Jumat, 29 Januari 2016

SYDNEY p.4



Doni membuka pintu mobil kemudian aku dan Gina turun. Sydney sedang musim panas jadi malam ini cuaca agak gerah. Angin laut berhembus pelan membawa lengket garam. Musim panas seperti ini, pekerjaanku dan Gina sebenarnya sedang gila-gilaan karena banyak gosip dan event-event besar diadakan pada waktu ini. Tapi, kami bertiga justru berencana untuk menghabiskan malam di Watsons Bay Beach Club setelah Doni memaksa kami untuk menemaninya menikmati panasnya summer di Sydney.
                Agak susah mendapatkan meja di Watsons dan entah pesona apa yang diberikan oleh Doni akhirnya kami bertiga mendapatkan tempat duduk tepat di bawah pohon dengan pemandangan laut di depan mata. A perfect place for summer, I think. Kami menghabiskan malam dengan tiga gelas pinot noir membicarakan apapun yang menarik malam ini.
                “Udah berapa cewek sih yang jadi korban lo, Don?” tanyaku malam ini di sela tawa dan alunan musik di Watsons.
                “Udah ada kali sekampung kalo dibikin perumahan,” Gina menimpali membuat kami tertawa.
                “Sialan,” umpat Doni pura-pura kesal. “Lagian pertanyaan lo salah, Tris. Yang bener adalah berapa orang beruntung yang udah dapet pelajaran hidup dari gue.” Katanya membela diri.
                Kami tertawa.
                Aku tersentak terbangun dari mimpiku. Itu mimpi tentang kejadian empat bulan yang lalu ketika kami masih baik-baik saja dan kami bertiga seakan tidak terkalahkan. Us vs the world.  And look at us now, tidur di ruangan yang sama namun practically looks like stranger. Ruangan ini sedikit temaram, hanya ada dua buah lampu tidur di sebelah kanan dan kiri ranjang. Doni tidur di sampingku dengan posisi duduk diatas sofa, sedangkan aku meringkuk di sofa. Gina tidur bersama Candra diatas ranjang tempat Candra dirawat.
                Seminggu yang lalu, saat sedang bermain bisbol tangan Candra cidera dan harus dirawat karena mengalami keretakan. Hari itu, aku dan Gina sedang di kantor menulisi undangan yang akan mulai disebar. Dan dengan paniknya Gina langsung bergegas menuju rumah sakit.
                “Tris, what if it’s a sign? Gimana kalau ini sebuah kesalahan? Gimana kalau ini pertanda gue sama Candra nggak harusnya menikah?” dan racauan lainnya yang aku dengar selama di perjalanan.
                “Gin, Gin. Calm down, okay. It’s gonna be fine, okay. Tarik nafas. Listen to me, tarik nafas.” Kataku siang itu.
                Dan sore tadi ketika aku menjenguk Candra dan berencana menemani Gina tidur di sini malam ini, Doni dengan entengnya menawarkan diri untuk menemaniku tidur di sini. Aku sudah menolaknya dengan berbagai alasan tapi tak berhasil. Jadi, akhirnya aku biarkan dia tidur di sini. Kami tidak banyak bicara, Doni lebih sering bicara dengan Gina atau Candra tapi tidak denganku.
                Aku bangkit dari sofa berencana keluar dari ruangan ini, mencari udara segar Sydney di musim gugur. Ada sebuah balkon kecil di dekat ruang rawat Candra, aku hanya berdiam di sana mengamati jalanan Sydney di bawahku yang tidak pernah sepi bahkan di waktu seperti ini.
                “Tris,” panggil seseorang dari belakangku.
                Aku menengok, hafal dengan suara orang yang memanggilku. “Hei, Don.”
                “Nggak bisa tidur?” tebaknya
                “Nggak, tadi kebangun aja. Lagi cari udara segar.”
                Dia tertawa. “Sydney has no fresh air, you know that.
                Giliran aku yang tertawa. Dia benar.
Sydney tidak jauh berbeda dengan Jakarta, kota metropolitan ini memang tidak pernah sepi. There are always lives beating in this city. Meskipun banyak taman kota yang dibangun disini, tapi tidak pernah bisa membuat udara di Sydney menjadi bersih apalagi segar.
“Tapi, kadang keramaian adalah hal yang dibutuhkan oleh orang-orang yang ingin membunuh sepi, Tris.” Katanya merenung.
Aku hanya memandanginya. “Yeah, walaupun kadang sepi yang disini,” kataku menunjuk hati, “stay no matter how loud the city is.
Kami berdua sama-sama terdiam.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada tahun 2005, Frank Warren mendirikan sebuah komunitas dimana setiap orang dapat mengirimkan surat secara anonim dalam sebuah postcard. Surat tersebut dapat berisi apa saja, tidak ada larangan dalam konten surat yang mereka kirimkan. Aturannya hanya dua: jujur dan belum pernah diceritakan kepada orang lain. Surat-surat tersebut kemudian akan dipilih dan diposkan dalam blog PostSecret.
Aku sendiri terkadang membuka PostSecret saat keadaan di kantor sedang tidak terlalu sibuk. Dua minggu yang lalu aku menemukan sebuah surat yang diposting oleh Warren dalam blognya, postcard itu bergambar daisy dengan tulisan tersebar di seluruh halamannya berbunyi, “When I pick daisy petals, I always say: He loves me, he loves me, he loves me. Because I’m too afraid of risking the other option.”
Dua minggu berlalu dan kata-kata itu masih berhasil menamparku hingga sekarang. Kenapa? Karena itulah yang selalu aku lakukan setiap kali aku bertemu dengan Arga selama tiga bulan terakhir hubungan kami. Every time I see him, I convinced myself that he loves me. Hal itulah yang menjaga pikiranku tetap waras saat aku berkali-kali melihat Arga keluar bersama sekertarisnya.
Arga memang masih perhatian denganku, masih sering menjemputku ketika lembur, dan menghabiskan waktu denganku ketika weekend. Kami sering hanya duduk diam berdua menonton DVD dengan semangkuk popcorn di apartemennya ketika weekend dan kami malas pergi kemana-mana. Sometimes, words doesn’t matter, but the presence of ourselves. Tapi, pagi itu dua minggu yang lalu, aku sedang bersama Doni keluar membeli sarapan, setelah semalaman menunggu Candra. Kami berdua melihat Arga keluar dari mobilnya, membukakan pintu lalu seorang wanita muda berusia sekitar 24 tahun keluar dari mobilnya, aku mengenalnya dengan baik, wanita itu adalah Vivian sekertarisnya di kantor.
Doni yang pertama kali melihatnya, lalu berlari kearah Arga dan menghujamkan tinju tepat di rahang sebelah kanannya. Arga hanya terenyak kemudian berusaha berdiri kembali sementara kami berdua, aku dan Vivian, hanya bisa menjerit histeris. Sampai akhirnya, aku meminta Doni untuk berhenti.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Warren telah menerbitkan buku yang berisi surat-surat yang dikirimkan kepadanya melalui PostSecret. Dalam bukunya, Warren selalu menyelipkan sebuah cerita rahasia yang sengaja ia bagikan kepada publik. Warren pernah berkata dalam bukunya yang berjudul My Secret, “Sometimes when we think we are keeping a secret, that secret is actually keeping us.
Doni tidak pernah tahu bagaimana keretakan hubunganku dengan Arga. Aku menyimpannya untuk diriku sendiri. Gina juga tidak tahu tentang hal ini. Aku tidak berniat memberitahu Gina yang sedang hectic dengan berbagai urusan pernikahan dan keadaan Chandra yang cidera. It’s his second chances and he already failed twice.
Aku menemui Arga dua hari setelah insiden kejadian itu, dia baik-baik saja meskipun lebam masih terlihat di dekat rahangnya. Dia terkejut melihatku mampir di kantornya.
“Hi.” Sapaku, “How’s your wound?” tanyaku sedikit khawatir. Aku membenci diriku sendiri yang masih khawatir.
“Nggak apa-apa. Bentar lagi juga hilang. Tris, let me explain it to you,” katanya berusaha menjelaskan sebelum aku menyuruhnya diam.
“Nggak usah, Ga. Nggak perlu,” kataku sedatar mungkin, “Maybe we just not meant to be together. I should know better that we won’t work. Kita sudah mencobanya sekali dan gagal kan, Ga. And it’s the second time we failed. Aku nggak mau ada yang ketiga, Ga.” Kataku tegas.
“Tris, you have to trust me, please.”
Trust is earned. And I don’t see you try. So let’s just stop trying, Ga. Okay?
Itulah terakhir kalinya aku berbicara dengan Arga sebelum akhirnya bertemu lagi dengannya hari ini. Hari ini adalah hari pernikahan Gina dan meskipun tangan Candra memang belum sepenuhnya tetapi mereka berdua terlihat bahagia. They look perfectly happy. Pernikahan Gina didominasi dekorasi berwarna mint dan ivory terlihat segar berpadu dengan cuaca Sydney yang cerah namun tidak terik sore ini.
“Nih, gue ambilin minum buat lo.” Doni mengangsurkan sebuah gelas berisi soda dan segelas champagne untuknya.
“Thanks, Don. Sendirian aja lo?”
“Nggak, kan berdua sama lo, Tris. Lagian gue kan udah insyaf,” katanya acuh.
Aku hampir tersedak. “Ya, ya, ya. Look who's talking. Lo pikir gue nggak lihat daritadi lo flirting sama cewek sana sini..”
“Sialan,” katanya kemudian tertawa.
Gina tersenyum diatas kursinya melambaikan tangan ke arahku. Sedangkan Candra disampingnya mengecup puncak kepala Gina dan tersenyum bahagia. Aku dan Doni sama-sama melambaikan tangan.
They do look great together, don’t they?”
Yeah, they are.” Kataku tersenyum
We do look great together, don’t you think?”
Aku hanya tertawa sebelum menjawab, “You wish.”
Saat aku melihat kembali kearah Gina dan Candra, mataku menemukan Arga datang bersama Vivian bersalaman dengan Gina dan Candra dan berjalan ke arahku dan Doni. Saat melihatku, Arga hanya menyapa kemudian berlalu. Aku teringat sebuah line dalam salah satu episode TV series yang sering aku tonton bersama Gina, saat itu Camille sedang berbicara dengan Marcel mengenai Klaus setelah menghabiskan malam bersama Marcel kemudian Camille berkata, “Maybe it’s better to move forward instead of holding on things we can’t change.”
Untuk Cami, Klaus is the thing she can’t change. Just like, Arga, for me. In the end, I understand somebody is never gonna change from the way they are.
You’re okay, right, Tris?” Tanya Doni setelah Arga berlalu, suaranya khawatir.
I’m okay. Don’t worry about me. We’re like friends now.”
                Di salah satu edisi PostSecret, ada sebuah kartu pos dengan foto siluet dua orang yang sedang berdiri di dalam kolam renang di atasnya terdapat tulisan dengan huruf kecil: “The funny thing is, nobody ever really knows how much anybody else is hurting. We could be standing next to somebody who is completely broken and we wouldn’t even know it.”
                Yang tidak Doni tahu adalah bahwa aku adalah seorang wanita yang sudah rusak dan aku sendiri tidak tahu apakah masih bisa diperbaiki atau tidak.
                “Tris, I know this maybe too soon. But, I want to be with you. We’ll take it slow, you can take all the time you need. I don’t care, but let me be with you.” Katanya, matanya menatapku mantap.
                “Don, I’m broken.” Kataku lemah.
                “I will fix you. You can take all the time in the world, Tris.”
                Aku tidak menjawab, you know what, Don, it’s hard for me to trust someone all over again. In the end, you can’t trust someone it’s only yourself.
                “Dance with me?” katanya mengalihkan pembicaraan saat aku tidak kunjung menjawabnya.
                Aku tertawa. “You’re joking, I can’t dance.”
                Oh, you can. Because your partner is professional dancer,” katanya.
                Aku tertawa lagi. Dan dia benar, dia benar-benar mahir menari berbeda denganku yang hanya mengikuti gerakan kakinya. Aku meletakkan kepala di pundaknya, menikmati bunyi nafasnya yang teratur.
                You, know that I love you, right?” tanyanya ketika musik hampir berhenti, dia memutarku wajahku menghadap matanya.
                I know,” kataku.
                Dia tertawa. Tawanya ringan, tidak seperti orang sedang tercekik atau tersendat kehabisan nafas. In fact, he has nice laughs. And one thing I realize: he’s growing on me.
-----------------------THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar