Jumat, 24 Januari 2020

A Head Full of Stories #3


Laura
5 tahun kemudian
They say constantly thinking about what ifs kills you. Aku tahu bermain-main dengan kemungkinan tidak merubah apa-apa. Seperti aku tahu mempertanyakan keputusan-keputusan yang telah ku ambil sebelumnya tidak akan mengubah apa-apa. But here I am, this stubborn pathetic bitch and I’m referring to myself, silently sitting on my flat veranda and it’s 5.00 in the morning, feeling this cold morning wind, Bocelli my dear Bocelli serenading me in my ear. Whilst my head is screaming thousands of what ifs and those are all about you.
Bagaimana jika aku tidak pernah bertemu di pesawat denganmu hari itu. Bagaimana jika aku memilih untuk tidak memberikan nomor telponku. Bagaimana jika aku tidak mengiyakan puluhan ajakanmu mencari kopi yang cukup nikmat menurutmu sebagai pecinta zat adiktif itu. We were just two naïve people afterwards. Or I am.
And it’s this what if specifically yang kadang tiba-tiba muncul saat aku duduk sendirian di salah satu kedai kopi kecil di Bintaro, a place where we did our little ritual, what if I said yes when you asked me? Would we still be together or would we break up long ago over those souvenirs or catering or table setting? Would we have kids or would it be just two of us for a long time?
Hi babe, what time is it? Ngapain duduk bengong di situ?” Arya terbangun merasakan aku yang tidak ada di sampingnya.
“5.15,” aku berjalan menghampirinya, mengelus rambutnya pelan, tangannya menangkap tanganku dan mengecupnya sekali,”just go back to sleep, okay? Aku butuh ke kamar mandi sebentar.”
Okay fine.”
Aku sampai di kantor lebih siang daripada biasanya. Teh hangat buatan Mbak Yuni sudah mengepul di kubikelku. Tiara yang biasanya masih belum terlihat, hari ini sudah duduk manis menyesap kopi buatan Mbak Yuni di kubikelnya yang terletak tepat di sebelahku.
                “Good morning, Ra,” sapanya kelewat ceria. Padahal hari ini hari Senin.
                “Morning, Ti. Udah sarapan lo?” tanyaku khawatir melihatnya meminum kopi pagi-pagi.
                “Udah dong. Tadi titip Mbak Yuni buat beliin bubur ayam. Tumben sih lo jam segini baru sampai kantor?”
                Aku hanya mengangkat bahu. “Jangan suka minum kopi kalau belum sarapan, Ti. Kasian lambung lo.”
                “Iya, Laura. Apaan sih bawel, kayak emak-emak,” katanya memprotes. Dia menarik kursinya mendekatiku. “Lo nggak apa-apa?”             
                “Emang kenapa? Ada lipstik di bibir gue ya?” tanyaku berusaha bercanda.
                “Tau deh. Males gue kalo lo sok-sok nggak mau cerita gini.”
                “Ntar deh, Ti. Gue juga males pagi-pagi cerita beginian, ngerusak suasana.”
                “Yaudah, pokoknya gue selalu available kapanpun lo siap cerita, ya,” katanya sambil mnearik kurisnya menjauh.
                “Kerja, Za. Makan gaji buta banget sih, lo.” Tiara sudah merepet sejak tadi melihat Reza yang menggunakan komputernya untuk mencari menu-menu makan siang.
                “Gue kerja kali, Ti. Ini Cuma buat penyemangat aja,” balas Reza.
                “Mau makan apa sih lo? Ribet banget kataknya daritadi,” tanyaku.
                “Bingung nih gue. Besok gue anniversary sama Tina. Mau cari tempat makan yang decent buat dinner.”
                “Bilangnya buat dinner tapi nyarinya menu makan siang,” Tiara masih merepet.
                “Hehehe, biar satu dua pulau terlampaui, Ti. Sekalian”
                “Udah dinner di gultik aja, romantis, ada live music lagi.”
                “Sialan lo, Ra.”
                “Udah ah yuk, keluar cari makan, gue laper, atau kalian mau nitip sama Mbak Yuni aja?”
                “Canteen aja yuk. Lo tadi belum jadi cerita sama gue. Gue tagih ya,” Tiara mengingatkanku.
                “Iya udah, yuk.”
                Sepuluh meniti kemudian kami sudah duduk dan memesan makanan di Canteen Pacific Place.
                “Jadi kenapa lo tadi pagi sampai kantor lebih siang dari gue, Ra?” tanya Tiara di sela-sela  kunyahan fish and chipsnya.
                “Kesiangan gue bangunnya, mana hujan lagi macet dimana-mana,” jawabku seadanya.
                “Tapi lo nggak pernah kesiangan, Ra.”
                “Kesel gue kalau lo kenal gue banget gini.”
                See, you better start telling me the truth.”
                Aku menghela nafas. Terlalu lelah untuk menjelaskan semuanya pada Tiara, tapi Tiara dan Reza adalah saksi hubunganku dulu dengan Adji. Mereka juga saksi hubungan yang sedang ku jalani sekarang dengan Arya.
                “Lo punya obsesi sama orang-orang yang punya awalan A ya, Ra?” tanya Reza saat pertama kali tahu aku menjalin hubungan dengan Arya. Teman sekantor kami yang hanya beda lantai.
                “Enggak lah, aneh-aneh aja, lo,” jawabku saat itu. Aku sadar dan tahu betul alasanku dulu mau menjalin hubungan lebih jauh dengan Arya. Selain bulu matanya yang begitu lentik, yaitu karena Arya sangat mirip dengan Adji. Tapi itu dulu, sebelum aku mengenal Arya seperti sekarang. Di tahun kedua aku menjalin hubungan dengan Arya, aku sadar Arya adalah seluruh kontradiksi yang dimiliki Adji.
                Adji adalah tipe laki-laki yang membuatmu mempertanyakan semua keputusan yang pernah kamu ambil. Adji membuatmu merasa tertantang, membuatmu ingin menjalani hidup sepenuhnya. Sedangkan, Arya adalah tipe laki-laki yang membuatmu merasa aman, meyakinkanmu bahwa semuanya akan baik-baik saja dan bahwa semua berjalan tepat pada waktunya. Arya seperti minggu pagi.
                “Terus kenapa lo mau sama Arya?” tanya Tiara waktu itu.
                “Karena Arya itu kayak minggu pagi buat gue.”
                “Hah? Maksudnya?”
                “Iya. Gue butuh Arya seperti gue butuh minggu pagi. Setelah gue capek kerja dari Senin sampai Jumat. Setelah semua rutinitas yang mengurasi emosi juga fisik. Gue butuh waktu buat wind down. Sesuatu yang bikin gue merasa damai, nggak perlu mengejar sesuatu. Nggak perlu harus cepat-cepat ke kantor, nggak perlu bangun pagi. He makes me feel at ease and I  know that I need someone like him in my life,” aku menatap quinoa bowl di depanku.
                Mereka berdua menatapku seperti kehilangan kata-kata. “Whoa, girl. You’re whipped,” kata Reza setelah menemukan suaranya kembali.
                Aku hanya tersenyum. Sama seperti aku saat ini. Aku tersenyum lalu menatap mereka bergantian yang sudah menungguku bercerita.
                “Kemarin gue dapat kiriman undangan pernikahan Adji sama Wina,” jelasku akhirnya.
                Reza yang baru mengunyah grilled chicken parmesan tersedak dan mengambil es teh manis di depannya.
                “Serius lo, Ra? Dia masih berani kirim undangan?” tanya Reza setelah batuknya mereda.
                “Lo mau datang?” tanya Tiara hati-hati.
                “Gue nggak tahu, Ti.”
                “Arya bilang apa?”
                Aku terdiam.
                “Lo belum cerita sama Arya?” tanyanya lagi.
                Aku hanya menggeleng. “Gue nggak tahu harus bilang gimana. Tadi pagi gue kebangun gara-gara mimpi Adji. Gue bilang ke Arya buat balik tidur lagi, tapi gue nggak bisa balik tidur.”
                “Terus lo kesiangan karena apa?”
                “Gue nyetir muter-muter. Gue butuh menghilangkan Adji.”
                “Ra, gue boleh ngomong nggak?” kata Reza ikut angkat bicara.
                Aku hanya mengangguk.
                What you had with Adji was epic. I know that. Tapi apakah itu semua bisa mengalahkan apa yang sudah lo miliki dengan Arya? Gue tahu Adji membuat lho lebih hidup karena gue juga bisa melihat itu. Gue juga bisa bahwa lo sangat bahagia dengan Arya, mungkin lo nggak bisa lihat tapi lo glowing with happiness. You’re finally happy, Ra, for the past two years, and you deserve that. Apa lo siap membuang itu semua demi Adji yang udah mau married sama orang lain?”
                Aku tertawa lemah. “Gue nggak bodoh kok, Za. Gue tahu perasaan gue nggak karuan gini bukan karena gue masih berharap sama Adji, tapi karena…” aku terdiam sebentar, “karena apa gue nggak tahu pasti. Tapi lo tahu kan, orang nggak mungkin sepenuhnya bisa lupa, apalagi sama orang yang udah pernah bikin lo bahagia sebahagianya dan sedih sesedihnya. Tapi bukan berarti gue mau untuk mengulangi dan kembali ke masa-masa itu.”
                Good. Because you look happy, Ra. We don’t want you to lose that, okay?” katanya lagi.
                “But you have to tell Arya, okay? Gue yakin dia bisa menghilangkan kekhawatiran dan keraguan lo yang nggak berdasar ini,” kata Tiara.
                “Iya, bawel. Udah ah yuk balik.”
                “Laura dipeluk-peluk sama dielus-elus dikit juga pasti langsung nempel sama Arya lagi.”
                “Sialan ya.”
                Saat kami kembali dari Canteen, Arya sudah duduk di mejaku. Ketorpak di depannya dibiarkan begitu saja. Dia melepaskan pandangan dari Iphone-nya ketika mendengar langkah kaki kami mendekat.
                “Hai, Za, Ti. Udah selesai makan siangnya?” tanyanya.
                “Udah. Kemana aja, bro? Tumben nggak ikutan,” Reza duduk kembali ke kubikelnya yang terletak tepat di belakangku.
                “Ada deadline gue tadi.”              
                “Dimakan dulu dong, Ya, ketopraknya. Keburu lembek nanti,” kataku sambil menarik kursi kosong di dekat pantry.
                “Sengaja nungguin kamu balik. Temenin aku makan ya?” katanya manja.             
                Aku duduk di sampingnya. Arya selalu makan seperti anak kecil yang baru pertama kali mencoba makanan, full of wonders dan selalu terlihat excited.
                “Kamu mau?” tanyanya melihatku mengamatinya.
                Aku menggeleng, “Enggak, udah kenyang.”
                “Langit dan bumi banget ya. Kamu makan di Canteen, aku makan ketoprak lima belas ribuan,” katanya sambil tertawa.
                “Iyadeh, iya. Bilang aja aku boros,” kataku bercanda.
                Arya tertawa dan sedikit tersedak, “Ra, tolong ambilin air dong.”
                “Helpless banget ya kamu kalau aku nggak ada,” kataku sambil berdiri.
                “Iya, Ra. Makanya nikah sama aku yuk?” katanya sudah berdiri di belakangku.
                Aku berbalik, mencari kesungguhan di mata Arya, “Ini beneran?” dia mengangguk. “Disini banget?” tanyaku lagi masih tidak tahu harus menjawab apa.
                Tiara, Reza dan teman-temanku satu lantai sudah berdiri heboh meneriakkan, “Yes!”
                “Sebenarnya udah disiapin daritadi, Ra. Tapi kamunya udah keburu pergi, terus aku laper banget jadi yaudah makan dulu. Hehe,” katanya salah tingkah, membuatku ingin menciumnya, “So?” Arya mengeluarkan kotak kecil Pandora, “Will you give me the honor to marry you?”
                Yes, of course, yes,” kataku akhirnya, menghapuskan seluruh keraguan yang baru saja ku miliki.
Adji
                Pernikahan gue dan Wina bisa dibilang cukup cepat. Gue kenal Wina separuh hidup gue. Wina adalah salah satu teman masa kecil gue yang tidak hilang ditelan waktu dan kesibukan. Dia adalah teman gue semasa SMP di Jogja. Tidak sengaja bertemu lagi ketika gue sedang melakukan pemotretan salah satu artis yang menggunakan jasa manajemennya. Walaupun jarang bertemu, Wina adalah sahabat yang selalu ada buat gue, tempat gue menceritakan kebusukan dan kebodohan gue, dia juga saksi pertengkaran gue dengan bokap hingga akhirnya gue pergi dari rumah dan saksi betapa hancurnya gue ketika gue putus dengan Laura. Gue tidak pernah menyangka akhirnya gue luluh dengan kenyamanan yang selama ini diberikan Wina.
                Enam bulan yang lalu, gue dan Wina memutuskan untuk membawa hubungan kita ke arah yang lebih serius. Tiga bulan kemudian, gue melamarnya. Hanya disaksikan oleh teman-teman gue yang saat itu ikut melakukan photo session dengan model dari manajemen Wina. Dua minggu sebelumnya, gue terbang ke Jogja tanpa sepengetahuan Wina untuk meminta izin kepada ayahnya.
                Saat akhirnya gue memutuskan melamarnya, gue tahu bahwa apapun yang terjadi Wina akan selalu memahami gue. In the ways, that even Laura can’t. Mungkin karena seperti pekerja kantor pada umumnya, Laura cenderung bekerja dengan jam yang tetap dan jadwal libur yang pasti. Sementara gue, sebagai freelancer tidak pernah dikekang waktu, dan Wina memahami itu. Hal-hal yang dulu pernah gue ributkan dengan Laura, yang akhirnya membawa akhir ke hubungan kami, tidak pernah pernah menjadi masalah bagi gue dan Wina.
                Laura bagi gue adalah sosok yang membutuhkan gue, membuat gue merasa perlu melindunginya. Bukan karena Laura terlalu rapuh tapi Laura membuat gue merasa harus selalu memperjuangkannya. Gue tidak pernah yakin bisa benar-benar memenangkannya. Berhubungan dengan Laura seperti kecanduan. The high is very high and the low is too low. Sementara Wina membuat gue nyaman dengan diri gue sendiri. Gue tidak perlu terus-terusan membuktikan diri bahwa gue layak untuknya. Wina membuat gue merasa cukup. Berhubungan dengan Wina terasa stabil.
                Gue tidak pernah tahu apa alasan pasti gue berhenti berhubungan dengan Laura. Setelah pertengkaran 2 tahun yang lalu, yang gue tahu gue telah menyakitinya dengan kebodohan gue sendiri. We’re just kind a drifted apart after that, somehow. Kita terlalu egois dan keras kepala untuk saling memperjuangkan satu sama lain. Hingga pada suatu saat kita berhenti berbicara dan tidak pernah lagi mencoba. Namun, menuliskan namanya di daftar tamu undangan kami terasa begitu surreal.
                Dalam tiga tahun hubungan gue dan Laura, pernah dalam suatu titik gue merasa she’s the one. Gue pernah membayangkan namanya bersanding dengan nama gue, dan nama orang tuanya bersanding dengan orang tua gue. Gue pernah membayangkan menuliskan daftar nama tamu undangan kami, teman-teman kantornya dan teman-teman gue. Gue nggak pernah membayangkan nama orang lain yang akhirnya bersanding dengan nama gue di undangan itu.
                Setelah satu setengah tahun gue berusaha memberikan jarak dan waktu untuk Laura, tangan gue kembali mengetik pesan untuknya.
                Adji: Ra, for all the pain I’ve caused you, I’m sorry.
                Sent.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar