Kamis, 21 Januari 2016

SYNDEY


Some people say it is love that keep us going. For me, it is work—job that keep me going. Bukan berarti aku workaholic atau gila harta. I’m not. It’s just much easier that way. Bekerja dari pagi sampai subuh, punya rutinitas yang pasti setiap hari, tidak perlu bertanya-tanya kejutan apa yang akan dihadapi hari ini karena biasanya tidak ada sesuatu yang spesial setiap harinya, kecuali kalau Pak Bos tiba-tiba marah-marah meminta headline minggu ini diganti atau revisi seluruhnya. Pekerjaanku hanya berkutat diantara kertas, pulpen, komputer dan telepon. Bangun, lapor Bos Besar, sarapan, berangkat, membuat kopi, menyerahkan draft, revisi, rapat, lapor Bos Besar, makan siang, menyerahkan draft, revisi, lapor Bos Besar, pulang, mengerjakan judul baru, lapor Bos Besar, tidur, kemudian mengulang semua itu lagi setiap harinya. My life seems boring, right? But, I don’t find it boring. Karena kehidupan diluar itu jauh lebih sulit untuk dijalani.
Kadang, kalau keadaan sedang tidak hectic seperti hari ini, Gina, teman dekatku akan menarik kursinya ke arah mejaku kemudian menatapku sebentar dan bertanya, “Are you okay?” aku tahu dia hanya khawatir, namun dia juga tahu bahwa aku akan selalu menggangguk mantap dan menjawabnya tanpa keraguan, “I’m okay. Why can’t I be?
Namun, yang tidak dia ketahui adalah pertanyaan-pertanyaan yang muncul setelah jawaban itu. Pertanyaan yang hanya bisa diajukan kepada diriku sendiri. Apakah aku benar-benar baik-baik saja? Kadang, aku dengan mudah menjawabnya. Namun, kadang, jawaban yang tidak aku inginkan muncul. Dan, secepat kemunculannya, secepat itu pula aku mengenyahkannya. Aku baik-baik saja. Aku sudah mengulang kata-kata itu selama dua tahun seperti mantra.
Aku hidup merantau berdua dengan Gina sejak lulus SMA, meninggalkan Yogyakarta untuk kuliah di Sydney dan memutuskan untuk tidak pernah kembali lagi setelahnya. Setiap weekend Bunda selalu menelponku, sekadar memastikan anak perempuannya baik-baik saja, “Piye, Nduk, kabarmu?” selalu begitu pertanyaan Bunda saat menelponku. Jawabanku juga selalu sama, jawaban standar yang selalu aku berikan kepada orang-orang yang bertanya keadaanku. Aku baik-baik saja. Bukan karena aku tidak terbuka dengan Bunda, hanya saja aku tidak ingin membuat Bunda khawatir dengan keadaan putrinya yang jauh darinya.
Setelah jawaban itu, Bunda selalu menghela nafas sebelum berkata, “Nduk, kamu tahu kamu selalu bisa cerita ke Bunda masalah apa saja, kan?”
Aku mengangguk, meskipun tahu Bunda tidak akan melihatnya, “Iya, Nda, saya tahu.”
Itu percakapan seminggu yang lalu, Bunda akan menelponku lagi nanti malam dan entah kenapa aku enggan untuk bicara dengannya. Mungkin, karena setiap pertanyaannya hanya akan aku jawab dengan kebohongan lagi, kebohongan yang sama setiap minggunya selama dua tahun terakhir. Atau mungkin, aku memang baik-baik saja. Aku rasa aku mulai kurang kafein karena mempercayai kebohongan yang aku buat sendiri.
“Tris! Trisa! Earth to Trisa!” Gina memanggilku, menjetik-jentikkan jarinya di depan mataku.
“Apaan sih, Gin,” jawabku malas.
You seemed off,” katanya, matanya menatapku khawatir sedangkan tangannya yang lain memegang file yang sudah siap diantar ke Pak Bos.
“Nggak, eh, itu headline yang mau dicetak besok, kan? Sini gue lihat dulu,” kataku berusaha menjauhi topik yang sebenarnya. Gina hanya mengangsurkan file itu dan menarik kursi duduk di depanku.
“Okay, udah bagus nih, gue anter ke Bos dulu. Tunggu disini. Abis ini kita lunch bareng, udah laper gue,” kataku sambil berlalu.
Sepuluh menit kemudian aku keluar dari ruangan Bos dengan senyum lebar. Satu slot sudah terisi, tinggal mengerjakan yang lain.
“Gimana? Bos setuju?” Gina menghadangku di luar ruangan Bos.
“Yep, kita bisa lunch dengan tenang.
Gina meraih iPhone di saku blazernya. “Bentar, gue ajak Doni dulu."
Jadilah kami bertiga terdampar di Pablo & Rusty’s menikmati nitro coffee-nya yang terkenal dan roast chicken sandwich. Pablo & Rusty’s adalah salah satu dari sekian banyak bar dan kafe yang tersebar di sekitar Sydney CBD. Tempatnya cukup nyaman dengan interior bernuansa kayu dan cat hitam yang mendominasi ruangan. Halaman depannya bersentuhan langsung dengan Castlereagh Street.
“Tris, gue ada party nih besok di Freda’s,” Doni yang sejak tadi tidak berhenti mengunyah sandwich tiba-tiba menyeletuk.
“Nggak ah, males gue, mending tiduran di rumah,” kataku malas. Aku bukan anak rumahan sebenarnya, namun kerjaan yang gila-gilaan kadang membuat seseorang lebih menghargai waktu di rumah daripada harus clubbing kesana kemari kemudian paginya hangover.
Come on, Tris. It’ll be fun, promise. Sekali-kali nggak apa kan lo keluar cari kesenangan,” sekarang giliran Gina yang merayuku.
“Capek gue, Gin. Nggak penting juga disana, palingan kalian yang teler cuman gue yang sober akhirnya gue juga yang nyopirin kalian balik.”
“Nah, itu tahu. Lumayan kan kalo lo ikut, Tris. Gue sama Doni nggak perlu bayar taksi.”
Dasar si sableng ini. Akhirnya, setelah birokrasi panjang lebar dan janji sana-sini, aku mengiyakan.

Namun, aku segera menyesali keputusanku mengiyakan mereka hari itu karena malam ini aku hanya duduk di salah satu sudut Freda’s puas dengan segelas mocktail membiarkan kedua temanku menari di lantai dansa. Mereka sempat mengajakku tadi tapi aku masih cukup waras untuk tidak ikut menari bersama mereka. Tiba-tiba iPhone di saku celanaku bergetar, aku melirik jam tangan sebentar.
“Halo, assalamualaikum. Iya, Nda?” sapaku berusaha mengalahkan kebisingan.
Aku menoleh ke arah Doni dan Gina memberi isyarat untuk keluar sebentar. Mereka berdua hanya mengangguk sebentar kemudian lanjut menari.
“Halo. Iya, Nda? Maaf tadi nggak kedengeran, nemenin Gina sama Doni, Nda.”
“Oh, yasudah. Nanti saja, Bunda telepon lagi. Jangan pulang malam-malam, Tris. Nggak baik,” kata Bunda kemudian menutup telepon.
Aku berbalik berencana masuk kembali ke dalam. Saat itulah aku melihatnya, seorang laki-laki yang sedang membungkuk di sebelah kanan pintu masuk. Akal sehatku menyuruhku untuk membiarkannya saja tetapi kakiku secara refleks berjalan ke arahnya, tidak tega melihatnya muntah sendirian. Aku menghampirinya. Setelah dua tahun dalam hidupku, aku menghampirinya.
Are you okay?” tanyaku hati-hati, takut tiba-tiba dia muntah di sepatuku.
Dia tidak menjawab, tangannya hanya menyuruhku untuk menjauh. Setelah lima menit dia berhenti muntah dan terlihat lebih baik.
Are you okay?” aku mengulangi pertanyaanku sekali lagi.
Dia tersenyum samar. “Yeah, I’m fine.”
Come on. Let me take you inside, you need water.
Dia hanya menurut, tidak memiliki tenaga untuk membantah.
Setelah meminum beberapa tegukan dia terlihat membaik, rona pipinya telah kembali. Dia tertawa kecil. “Thanks and sorry. I’m really messed up right now.” katanya tertawa lagi
It’s fine. Feeling better?"
Yeah. It’s been two years, right?
“Iya, nggak kerasa ya,” aku tertawa lemah tidak berani melihat matanya, tanganku memainkan gelas di depanku.
How have you been?”
Fine, nothing special,” aku menjawab seadanya, “What about you?” tanyaku sopan.
“Sama, aku baik. Sama siapa kesini?”
“Sama mereka,” tanganku menunjuk Gina dan Doni.
Oh, I think you two look great together,” katanya. Aku tidak paham siapa yang dia maksud. Aku dengan siapa?
“Aku? Sama siapa? Doni?”
“Iya, kalian serasi,” katanya sambil meneguk sparkling water.
Aku hanya tertawa, benar-benar tertawa seperti tidak pernah tertawa sebelumnya. “Are you joking? We’re friends, Ga, nothing special,” kataku masih sambil tertawa. Dia hanya dia mengangkat bahu. Sementara aku masih tertawa tidak habis pikir.
Gina melihatku tertawa kemudian menghampiri kami, Doni mengekor di belakangnya. Mukanya berubah ketika melihat siapa yang duduk bersamaku, “Hai, Ga.” sapanya sopan.
“Hai, Gin. What’s up?"
I’m good. We’re about to leave. See you around, Ga,” kata Gina menarikku dan Doni pergi dari Freda’s.
Sepanjang perjalanan Gina diam, tidak berkata apa-apa. Doni yang baru mengenalku dan Gina satu tahun belakangan tidak tahu apa yang terjadi malam ini jadi dia juga ikut diam. Aku juga diam hanya ada suara radio yang sedang memutar lagu Paperweight milik Joshua Radin dan Schuyler Fisk.
Gin, say something, please,” kataku sesampainya di apartemenku dan Gina aku tidak tahan lagi karena dia tetap diam saja.
“Aku harus ngomong apa, Tris? Kamu lebih tahu dari aku harus gimana.”
“Aku nggak tega, Gin. Dia tadi muntah sendirian di depan Freda’s. What am I supposed to do? Diemin aja?”
Are you okay? Meeting again with him like this?” tanyanya, sorot matanya melunak.
I’m okay. What if I already forgive him? Gimana kalo ternyata aku udah maafin dia? Karena tadi aku benar-benar baik-baik saja.
You may forgive but you won’t forget, Tris. You know that,” katanya pelan, “Udah ah, gue mau tidur, pusing gue,” katanya berlalu.
Dia benar, aku mungkin sudah memaafkannya. Namun, apa yang terjadi tidak akan pernah terlupakan. Tidak ada hal yang luput dari ingatan seseorang. Tidak ketika ingatan itu terlalu menyenangkan atau terlalu menyakitkan. Seperti untuk seseorang yang telah menganggur bertahun-tahun, tidak akan pernah melupakan bagaimana rasanya mendapatkan gaji pertama. Untuk seseorang yang telah menunggu buah hati bertahun-tahun, kamu tidak akan lupa bagaimana rasanya ketika mendengar bayi mungil itu menangis pertama kalinya. Atau untuk seseorang yang telah kehilangan orang yang dicintainya, Kakek, Nenek, Adik, Kakak, Bapak, Ibu, kamu tidak akan pernah lupa bagaimana rasanya sakit itu. Karena beberapa rasa sakit tidak pernah beradaptasi, kamu tidak akan pernah terbiasa dengan perasaan sakit karena kehilangan.
Dan untukku, aku tidak akan pernah lupa bagaimana rasanya ketika melihat Arga calon suamiku, yang dua minggu lagi akan menikah denganku, aku temukan tidur bersama perempuan lain di apartemen kami. Aku tidak akan lupa bagaimana rasanya ketika melepas cincin tunanganku, mengepak kembali barang-barang yang sudah aku pindahkan ke apartemennya dan kemudian kembali ke apartemenku dan Gina. You may forgive, but you won’t forget. Gina benar.
Let me tell you about the day I left him. Aku masih ingat benar hari itu, Kamis 23 Januari 2014. Aku memutuskan untuk pulang lebih awal, berencana makan malam bersama Arga. Hari itu aku berencana memasak untuknya, aku sudah membeli red wine untuk kita berdua. Merayakan promosi jabatanku menjadi senior editor. Aku memiliki kunci apartemen Arga sejak kita memutuskan untuk menikah. Jadi, hari itu seperti hari-hari sebelumnya, aku membuka pintu apartemen, meletakkan wine dan jaketku, kemudian berencana mandi sebelum memasak. Aku masuk ke kamar Arga dan menemukan wanita itu, di balik selimut Arga. Arga hanya mendongak, matanya terkejut menemukanku di ambang pintu. Aku hanya diam, menutup pintu, kemudian pergi dan tidak pernah kembali lagi ke apartemennya.
Arga berusaha menghubungiku ratusan kali setelah hari itu. Menemuiku di apartemen, menghadangku di lobby kantor, menelponku, mengirim email, mengirimkan pesan melalui pos, bahkan meminta Gina untuk membujukku bertemu dengannya. Hingga suatu hari, aku menemuinya, Arga selalu menghabiskan waktunya di Starbucks menyiapkan rancangan proyek-proyeknya, seperti hari itu. Aku menemukan Arga duduk di tempat biasanya, wajahnya terlihat serius sedangkan tangannya bergerak diatas kertas. Aku pernah bertanya padanya dulu, saat kita masih bersama, kenapa dia selalu memilih duduk di dekat jendela. Dia mendongak dan tertawa kecil sebelum menjawab, "Karena, Tris, dari sini kita bisa lihat orang di luar sana."
"Ga, aku tanya beneran."
"Okay.  Karena dari sini kita bisa lihat orang di luar sana, jadi pengamat. Seperti orang yang duduk menonton dari pinggir panggung. Wondering what they might think. It's like we are here, but weren't here in the same time."
Namun, hari itu, dia masih berkutat dengan kertas dan pensil ketika aku datang kemudian duduk di depannya. Dia mendongak, matanya terlihat gembira. Hari itu, kita tidak membicarakan tentang mimpiku atau mimpinya, tidak membicarakan tentang desain yang sedang dia kerjakan atau rencana breakfast Sabtu pagi. Hari itu adalah hari yang benar-benar berbeda. Aku hanya tersenyum tipis, memberinya tanda untuk diam sebelum aku bicara.
“Ga, aku cuma mau mengembalikan ini,” kataku melepas cincin yang sudah satu setengah tahun melingkar di jari manisku. Aku meletakkannya di meja, mengecup pipinya sekilas. Dia tahu bahwa itu adalah kecupan perpisahanku untuknya, jadi dia hanya diam, matanya mengamatiku hingga aku keluar dari Starbucks siang itu. Dan kami tidak pernah bertemu lagi setelahnya, hingga malam ini.
Kata orang, when someone gets hurt they won’t be the same people anymore. Itu juga yang terjadi padaku setelah hari itu. Jadi, setelah hari itu aku menyibukkan diri dengan bekerja bahkan saat weekend, Gina sering mengajakku keluar atau bahkan secara terus terang menjodohkanku dengan teman-temannya tetapi aku selalu menolak. Saat itulah aku sadar apa yang hilang dari diriku. Kepercayaan. Aku tidak pernah mempercayai lelaki lagi setelah kejadian itu. The only people who can hurt you is the one you loved the most. Hidup akan lebih mudah ketika kamu menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menyakitimu. Aku menjauhi sebanyak mungkin lelaki setelah kejadian itu.
Sampai pagi ini, ketika ponselku berbunyi dan ada sebuah pesan masuk dari nomor yang telah aku hapus namun masih aku hafal. Shit, Ga, I can erase you but I can’t forget you. Hanya satu kata, “Coffee?” dan entah karena dorongan apa aku mengetikkan jawaban, “OK.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar