Kamis, 07 Juni 2012

Sedikit Lebih Banyak


Hidup itu kata orang punya banyak rasa. Kadang pahit kadang manis, saat manis rasanya seperti lollipop, sedangkan saat pahit, pahitnya tidak main-main rasanya seperti kopi luwak! Ini hanya sepenggal cerita manis dan pahit yang aku alami 1 tahun terakhir ini. Cerita tentang manis pahitnya persahabatan dan cinta.
            “Uuh!” keluh Lulu.
Aku Deandra Anindika Surya Putri. Panjang ya? So panggil saja aku Andra. Aku duduk dibangku kelas 12 SMA. 2 tahun terakhir aku bersekolah di SMA 16 Yogyakarta. 3 tahun yang lalu Ayahku dipindah tugaskan ke kota pendidikan ini. Aku pindahan dari Surabaya, jadi tidak terlalu sulit untuk ku menyesuaikan diri dengan budaya Yogyakarta. Untunglah aku tinggal tepat dibagian tengah kota Yogyakarta, jadi aku lebih mudah mengenal orang-orang melalui situs jejaring social.
            “Kenapa, Lu?” tanya Fera.
            “Ditimpuk, siapa sih yang jail?” tanya Lulu.
            “Ssssst!” teriak satu kelas kompak mendengar Lulu mengoceh.
            “Zzz.” gumam Lulu sebal.
            ‘Hihihi’ kikik ku dalam hati.
            Kelas ku 12 IPS 1. Ramai sekali suasana kelas ku ini, ditambah lagi dengan Lulu yang suka ngoceh, Fera yang suka dandan, Tania yang usil banget, Gia yang centil, terakhir Yui. Kalau yang ini, beda lagi, Yui cewek ini duduk di sebelah ku kalau duduk bareng aku paling sering curhat masalah mantannya yang 3 tahun lebih tua dari dia. Tapi, you’re the best Yu!
            Kami berenam bersahabat sejak masuk SMA sama-sama berasal dari komplek yang sama. Hanya saja berasal dari background keluarga yang berbeda-beda.
  1. Lulu Trias Dewi berasal dari keluarga pengusaha geplak yang terkenal di Yogyakarta. Lulu adalah anak terakhir dari tiga bersaudara sehingga ditengah namanya diberi kata Trias karena dia adalah anak ketiga. 
  2. Fera Nisa Widianti Papanya dosen di UGM, sedangkan Mamanya ibu RT atau ibu Rumah Tangga, Fera adalah anak tunggal.
  3. Tania Maria Metadara. Tania ini satu-satunya teman dekat ku yang berbeda agama dengan ku dan teman-temanku yang lain. Papanya Pendeta di GKJ Tamansiswa, sedangkan Mamanya dokter di RS.Bethesda.
  4. Dewi Gianyar Imanita. Gia dilahirkan di Yogyakarta, tapi sehari sebelum Mamanya melahirkannya Mamanya baru pulang dari Bali sehingga namanya diambil dari salah satu nama kabupaten di pulau itu.
  5. Yui Omarta Wijaya. Yui diambil dari nama Jepang, Yui memang asli keturunan Jepang. Mamanya berasal dari negeri sakura, sedangkan Papanya pernah menuntut ilmu di negeri itu.
  6. Aku sendiri Deandra Anindika Surya Putri anak kedua dari dua bersaudara, Ayahku bekerja sebagai dokter di RS. Sardjito sedangakan bundaku bekerja sebagai pegawai kantoran di pemerintahan.
“TEEEEEEEEEETT!”
“Yeeeeee.” suara anak anak kelas 12 IPS I bergemuruh bersamaan dengan berakhirnya pelajaran Geografi.
“Langsung pulang kan?” tanya Yui.
“Iya, aku dipingit sekarang.” jawabku.
“Yaudah yuk!” ajak Yui.
“Pulang sekarang?” Tania bertanya.
“Iya sayang.” jawabku geram.
“Yaudah deh, kalian duluan aja aku ada janji.” kata Fera.
“Ketemuan ya?” tanya ku usil.
“Hehe, iya.. udah gih, sana!” Fera memerah.
19.45 .. Lulu, Aku, Yui, dan Gia masih sibuk dengan diri kami sendiri saat Fera dan Tania datang kerumah ku malam itu, kami memang sering belajar bersama di rumah salah satu dari kami. Problem Solving sekalian ngobrol. Maklumlah, kurang dari 10 bulan lagi kami akan menghadapi Ujian Nasional 2012.
      “Hey!” sapa Tania dari ambang pintu kamar.
      Tidak ada sautan
      “Zzzz.. sialan! kacang sekarang 1 kilo berapa ya?” tanya Tania sendiri.
      “Sorry, Tan. Lagi pada private nih!” saut ku cepat-cepat.
Tiga dari kami, yaitu Aku, Tania, dan Yui bersaing untuk dapat mendapatkan SPMB kuliah di Adelaide University ataupun University lain di Aussie melalui jalur beasiswa. Fera, ingin melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada dan menjadi model majalah terkenal di Indonesia. Sedangkan Lulu, akan meneruskan kuliah ke STAN, dan Gia ingin melanjutkan kuliah di Universitas Airlangga Surabaya.
Tania tetap melanjutkan hubungannya dengan Yonas yang 1 tahun lebih tua darinya. Begitu juga dengan Fera, Fera tetap melanjutkan hubungannya dengan Afrie. Fera memang telah sedikit mewujudkan cita-citanya untuk menjadi model terkenal, Fera terpilih menjadi duta wisata Yogyakarta tahun 2011. Kisah cintanya juga mulus, seakan-akan semuanya manis. Semuanya berjalan sangat perfect, sedangkan bagiku kisah cinta hanyalah penggalan cerita pahit yang terukir manis di surga impianku. . Aku dan  Yui berjanji dengan diri kami sendiri tidak akan menjalin hubungan spesial dengan laki-laki manapun sebelum selesai Ujian Nasional 2012.
“Heh.” Yui mengagetkan ku.
“Haa? kenapa, Yu?” tanya ku bingung.
“Mikirin apa?” tanyanya lagi.
“Nggak apa-apa. Meratapi nasib.” kataku sekenanya.
Sayang, Fera tidak begitu menonjol dibidang pelajaran. Padahal ia terlalu berambisi untuk dapat masuk ke UGM, dan masuk melalui jalur beasiswa. Hubungannya dengan Afrie sedikit banyak berpengaruh dengan pendidikannya sekarang. Kadang, aku sering berpikir bahwa Fera terlalu mencintai Afrie dan sedikit mengesampingkan pendidikannya. Padahal, langkah Fera masih terlalu jauh untuk mencapai suatu titik tertinggi hubungannya dengan Afrie.
“Yu, aku khawatir sama Fera.” kataku tiba-tiba saat itu.
“Khawatir? khawatir kenapa?” tanya Yui penasaran.
“Aku takut dia jadi gila.” kataku.
“Gila? Kok bisa, Ndra?”
“Kamu inget kan dia pengen masuk UGM pake jalur beasiswa?”
“Inget, trus kenapa?”
“Kamu tau prestasinya sekarang?”
“Oh, iya.. aku baru inget. Aku juga sering khawatir, apalagi dia terlalu mementingkan hubungannya sama Afrie daripada pendidikannya.”
“Makanya itu, kalau dia nggak dapet gimana? Belum lagi, kalau malah hubungannya sama Afrie bermasalah sebelum Ujian Nasional? Pasti dia down banget.”
            “Iya, aku juga mikir kayak gitu. Ya, semoga aja deh, everything’s gone a be okay J.”
            “Amin deh, hehe..”
Tiba-tiba..
“DRRRTTT”
“Siapa kentut?” celetukku tiba-tiba.
“Andraaaa, odong banget sih kamu. Itu suara HP sayang..” Yui gemes.
“Yee, aku tau, Yu!”
“Yessss!” teriak Fera tiba-tiba.
“Kenapa kamu Fer? Dapet mobil?” Tania bingung kami juga.
“Yee, enggak! Aku lolos seleksi audisi Miss Indonesia Yogyakarta!” Fera semangat.
“Muah,” kami berlima mencium Fera satu per satu.
Sebenarnya Afrie pacarnya tidak menyetujui keputusan Fera untuk mengikuti kegiatan itu. Karena tentu saja kegiatan itu akan banyak berpengaruh terhadap sekolah Fera. Waktu itu, Afrie sempat menceritakan hal itu padaku. Tapi Afrie menyadari posisinya yang hanya sebagai teman laki-laki Fera, lagipula apa yang bisa dibuat? Kedua orang tua Fera tidak keberatan anaknya mengikuti kegiatan itu. Orang tuanya memang mendukung semua kegiatan Fera selama itu positif.
Pukul 21.00. Keadaan kamar ku belum mengalami perubahan yang signifikan. Buku – buku masih tergeletak tak beraturan dimana-mana. Belum lagi, bungkus aneka cemilan yang dibawa Yui, Fera, Tania, Lulu, dan Gia berantakan bukan main. Menjelang sekitar pukul 21.40 mereka berlima pamit untuk pulang dan melanjutkan sisa malam dengan mimpi indah.
“TRINGGGGGGG”
Jam beker kado dari mama membangunkan ku.
“Ughh.” Aku masih dalam geliat.
“Ndraaa, bangun udah pada ditelponin tuh.” Mama sewot dari bawah.
“Iya, Ma. Ini mau mandi dulu, suruh mereka duluan aja deh kalo mereka nggak keburu.”
            “Ya makanya kamu cepetan mandinya.” Suruh Mama.
            Kurang dari 30 menit aku sudah siap dengan tas merah maroon, sepatu hitam dan kaos kaki putih khas anak SMA.
            “Fera mana?” Tanya ku.
            “Huu, telat banget ya? Fera kan hari ini ada karantina di hotel Saphir.” Jelas Gia.
            “Oh, iya.. hahahaha.” 
            2 bulan berlalu, jalan Fera mulus dan dapat mengantarkannya sampai ke grand final Miss Indonesia 2011. Kami berlima memutuskan untuk terbang ke Jakarta melihat performance Fera di Final Miss Indonesia. Kami memang masih setia dengan Fera, meskipun satu-dua bulan ini kami jarang bertemu dengan Fera karena dia terlalu sibuk dengan berbagai pemotretan majalah, belum lagi ditambah karantiannya 15hari di Jakarta. Selama itu, kami tetap memfotocopykannya catatan-catatan pelajaran yang belum dia punya.
            “Sekarang saatnya kita sebutkan siapa-siapa saja yang masuk 5 besar grand finalis Miss Indonesia.”
            “Kira-kira siapa ya?” kata salah satu pembawa acara menambahkan.
            “Miss.. Jakarta I. Miss Sumatera Selatan, disusul oleh Miss.. Yogyakarta.”
            “Yeee.” kami berlima serempak berteriak, meskipun masih ada raut kebingungan di wajah kami.
            “Miss.. Jawa Barat, dan ruang terakhir adalah …. Miss Jambi..” kata salah seorang pembawa acara.
            Keberuntungan Fera semakin berlanjut. Hal ini terbukti dengan Fera terpilih sebagai Miss Indonesia 2011 dan menjadi wakil Indonesia di ajang Internasional. Tapi semua ini berdampak kurang baik terhadap hubungannya dengan Afrie, akhirnya hubungannya dengan Afrie harus berakhir ditengah jalan karena Afrie tidak terlalu suka ditinggal dalam waktu yang lama.
            Kamis, 12 April 2012 kami mulai belajar rutin bersama dengan 5 anggota dari kami, Ujian Nasional akan diadakan kurang dari 1 minggu lagi. Rutinitas kami pun mulai berubah seiring dengan keadaan yang ada.
            “Sepi ya.” Tania kelihatan murung.
            “Emang kenapa, Tan? Perasaan dari kemaren kayak gini.” Gia menyahut.
            “Aku kangen banget sama Fera.” Suara Tania murung, tulus sekali.
            “Aku juga.” Kami berempat serempak.
            “Kapan ya ketemu Fera lagi?” Tanya Tania penuh harap. Matanya mulai berkaca-kaca. Sebentar lagi hujan pasti turun dari mata Tania.
            Tidak lama setelah itu, kami berlima dalam isak. 5 bulan terakhir, Fera semakin sibuk dengan persiapan kepergiannya ke China. Sayang, kami berlima tidak bisa ikut menyuportnya ke negeri Panda.
            April, 15th 2011. Hari ini Fera dijadwalkan untuk terbang ke China, ajang Miss Universe digelar di negeri Panda itu. Fera meninggalkan Indonesia sekitar pukul 06.00 pagi. Sebelum dia berangkat, kami berlima memutuskan untuk menelponnya melalui telepon rumah Gia.
            “Hallo, Fera?” telepon telah tersambung dengan Fera.
            “Iya, kenapa Gi?” Tanya Fera lembut.
            “Ini, anak-anak mau ngomong sama kamu katanya.” Gia menjelaskan.
            “Feraa, aku kangen banget sama kamu banget banget.” Tania memulai.
            “Aku juga kangen banget sama kalian, sama kamu, Tan.” Nada suara Fera berubah lebih cepat dari yang ku duga.
            “Besok, kalo udah selesai langsung pulang ya? Langsung ke Jogja ya?” Yui menambahkan.
            “InsyaAllah ya Yu. Aku 3 bulan disana.” Fera menjawab.
            “Feraa, good luck ya sayang. Semangka ya? Kita-kita, Leo, dan semua yang sayang sama kamu dukung kamu disini. Maaf kita nggak bisa kesana, jauh. Nggak boleh sama mama papa. Nggak punya uang juga, heheheh.” Aku panjang lebar.
            “Iya, Andraaaa. Nggak papa lagi, doain aja ya. Oh, iya sukses buat ujian kalian ya.” Suara Fera berubah lagi, ditambah isak kini.
            “Hat-hati ya, Fer. Kalo nanti ada mas-mas ganteng kenalin ke aku ya.” Lulu iseng.
            “Dasar kamu ini. Iya makasih ya.” Fera menjawab.
            “Udah dulu ya, Fer. Udah siang nih, hati-hati ya.” Gia menutup telepon 
            “TUUUUUUUUTTTT.”
            Kami berlima kemudian terisak untuk beberapa saat, kemudian ruangan 6m x 5m itu sunyi kembali.
            “Berangkat yuk.” aku mengawali.
            “Yuk.”
            Kemudian kami meninggalkan rumah Gia. Senin, 15 April 2011. Ujian Bahasa Indonesia serentak dilaksanakan untuk semua pelajar SMA dan sederajat di Indonesia.
            “Hallo, Andraa.” Suara mama ditelepon seberang.
            “Iya, kenapa ma?” Tanyaku.
            “Kalo udah selesai, buruan pulang cepet ya. Temen-temen suruh kerumah sebentar.” Suara mama makin membuat ku penasaran.
            “Iya ma.” Jawabku.
            Sampai dirumahku..
            “Kenapa, Ma?” Tanya ku tanpa basa-basi.
            “Tadi, mamanya Fera nelpon.”
            “Terus?”
            “Katanya, pesawatnya Fera kecelakaan.”
            Seketika wajah kami berubah menjadi keruh, tidak ada yang mampu berkata-kata. Sampai akhirnya tangis kami pecah. Antara percaya dan tidak percaya, hari itu juga Tante Ara pulang dari Jakarta, dan jenazah Fera rencana akan dikuburkan di Jogja.
            “Kenapa harus Fera sih?” tanya ku dalam hati.
            “Ah, sudahlah. Mungkin memang sudah jalanmu kawan. Tapi kenapa secepat ini?” tanya ku lagi.
            Akhirnya setelah kami mulai tenang, kami memberanikan diri untuk pergi kerumah Fera. Kamar Fera, aku masih hafal bau parfumnya. Dia tidak pernah suka parfum wangi bunga, dia paling suka parfum wangi buah. Cat birunya masih terlihat jelas, belum ada yang memudar sedikitpun. Aku masih hafal, letak barang-barang di kamar ini. Belum ada yang berubah, mungkin selamanya tak akan berubah. Hanya saja dengan keadaan yang berbeda, tanpa Fera.
            Jenazah Fera telah dipulangkan kemarin sore. Siang ini, keluarga memutuskan untuk mengebumikannya. Kami berlima, setelah pulang dari Ujian langsung menuju ke kediaman Fera untuk melayat, baju hitam apapun serba hitam, khas suasana duka.
            Sekali lagi, sesampainya kami dipemakaman. Tangis kami pecah, terlintas kembali semua kenangan bersama Fera, tas putih tulang kesukaan Fera, dengan senyuman terindah yang terulas diwajah teduhnya, tas gendong merah tua, sepatu hitam merah andalannya, dan segala bayangan indah Fera bermain-main jelas diingatan kami.
            “Tante, aku mau nyanyiin lagu buat Fera. Sekali aja, boleh Tan?” tanya ku.
            “Boleh, silahkan Ndra.”
            “Fer, ini sedikit dari kita buat kamu.”
            Baru saja berakhir
            Hujan di sore ini
            Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi
Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
kesempatan seperti ini tak akan bisa dibeli
bersamamu ku habiskan waktu
senang bisa mengenal dirimu
rasanya semua begitu sempurna
sayang untuk mengakhirinya
Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
            Takkan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi
bersamamu ku habiskan waktu
senang bisa mengenal dirimu
rasanya semua begitu sempurna
sayang untuk mengakhirinya
janganlah berganti, janganlah berganti, janganlah berganti
tetaplah seperti ini
janganlah berganti, jangan lah berganti
tetaplah seperti ini
Setelah itu, kami mendengar tepuk tangan bersautan satu persatu. Pemakaman Fera berjalan lancar. Walaupun mamanya sampai di rumah masih belum bisa berhenti menangisi anak semata wayangnya itu.
June, 17th 2012. Pengumuman hasil Ujian Nasional berlangsung serentak di seluruh Provinsi di Indonesia. Akhirnya kami berlima bisa mendapatkan cita-cita yang kami inginkan.
Hari ini, Aku, Yui, dan Tania memutuskan untuk berziarah ke makam Fera sebelum akhirnya aku akan terbang ke Negeri Kangguru. Pesawatku take off pukul 13.00.
“Hati-hati disana ya kalian?” Gia dan Lulu mulai berkaca-kaca.
“Iya, kalian juga ya.” Kami bertiga berpelukan satu sama lain.
“Ma, aku pamit dulu ya. Aku sayang mama.” Air mataku turun sedikit demi sedikit.
“Iya sayang, mama juga sayang kamu. Hati-hati disana. Jangan lupa sholat, jangan lupa budaya kita ya. Setiap ada liburan panjang harus sempetin pulang.” Mama sedikit ceramah.
“InsyaAllah, Ma. Asal ada ongkosnya aku pulang kok,hehehe. Assalamu’alaikum.” Kata ku sambil mencium punggung tangan Mama.
“Wa’alaikum salam.” Jawab Mama sambil melambaikan tangannya.
Aku mulai mantap menapakkan kaki ku, memasuki ambang pintu bandara. Ku pandangi lagi sekeliling bandara. Mencoba mengingat semua kenangan manis di kota yang baru 3tahun aku tinggali itu. Mencoba menghapus semua kenangan pahit tentang cinta dan persahabatan, tentang Fera dan tentang Yoga.. Ah, apa kabar dia sekarang? Yoga.. selamat tinggal Yoga, selamat tinggal Jogja. Aku merasakan ada yang mengalir pelan di pipiku. Gagal, Tania dan Yui melihatnya. Air mataku turun, seakan tak mau berkompromi dengan keadaan ku sekarang.
“Sabar, Ndraa..” Yui menenangkan.
“Kamu kenapa? Everything’s will be okay, Ndraa.” Tania menyemangati.
“Aku kangen Yoga. Aku belum sempat ngabarin dia.” Aku menjelaskan.
“Aku kangen Fera, aku pengen meluk Fera.” Tambahku lagi.
“Kalau Yoga memang ditakdirkan buat kamu. Pasti dia datang sekarang. Dan Fera, pasti dia disana nggak mau lihat kamu kayak gini.” Yui mencoba bijaksana.
“Fighting, Ndra aku tahu kamu kuat kok. Ini demi cita-cita kita okay?” Tania menyemangati ku lagi.
Kami bertiga kini makin masuk ke dalam bandara. Tapi aku merasa ada seseorang yang memanggilku dari belakang. Entah hanya bayangkan ku karena aku terlalu berharap Yoga datang disaat seperti ini atau…
“Andraaaa, please berhenti ini aku Yoga. Please aku pengen ngomong please Ndra.”
“Yoga? Itu bener-bener Yoga? Aku nggak ngimpi? Bener kan?” batinku dalam hati saat aku menengok kebelakang.
“Sebentar, Tan, Yu. Aku butuh ketemu Yoga sebentar saja.” Kataku pamit.
“Okay, perjuangin cinta kamu!” Tania sedikit berteriak.
Aku hanya melambaikan tangan tanda setuju. “Aku datang Yog, aku sayang kamu. Aku sayang kamu sejak dulu, Yog. Aku harap kamu juga Yog. Aku pengen kamu ngomong kayak gitu sekarang Yog.” batin ku dalam hati sambil berdoa.
“Haish, kenapa kamu nggak ngabarin aku kalo mau pergi? Kan kalau kemarin ngabarin aku bisa ngajak kamu keliling Jogja dulu. Maen pergi aja. Seneng ya gitu? Ninggalin aku tanpa ada kabar? Terus kalau udah jadi pergi terus gimana? Kan bisa lost contact. Ngerti nggak sih? Untung Lulu sama Gia ngasih tau aku.” Yoga marah-marah.
“Sabar kenapa sih! Bisa nggak, aku mau ngomong nih. Kemarin aku niatnya mau ngabarin kamu, tapi setelah aku pikir buat apa? Bukannya lebih baik kalau kamu nggak tahu? Jadi kan aku bisa gampang nglupain kamu. Kamu tahu nggak sih? Berat jadi aku. Aku selama ini harus ngliat kamu pacaran sama sahabat aku sendiri. Nyadar nggak gimana aku sabarnya sama kamu! Aku minta maaf, aku udah putusin nglanjutin kuliah ke Aussie. Semoga kamu bahagia sama Angel.” Kata ku panjang lebar.
“Kamu juga nggak tahu satu hal, aku udah mutusin Angel buat kamu. Aku sayang sama kamu. Kamu juga nggak nyadar itu kan? Terus kamu pikir keputusan kamu buat nglupain aku itu keputusan yang bener, Ndra? Aku sayang sama kamu. Aku emang baru nyadar setelah kepergian kamu. Aku minta maaf udah bikin kamu sakit.”
“Mungkin bener buat saat itu, tapi mana aku tahu itu bener atau nggak kalau keadaannya kayak gini. Satu hal, kamu bisa ber-LDRan sama aku?”
“Bisa, kamu bisa megang omonganku. Kalau aku udah berkomitmen aku pasti njaga komitmen itu, dan kamu juga harus bisa.” Yoga mengecup keningku tulus.
“Aku bisa, pasti bisa kok. Makasih, Yog. Doa’in aku disana ya. Bye.” Aku melambaikan tangan.
“I love you, Andra.” Suara Yoga masih terdengar jelas dari kejauhan.
“Love you, too Yoga.” jawab ku.
Kemudian bayang-bayang Yoga benar-benar hilang. Akhirnya pesawat kami meninggalkan Yogyakarta, kota yang sarat tradisi dan penuh pesona juga penduduk yang ramah. You’re the Best Jogja.Yogyakarta memang ISTIMEWA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar