Sabtu, 23 Januari 2016

SYDNEY p.2



Aku tidak berniat untuk memberitahu Gina masalah pertemuanku dengan Arga. Aku datang hanya untuk memastikan bahwa aku memang telah memaafkannya. Kami hanya duduk berjam-jam di kedai kopi favoritnya—Starbucks. Aku sendiri tidak pernah menyukai kopi, aku hanya meminumnya sesekali kalau sedang lembur gila-gilaan atau sedang perlu kafein. Arga adalah pencinta kopi sejati, dia bisa membuat kopi paling enak yang pernah aku rasakan. Dia membaca berbagai buku tentang kopi, hobi memilih biji kopi, mengerti semua proses pembuatan kopi dari pemilihan biji, roasting, grinding hingga brewing, dia mengerti jenis-jenis kopi hanya dari mencium aromanya atau melihat bentuknya.
                Aku sering menggodanya masalah hobinya meracik kopi. “Kayaknya kamu lebih cocok jadi barista, Ga, daripada jadi arsitek.” Begitu gurauku kalau dia sudah terlalu serius menjelaskan masalah biji-bijian yang tidak aku pahami itu. Dia hanya tersenyum, mengacak rambutku lalu mengecup puncak kepalaku. We have beautiful story once, Ga and I used to think we’ll have it as long as we live. I was wrong, though.
                Jadi, hari ini seperti hari-hari yang lalu, aku duduk di depan Arga memesan minuman yang sama. Aku setia dengan vanilla latte dan dia dengan black coffee-nya. Dia selalu berkata “the blacker the better”. Arga menyesap kopinya perlahan sebelum mengalihkan perhatiannya dari desain apapun yang sedang dia buat.
                I missed this place, you know. And I miss you, Tris.” Katanya memecah keheningan diantara kami.
                “Memangnya kamu udah nggak pernah ke sini lagi?” Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraannya.
                Nope. Setelah hari itu aku udah nggak pernah ke sini lagi. Aku cari tempat ngopi yang lain, tapi rasanya nggak pernah sama.”
                Kenapa? Kenapa dia sudah tidak pernah ke sini lagi? Aku ingin menanyakan hal itu. Namun, aku tidak siap untuk mendengar jawaban apapun yang akan keluar darinya. Jadi, aku hanya diam saja dan menyesap latte-ku.
                It feels nice.” Dia mendongak, “Going back here.” Kataku melanjutkan. Aku sendiri juga sudah tidak pernah kembali ke tempat ini setelah hari itu. Aku hanya tidak ingin menemukannya duduk di tempat yang sama. Secara refleks aku menjauhkan diri dari tempat ini. Menolak setiap ada teman kantor yang mengajak ke tempat ini. Atau ketika kebetulan ada pertemuan di daerah itu, aku lebih memilih untuk memutar arah berjalan lebih jauh daripada harus menemukannya di sini. Mungkin, itu kesalahanku sejak dulu. Berlari menjauhinya bukan berhadapan dengannya berkonfrontasi langsung.
                Kami mengobrol panjang lebar. Mulai dari pertanyaan-pertanyaan ringan seperti apa kabar. Hingga pertanyaan yang lebih susah untuk dijawab. Dia bertanya berapa lelaki yang sudah menggantikannya setelah kami berpisah. Jawabannya mudah: tidak ada. Aku bertanya bagaimana hubungannya dengan wanita itu. Katanya dia sudah berpisah dengan wanita itu satu bulan setelah aku meninggalkan apartemennya. Dan itu berarti, dua hari sebelum aku berpisah dengannya di sini. Dia bertanya lagi kenapa aku tidak memulai untuk berkencan atau berhubungan dengan orang lain setelahnya. Aku menjawabnya jujur, jawaban yang tidak pernah aku akui pada orang lain. Aku tidak bisa mempercayai orang lain lagi setelah pengkhianatannya hari itu. Aku tidak ingin terluka lagi.
                I’m sorry, Tris.” Katanya setelah mendengar pengakuanku. “I’ve made you like this.”
                It’s okay. The problem is not you. It’s on me. Harusnya aku menyelesaikannya, bukan justru menutup pintu lalu membuang kuncinya.”
                Is it okay?” aku menatapnya, menunggunya melanjutkan, “meeting again like this?
                I feel fine. Mungkin memang sudah saatnya kita harus bertemu seperti ini. Menyelesaikan yang belum selesai. Meskipun sebenarnya sudah selesai. Tapi entah kenapa aku merasa harus menghadapimu, membiarkanmu menjelaskan semuanya. Membiarkan ini selesai dengan baik-baik agar aku bisa mulai mempercayai seseorang lagi.”
                Have you ever regretted this, Tris? Us? If you could use the rewind button, would you?”
                No. The only thing I regretted is that I let you choose her over me. Kadang aku bertanya, apa salahku sampai kamu harus mencari wanita lain untuk membuat kamu bahagia. But, everything happens for a reason, that’s what everybody says.”
                “Do you believe that? I’m really sorry, Tris. Maybe I’m just a dick after all.”
                Aku tersenyum. “Maybe. But, believing things happen for a reason makes us easier to let things go. To move on and to accept it.
                “Kenapa kamu mau ketemu aku hari ini, Tris?”
                “Nggak tahu,” aku berkata jujur. “Mungkin karena kemarin malam aku menemukan kamu di depan Freda’s dan ternyata aku merasa bisa menghadapi kamu. Atau mungkin, untuk memastikan bahwa aku sudah memaafkan kamu.”
                Kami berpisah hari ini dengan janji yang sama untuk hari-hari selanjutnya. We’re like old friends, hanging out together. Kadang, dia mengirimiku hasil gambarannya untuk proyek yang sedang dia kerjakan. Sebagai balasannya kadang aku mengirimkan hasil pemotretan yang menurutku menarik. Saat Gina akhirnya tahu kami sering bertemu dan berkirim email dia hanya berkata, “I hope you know what you’re doing.” Yang Gina tidak tahu adalah aku berharap hal itu juga.
                Kadang aku pergi menemani Arga mencari inspirasi untuk proyek barunya. Atau kadang aku dan dia hanya duduk di Starbucks, dia menggambar apapun yang sedang melintas di kepala dan aku mengetik naskah-naskah wawancara yang harus diserahkan kepada Pak Bos paginya. Kadang, kami begitu larut dalam pekerjaan hingga yang terdengar hanya suara keyboard, helaan nafas karena kami berdua sama-sama belum puas dengan hasil pekerjaan kami atau suara obrolan orang lain.  
                Weekend ini kami berencana untuk menghabiskan pagi di Sydney Harbor. Ketika aku mengajaknya dia hanya mengakat alis meminta penjelasan lebih lanjut.
                Aku mengangkat bahu. “Cuman mau lihat pelikan aja. Siapa tahu Merlin sama Dory lagi berenang disitu nyari Nemo.” Aku tahu Arga sangat menyukai film itu. Itu adalah satu-satunya film kartun yang dia tonton. Arga bukan tipe-tipe cowok romantis yang menyukai film seperti Dear John atau Life as We Know It. Arga lebih menyukai film-film documenter yang membosankan seperti Trashed, An Inconvenient Truth   hingga March of the Penguins. Tapi, malam itu berbeda, malam itu aku sedang flu Arga datang untuk mengantarkan paracetamol dan aspirin. Gina sedang di luar kota mewawancarai entah artis siapa yang sedang ada di Aussie. Jadi hanya ada kami berdua di apartemen malam itu, aku memutar DVD Finding Nemo, sedang tidak bertenaga untuk menonton acara TV, Arga duduk disampingku mengunyah popcorn sedangkan aku hanya bisa puas dengan bubur seadanya masakan Arga. Aku tahu dia tidak pernah suka film kartun, tapi malam itu dia hanya diam menonton hingga selesai. Dan saat film itu selesai dia berkomentar, “Baru kali ini aku nonton film kartun bagus.”
                Yang tidak aku katakan padanya adalah alasanku yang sebenarnya. Aku hanya perlu melihat pantai pagi ini. Aku hanya perlu menenangkan diri untuk melupakan kejadian dua hari yang lalu ketika Doni dengan lancangnya menciumku di depan Pablo & Rusty’s di bawah langit Sydney yang hangat hari itu. Terlihat romantis kan? Tapi tidak saat orang yang menciummu adalah orang yang kamu anggap sebagai saudaramu sendiri. Hari itu Doni mengajakku makan siang berdua di Pablo & Rusty’s saat aku tanya kenapa Gina tidak ikut, dia hanya membalas, “Nggak apa-apa kan berdua saja?” akhirnya aku hanya bisa mengiyakan.
Doni sebenarnya bukan teman sekantor kami, dia adalah teman Gina sewaktu kuliah di UNSW jadi aku merasa agak aneh ketika Doni mengajakku keluar berdua. Tapi, kami memang sudah kenal jauh lebih dekat setahun belakangan. Doni bekerja di Commonwealth menjadi analyst consultant, gedungnya lumayan jauh dari kantor tempatku bekerja namun dia sering makan siang bersama kami berdua. Saat aku tiba di Pablo & Rusty’s Doni sudah disana, duduk di tempat biasa.
                “Udah lama, Don?” tanyaku merasa bersalah.
                “Nggak. Baru aja, mau pesan apa?”
                “Samain aja, deh. Tumben ngajak makan berdua. What’s up?”
                “Udah deh makan dulu. Laper gue.”
                Kami makan dalam diam. Doni jadi agak pendiam siang ini dan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, ini bukan pertanda bagus. Biasanya, ada hal yang serius yang ingin dia sampaikan kalau si womanizer ini menjadi pendiam.
                “Gina udah cerita.” katanya, “I think you two still has unfinished business.”
                Aku tidak paham kemana arah pembicaraan ini. Jadi, respon yang paling wajar adalah aku hanya mengangkat alis.
                Don’t give me that look.
                What look?
                You look silly.
                Okay. Who still has unfinished business?”
                You and the guy in Freda’s.” katanya, suaranya terdengar malas, “Arga kalau nggak salah namanya.”
                “Okay. Jadi, Gina nyuruh lo buat ngasih ceramah ke gue masalah mantan calon suami gue? I’m sorry, but, who are you?”
                I’m your friend, Tris. And I care about you. Should I remind you that I’m your friend?
                Sorry, Don. Gue juga nggak tahu apa yang gue lakukan sama dia. I hope I know, just like what Gina said. But, I don't. And I’m scared.
                God damn it. Tris, he’s cheating on you. Why you still give him second chances? What are you doing really? ”
                I don’t. And I don’t want you talking to me that way. Don’t talk about him that way either.” Aku membereskan barangku di meja meninggalkan uang dan pergi dari Pablo.
Tapi Doni mengejarku siang itu hingga di depan Pablo, dia mencengkeram tanganku erat sebelum berkata, “Aku ingin melakukan ini sejak dulu.” Lalu dia menciumku. Ciuman itu menuntut seakan dia ingin aku menyadari kehadirannya selama ini.
Saat akhirnya dia melepaskan diri dariku aku hanya bisa berkata, “Friends don’t kiss.” Menampar wajahnya dan berbalik pergi.
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar