam suaraku, sebelum akhirnya menjawab, “Me too, Gin. But, life is full of surprise and I’m so happy for you.”
                “So, you and Arga are what now? A friend? Couple? Or what?”
                Aku menangkat bahu, kadang Gina memang menyeramkan, tanpa memberi tahunya dia seperti sudah tahu apa yang terjadi antara orang lain dan apa yang dipikirkan orang lain. “Gue kan cenayang, Tris” katanya ketika waktu itu bertengkar dengan Arga dan kembali ke apartemen.
                Gina menatapku masih menunggu jawaban, di bibirnya masih terulas senyum konyol sedangkan alisnya dia mainkan seperti saat biasanya kalau dia sedang penasaran. Aku mendesah keras sebelum menjawab. “Kind of. Tadi Arga nembak gue and I said yes.”
                “Lo tahu kan kalau gue bakal selalu bahagia dan dukung kalau itu kebaikan. He should be better this time. Gue nggak mau lo ditinggal lagi sama dia. No men worth your tears twice.”
                “Iya, gue tahu, Gin.”
                “Jadi, kalian udah ngapain aja?” dia melakukan ekspresi yang sama lagi.
                Aku tertawa kemudian menimpuk mukanya dengan bantal. “Nggak ngapa-ngapain.”
                No goodbye kisses? No sleepover?
                “Nggak penting banget, ya, lo.” Sekarang giliran dia yang tertawa.
                By the way, Tris. Besok anterin gue cari gaun ya. No women can do this without her best friends.
                Best friends? Lo mau ngajak siapa aja? Temen lo sekampung?”
                “Sialan”, katanya. “Lo sama Doni.”
                “Sebenernya, gue sama Doni not in speaking terms right now.” Kataku berusaha mengucapkannya senormal mungkin.
                Dia tidak bertanya hanya mengangkat alis seakan berkata “Serius? Kenapa?”. Jadilah aku menceritakan kejadian siang itu tanpa menghilangkan detail apapun.
                Saat aku selesai bercerita Gina hanya mendesah kemudian berkata, “Udah gue duga.”
                “Lo udah tahu?”
                “Nggak, tapi sewaktu dia nanya ke gue tentang hubungan lo sama cowok yang di Freda’s itu dia kelihatan marah banget. Nggak tahu juga kenapa. Mungkin dia udah tahu kalau kalian ada masalah dan yang disakitin itu lo, bukannya Arga. Dia kan juga tahu orang itu nggak mungkin ada hubungannya sama gue. Jadi, mungkin dia nyimpulin sendiri.”
                Dia terlihat berpikir sebentar. “Tapi lo tetap mau nemenin gue kan? Sekali seumur hidup lo doang, Tris. Kapan lagi gue nikah? Masalah Doni gampang lah.”
                “Lo nggak jadi ngajak Doni?”
                “Ya jadilah. Gue kan butuh pendapat dari cowok juga. Gampang lah, anggep aja ini cara gue mendamaikan kalian. Biar nggak seperti kucing sama anjing.”
                I don’t think it’s a good idea.
                Just promise me you’ll come.
                Aku mendesah pasrah. “Okay. But, it’s gonna get really awkward.
                Benar saja, dua minggu kemudian ketika Gina, aku, dan Doni menyusuri Paddington hingga Parramatta untuk mencari gaun pernikahan Gina, kami hanya berkendara dalam diam. Hanya ada suara radio mengalunkan lagu Back To You milik John Meyer.
                Come on, guys. What’s wrong with you two? It should be fun!” katanya sudah tidak tahan dengan diamnya kami berdua.
                Akhirnya, Doni yang angkat bicara. Melucu seperti biasanya, jokes yang sering dia lemparkan saat kami makan siang bersama. Aku hanya diam saja, bingung bagaimana harus meresponnya. Aku hanya tertawa seadanya. Aku terselamatkan ketika akhirnya kami sampai di toko keempat hari ini, terletak di Church St. Parramatta, Bridal Secrets, memiliki toko bergaya gothic berbentuk seperti gereja. Dindingnya berwarna cokelat seperti batu-bata yang sengaja tidak di cat. Meskipun terlihat tua dari luar, di dalam toko ternyata sama sekali berbeda. Dinding di dalam toko di cat dengan nuansa putih dan abu-abu. Terdapat sebuah sofa berwarna hitam dan silver yang sengaja disediakan untuk pengantar a bride to be seperti aku.
                Kami hanya duduk bersama dalam diam ketika Gina mencoba gaun-gaun yang sudah dipilihnya. Banyak hal yang sebenarnya ingin aku beritahukan kepada Doni seperti bahwa aku sudah kembali lagi bersama Arga dan betapa aku marah padanya. Namun, akhirnya semua itu tidak tersampaikan. Sepuluh menit kemudian, Gina keluar dengan gaun Maggie Sottero berwarna putih. Gaun itu tidak terlalu rumit, hanya sebuah gaun berbelahan dada rendah berbentuk v-neck tanpa lengan. Bagian atasnya berbahan brokat sedang bawahnya terbuat dari satin panjang, terdapat sedikit Swarovski pada bagian pinggangnya berbentuk seperti ikat pinggang. She looks amazing.
                Ketika dia keluar kami otomatis terpesona melihatnya dengan gaun itu. Dia membenarkan bagian bawah gaunnya, kemudian menatap kami dengan rona bahagia meskipun aku tahu dia lelah.
                Well, I hope this one is good enough. Aku udah capek.” Katanya merajuk.
                You look stunning!” kata Doni. Aku ikut mengangguk. Dia benar Gina terlihat luar biasa.
                Gina kembali ke kamar pas, saat itulah aku melihat iPhone-ku bergetar di meja. Arga calling.
                “Hallo? Iya, Ga?” jawabku. Aku memberi isyarat pada Doni untuk keluar sebentar. Dia hanya mengangguk.
                “Iya, ini lagi nemenin Gina cari gaun. Di Parramatta. Kenapa, Ga?”
                “Aku susulin kesana ya?” katanya.
                Udah gila dia, batinku. Tapi yang keluar adalah, “Kamu lagi dimana memangnya?”
                “Nggak jauh, 10 menit lagi sampai.”
                “Okay. Aku di dalam ya, langsung masuk aja.”
                Sepuluh menit kemudian Arga sudah sampai di Bridal Secrets, dia duduk di sampingku sementara Doni duduk tidak nyaman di depan kami. Aku juga tidak nyaman dengan posisi seperti ini, aku merasa seperti sedang sengaja menyakiti Doni. Tapi, Doni, as he always does, mulai berbicara dengan Arga tentang hal-hal remeh seperti sepak bola. Mungkin, itu cara Doni mengatasi kecanggungan diantara kami. Sedangkan aku mengatasi kecanggungan dengan pergi dari situ dan berkeliling berpura-pura melihat gaun apapun yang mereka pajang.
                Gina selesai fitting gaun itu setengah jam kemudian, ketika kami akan pulang, Arga mengajakku untuk pulang bersamanya. Gina hanya mengangguk sedangkan Doni tidak berkata apa-apa. Sebelum kami masuk mobil, Doni sempat memegang tanganku dan membisikkan kata-kata yang tidak aku sangka akan keluar dari mulutnya, “Gue bakal selalu ada disini, Tris. Kalau lo butuh apa-apa atau Kalau dia macem-macem bilang sama gue, biar gue bekep.” Aku hanya tersenyum dan berkata, “I know.