Rabu, 27 Januari 2016

SYDNEY p.3



Aku sering bertanya pada diriku sendiri apa yang aku lakukan dengan Arga selama ini. Kami pergi ke tempat dimana kami dulu sering menghabiskan waktu. Dia menjemputku kalau aku sedang lembur, mengantarkanku pulang hingga di depan apartemenku di Darlinghurst sementara apartemennya berada di Ashfield. Tapi, aku sendiri juga tidak berniat mendefinisikan apa yang terjadi diantara kami.  Aku tidak tahu apakah ini residu dari perasaanku padanya dulu atau perasaan yang benar-benar baru, aku masih belum bisa memutuskan.
                Jadi, jangan salahkan aku ketika Doni bertanya padaku apa yang aku lakukan dengan Arga aku justru berbalik memarahinya. Aku tidak butuh seseorang yang menghakimi apapun yang sedang aku lakukan. That is the last person that I needed. Sebenarnya, kemarahanku pada Doni hanyalah refleksi kekesalanku pada diriku sendiri yang tidak bisa menjelaskan perasaanku. Aku tidak perlu diingatkan bahwa apapun yang aku lakukan dengan Arga adalah salah. I already knew that. Dan, Doni adalah orang terakhir yang aku harapkan akan menghakimiku. Kekesalan akan kenyataan itulah yang menamparku berkali-kali menjadikan rasa kesalku menjadi monster yang membuatku meninggalkannya hari itu. Monster itu seakan dibangunkan saat dengan lancangnya dia menciumku.
                God, Tris, just stop thinking about that kiss. Damn it, Doni Rasyid, what are you doing with me?
                Weekend ini Sydney agak mendung, angin laut agak lebih kencang dari biasanya. Tapi, entah kenapa aku justru sangat menikmatinya. Mendung dan angin laut seakan membuatku lebih bisa merenung, berpikir apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Aku tidak bisa menghindari Doni selamanya karena Gina belum tahu tentang hal ini tapi aku juga tidak bisa berpura-pura tidak ada yang terjadi pada kami setelah hari itu.
                “Tris, what happen?”
                “Nggak ada, Ga. Kenapa sih?”
               “Kamu mungkin ada disini tapi aku tahu pikiran kamu kemana-mana. Kamu tiba-tiba terlihat hilang gitu tadi.”
                “Nggak ada, Ga. Aku lagi mikir aja, banyak kerjaan akhir-akhir ini.”
                You know that I’m here, you know that you can tell me everything, right?”
                ”Yeah, I know, Ga. I know.” Aku menyandarkan kepala di bahunya seperti dulu hanya untuk membuatnya diam agar dia tidak perlu banyak bertanya. Dan agar aku tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi padaku, betapa berkecamuknya hatiku saat ini setelah ciuman itu. He doesn’t need to know that.
                “Tris?”
                “Hmm.”
                You know what? I can do this forever.”
                Do what?” tanyaku mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan berujung.
                Let’s try again, shall we? Let’s give it a try. Once more.
                Aku diam, memejamkan mata sejenak. Dia tidak menatapku, matanya lurus melihat laut di depan sana. Tapi, aku tahu dia serius, dia tulus berkata itu padaku.
Saat aku diam saja, dia memanggilku sekali lagi. “Tris?”
“Hmm.”
“Kamu tidur ya?”
                “Okay.” Aku menjawabnya tanpa membuka mata, tapi aku tahu dia tersenyum. Entah kenapa aku tidak tersenyum. Saat mengiyakannya aku hanya berpikir ini akan lebih mudah untukku dan Doni. Aku akan bisa bertemu dengannya tanpa harus merasa canggung karena kini aku bersama Arga. Doni tidak perlu berharap terlalu banyak tentang hubungan kami dan kami akan bersahabat sama seperti sebelumnya.
                Aku kembali dari Port Jackson saat hari sudah menjelang siang, kami mampir ke salah satu kedai makan di pinggir Port Jackson kemudian memutuskan untuk pulang. Saat sampai di apartemen Gina sedang bersama Candra, tunangannya, memilih undangan pernikahan mereka. Sama seperti yang aku lakukan bersama Arga lebih dari dua tahun yang lalu. Wajah mereka juga sama dengan kami waktu itu. She’s glowing. My best friend is a bride to be. Don’t get me wrong. I’m so happy for them both. Aku hanya khawatir Gina akan mengalami hal sepertiku, tapi aku juga sadar Gina bukan aku dan Candra bukan Arga.
                “Tris!” teriaknya histeris saat melihatku masuk ke apartemen kami. “Come and help me with this.” Katanya
                Aku duduk di karpet melipat kakiku kemudian ikut membolak-balik pilihan undangan di depanku. Arga juga ikut bersama kami. Aku tahu Gina tidak menyukainya tapi hari ini dia tidak berkomentar apa-apa. Aku tahu dia akan selalu menghormati semua keputusanku sama seperti aku menghormati keputusannya.
                Setelah kepulangan Arga dan Candra, Gina menyusulku ke kamar lengkap dengan piyama ungu favoritnya. Dia tersenyum, senyuman yang tidak pernah hilang sejak Candra melamarnya. Aku sendiri sudah gegoleran diatas tempat tidur ketika akhirnya dia bergabung denganku.
                I can’t believe that I’m gonna get married soon.”
                Yeah, me too.” Kataku, dia masih tersenyum matanya menerawang entah kemana.
                You know, Tris, I used to think that you’re the one who’s gonna get married first.” Tuturnya pelan seakan takut membuatku tersinggung.
                Aku tertawa membungkam semua kepahitan dalam suaraku, sebelum akhirnya menjawab, “Me too, Gin. But, life is full of surprise and I’m so happy for you.”
                “So, you and Arga are what now? A friend? Couple? Or what?”
                Aku menangkat bahu, kadang Gina memang menyeramkan, tanpa memberi tahunya dia seperti sudah tahu apa yang terjadi antara orang lain dan apa yang dipikirkan orang lain. “Gue kan cenayang, Tris” katanya ketika waktu itu bertengkar dengan Arga dan kembali ke apartemen.
                Gina menatapku masih menunggu jawaban, di bibirnya masih terulas senyum konyol sedangkan alisnya dia mainkan seperti saat biasanya kalau dia sedang penasaran. Aku mendesah keras sebelum menjawab. “Kind of. Tadi Arga nembak gue and I said yes.”
                “Lo tahu kan kalau gue bakal selalu bahagia dan dukung kalau itu kebaikan. He should be better this time. Gue nggak mau lo ditinggal lagi sama dia. No men worth your tears twice.”
                “Iya, gue tahu, Gin.”
                “Jadi, kalian udah ngapain aja?” dia melakukan ekspresi yang sama lagi.
                Aku tertawa kemudian menimpuk mukanya dengan bantal. “Nggak ngapa-ngapain.”
                No goodbye kisses? No sleepover?
                “Nggak penting banget, ya, lo.” Sekarang giliran dia yang tertawa.
                By the way, Tris. Besok anterin gue cari gaun ya. No women can do this without her best friends.
                Best friends? Lo mau ngajak siapa aja? Temen lo sekampung?”
                “Sialan”, katanya. “Lo sama Doni.”
                “Sebenernya, gue sama Doni not in speaking terms right now.” Kataku berusaha mengucapkannya senormal mungkin.
                Dia tidak bertanya hanya mengangkat alis seakan berkata “Serius? Kenapa?”. Jadilah aku menceritakan kejadian siang itu tanpa menghilangkan detail apapun.
                Saat aku selesai bercerita Gina hanya mendesah kemudian berkata, “Udah gue duga.”
                “Lo udah tahu?”
                “Nggak, tapi sewaktu dia nanya ke gue tentang hubungan lo sama cowok yang di Freda’s itu dia kelihatan marah banget. Nggak tahu juga kenapa. Mungkin dia udah tahu kalau kalian ada masalah dan yang disakitin itu lo, bukannya Arga. Dia kan juga tahu orang itu nggak mungkin ada hubungannya sama gue. Jadi, mungkin dia nyimpulin sendiri.”
                Dia terlihat berpikir sebentar. “Tapi lo tetap mau nemenin gue kan? Sekali seumur hidup lo doang, Tris. Kapan lagi gue nikah? Masalah Doni gampang lah.”
                “Lo nggak jadi ngajak Doni?”
                “Ya jadilah. Gue kan butuh pendapat dari cowok juga. Gampang lah, anggep aja ini cara gue mendamaikan kalian. Biar nggak seperti kucing sama anjing.”
                I don’t think it’s a good idea.
                Just promise me you’ll come.
                Aku mendesah pasrah. “Okay. But, it’s gonna get really awkward.
                Benar saja, dua minggu kemudian ketika Gina, aku, dan Doni menyusuri Paddington hingga Parramatta untuk mencari gaun pernikahan Gina, kami hanya berkendara dalam diam. Hanya ada suara radio mengalunkan lagu Back To You milik John Meyer.
                Come on, guys. What’s wrong with you two? It should be fun!” katanya sudah tidak tahan dengan diamnya kami berdua.
                Akhirnya, Doni yang angkat bicara. Melucu seperti biasanya, jokes yang sering dia lemparkan saat kami makan siang bersama. Aku hanya diam saja, bingung bagaimana harus meresponnya. Aku hanya tertawa seadanya. Aku terselamatkan ketika akhirnya kami sampai di toko keempat hari ini, terletak di Church St. Parramatta, Bridal Secrets, memiliki toko bergaya gothic berbentuk seperti gereja. Dindingnya berwarna cokelat seperti batu-bata yang sengaja tidak di cat. Meskipun terlihat tua dari luar, di dalam toko ternyata sama sekali berbeda. Dinding di dalam toko di cat dengan nuansa putih dan abu-abu. Terdapat sebuah sofa berwarna hitam dan silver yang sengaja disediakan untuk pengantar a bride to be seperti aku.
                Kami hanya duduk bersama dalam diam ketika Gina mencoba gaun-gaun yang sudah dipilihnya. Banyak hal yang sebenarnya ingin aku beritahukan kepada Doni seperti bahwa aku sudah kembali lagi bersama Arga dan betapa aku marah padanya. Namun, akhirnya semua itu tidak tersampaikan. Sepuluh menit kemudian, Gina keluar dengan gaun Maggie Sottero berwarna putih. Gaun itu tidak terlalu rumit, hanya sebuah gaun berbelahan dada rendah berbentuk v-neck tanpa lengan. Bagian atasnya berbahan brokat sedang bawahnya terbuat dari satin panjang, terdapat sedikit Swarovski pada bagian pinggangnya berbentuk seperti ikat pinggang. She looks amazing.
                Ketika dia keluar kami otomatis terpesona melihatnya dengan gaun itu. Dia membenarkan bagian bawah gaunnya, kemudian menatap kami dengan rona bahagia meskipun aku tahu dia lelah.
                Well, I hope this one is good enough. Aku udah capek.” Katanya merajuk.
                You look stunning!” kata Doni. Aku ikut mengangguk. Dia benar Gina terlihat luar biasa.
                Gina kembali ke kamar pas, saat itulah aku melihat iPhone-ku bergetar di meja. Arga calling.
                “Hallo? Iya, Ga?” jawabku. Aku memberi isyarat pada Doni untuk keluar sebentar. Dia hanya mengangguk.
                “Iya, ini lagi nemenin Gina cari gaun. Di Parramatta. Kenapa, Ga?”
                “Aku susulin kesana ya?” katanya.
                Udah gila dia, batinku. Tapi yang keluar adalah, “Kamu lagi dimana memangnya?”
                “Nggak jauh, 10 menit lagi sampai.”
                “Okay. Aku di dalam ya, langsung masuk aja.”
                Sepuluh menit kemudian Arga sudah sampai di Bridal Secrets, dia duduk di sampingku sementara Doni duduk tidak nyaman di depan kami. Aku juga tidak nyaman dengan posisi seperti ini, aku merasa seperti sedang sengaja menyakiti Doni. Tapi, Doni, as he always does, mulai berbicara dengan Arga tentang hal-hal remeh seperti sepak bola. Mungkin, itu cara Doni mengatasi kecanggungan diantara kami. Sedangkan aku mengatasi kecanggungan dengan pergi dari situ dan berkeliling berpura-pura melihat gaun apapun yang mereka pajang.
                Gina selesai fitting gaun itu setengah jam kemudian, ketika kami akan pulang, Arga mengajakku untuk pulang bersamanya. Gina hanya mengangguk sedangkan Doni tidak berkata apa-apa. Sebelum kami masuk mobil, Doni sempat memegang tanganku dan membisikkan kata-kata yang tidak aku sangka akan keluar dari mulutnya, “Gue bakal selalu ada disini, Tris. Kalau lo butuh apa-apa atau Kalau dia macem-macem bilang sama gue, biar gue bekep.” Aku hanya tersenyum dan berkata, “I know.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar