Laura
5 tahun kemudian
They say constantly thinking about what ifs
kills you. Aku tahu bermain-main dengan kemungkinan tidak merubah apa-apa.
Seperti aku tahu mempertanyakan keputusan-keputusan yang telah ku ambil
sebelumnya tidak akan mengubah apa-apa. But
here I am, this stubborn pathetic bitch and I’m referring to myself, silently
sitting on my flat veranda and it’s 5.00 in the morning, feeling this cold
morning wind, Bocelli my dear Bocelli serenading me in my ear. Whilst my head
is screaming thousands of what ifs and those are all about you.
Bagaimana jika
aku tidak pernah bertemu di pesawat denganmu hari itu. Bagaimana jika aku
memilih untuk tidak memberikan nomor telponku. Bagaimana jika aku tidak
mengiyakan puluhan ajakanmu mencari kopi yang cukup nikmat menurutmu sebagai
pecinta zat adiktif itu. We were just two
naïve people afterwards. Or I am.
And it’s this what if specifically yang
kadang tiba-tiba muncul saat aku duduk sendirian di salah satu kedai kopi kecil
di Bintaro, a place where we did our
little ritual, what if I said yes
when you asked me? Would we still be together or would we break up long ago
over those souvenirs or catering or table setting? Would we have kids or would
it be just two of us for a long time?
“Hi babe, what time is it? Ngapain duduk
bengong di situ?” Arya terbangun merasakan aku yang tidak ada di sampingnya.
“5.15,” aku
berjalan menghampirinya, mengelus rambutnya pelan, tangannya menangkap tanganku
dan mengecupnya sekali,”just go back to
sleep, okay? Aku butuh ke kamar mandi sebentar.”
“Okay fine.”
Aku sampai di
kantor lebih siang daripada biasanya. Teh hangat buatan Mbak Yuni sudah
mengepul di kubikelku. Tiara yang biasanya masih belum terlihat, hari ini sudah
duduk manis menyesap kopi buatan Mbak Yuni di kubikelnya yang terletak tepat di
sebelahku.
“Good
morning, Ra,” sapanya kelewat ceria. Padahal hari ini hari Senin.
“Morning,
Ti. Udah sarapan lo?” tanyaku khawatir melihatnya meminum kopi pagi-pagi.
“Udah
dong. Tadi titip Mbak Yuni buat beliin bubur ayam. Tumben sih lo jam segini
baru sampai kantor?”
Aku
hanya mengangkat bahu. “Jangan suka minum kopi kalau belum sarapan, Ti. Kasian
lambung lo.”
“Iya,
Laura. Apaan sih bawel, kayak emak-emak,” katanya memprotes. Dia menarik
kursinya mendekatiku. “Lo nggak apa-apa?”
“Emang kenapa? Ada lipstik di bibir gue ya?” tanyaku berusaha bercanda.
“Emang kenapa? Ada lipstik di bibir gue ya?” tanyaku berusaha bercanda.
“Tau
deh. Males gue kalo lo sok-sok nggak mau cerita gini.”
“Ntar
deh, Ti. Gue juga males pagi-pagi cerita beginian, ngerusak suasana.”
“Yaudah, pokoknya gue selalu
available kapanpun lo siap cerita, ya,” katanya sambil mnearik kurisnya
menjauh.
“Kerja,
Za. Makan gaji buta banget sih, lo.” Tiara sudah merepet sejak tadi melihat
Reza yang menggunakan komputernya untuk mencari menu-menu makan siang.
“Gue
kerja kali, Ti. Ini Cuma buat penyemangat aja,” balas Reza.
“Mau
makan apa sih lo? Ribet banget kataknya daritadi,” tanyaku.
“Bingung
nih gue. Besok gue anniversary sama Tina. Mau cari tempat makan yang decent
buat dinner.”
“Bilangnya
buat dinner tapi nyarinya menu makan siang,” Tiara masih merepet.
“Hehehe,
biar satu dua pulau terlampaui, Ti. Sekalian”
“Udah
dinner di gultik aja, romantis, ada live music lagi.”
“Sialan
lo, Ra.”
“Udah
ah yuk, keluar cari makan, gue laper, atau kalian mau nitip sama Mbak Yuni
aja?”
“Canteen
aja yuk. Lo tadi belum jadi cerita sama gue. Gue tagih ya,” Tiara
mengingatkanku.
“Iya
udah, yuk.”
Sepuluh
meniti kemudian kami sudah duduk dan memesan makanan di Canteen Pacific Place.
“Jadi
kenapa lo tadi pagi sampai kantor lebih siang dari gue, Ra?” tanya Tiara di
sela-sela kunyahan fish and chipsnya.
“Kesiangan
gue bangunnya, mana hujan lagi macet dimana-mana,” jawabku seadanya.
“Tapi
lo nggak pernah kesiangan, Ra.”
“Kesel
gue kalau lo kenal gue banget gini.”
“See, you better start telling me the truth.”
Aku
menghela nafas. Terlalu lelah untuk menjelaskan semuanya pada Tiara, tapi Tiara
dan Reza adalah saksi hubunganku dulu dengan Adji. Mereka juga saksi hubungan
yang sedang ku jalani sekarang dengan Arya.
“Lo
punya obsesi sama orang-orang yang punya awalan A ya, Ra?” tanya Reza saat
pertama kali tahu aku menjalin hubungan dengan Arya. Teman sekantor kami yang
hanya beda lantai.
“Enggak
lah, aneh-aneh aja, lo,” jawabku saat itu. Aku sadar dan tahu betul alasanku
dulu mau menjalin hubungan lebih jauh dengan Arya. Selain bulu matanya yang
begitu lentik, yaitu karena Arya sangat mirip dengan Adji. Tapi itu dulu,
sebelum aku mengenal Arya seperti sekarang. Di tahun kedua aku menjalin
hubungan dengan Arya, aku sadar Arya adalah seluruh kontradiksi yang dimiliki
Adji.
Adji
adalah tipe laki-laki yang membuatmu mempertanyakan semua keputusan yang pernah
kamu ambil. Adji membuatmu merasa tertantang, membuatmu ingin menjalani hidup
sepenuhnya. Sedangkan, Arya adalah tipe laki-laki yang membuatmu merasa aman,
meyakinkanmu bahwa semuanya akan baik-baik saja dan bahwa semua berjalan tepat
pada waktunya. Arya seperti minggu pagi.
“Terus
kenapa lo mau sama Arya?” tanya Tiara waktu itu.
“Karena
Arya itu kayak minggu pagi buat gue.”
“Hah?
Maksudnya?”
“Iya.
Gue butuh Arya seperti gue butuh minggu pagi. Setelah gue capek kerja dari
Senin sampai Jumat. Setelah semua rutinitas yang mengurasi emosi juga fisik.
Gue butuh waktu buat wind down.
Sesuatu yang bikin gue merasa damai, nggak perlu mengejar sesuatu. Nggak perlu
harus cepat-cepat ke kantor, nggak perlu bangun pagi. He makes me feel at ease and
I know that I need someone like him in
my life,” aku menatap quinoa bowl di depanku.
Mereka
berdua menatapku seperti kehilangan kata-kata. “Whoa, girl. You’re whipped,” kata Reza setelah menemukan suaranya
kembali.
Aku
hanya tersenyum. Sama seperti aku saat ini. Aku tersenyum lalu menatap mereka
bergantian yang sudah menungguku bercerita.
“Kemarin
gue dapat kiriman undangan pernikahan Adji sama Wina,” jelasku akhirnya.
Reza
yang baru mengunyah grilled chicken parmesan tersedak dan mengambil es teh
manis di depannya.
“Serius
lo, Ra? Dia masih berani kirim undangan?” tanya Reza setelah batuknya mereda.
“Lo
mau datang?” tanya Tiara hati-hati.
“Gue
nggak tahu, Ti.”
“Arya
bilang apa?”
Aku
terdiam.
“Lo
belum cerita sama Arya?” tanyanya lagi.
Aku
hanya menggeleng. “Gue nggak tahu harus bilang gimana. Tadi pagi gue kebangun
gara-gara mimpi Adji. Gue bilang ke Arya buat balik tidur lagi, tapi gue nggak
bisa balik tidur.”
“Terus
lo kesiangan karena apa?”
“Gue
nyetir muter-muter. Gue butuh menghilangkan Adji.”
“Ra,
gue boleh ngomong nggak?” kata Reza ikut angkat bicara.
Aku
hanya mengangguk.
“What you had with Adji was epic. I know that.
Tapi apakah itu semua bisa mengalahkan apa yang sudah lo miliki dengan Arya?
Gue tahu Adji membuat lho lebih hidup karena gue juga bisa melihat itu. Gue
juga bisa bahwa lo sangat bahagia dengan Arya, mungkin lo nggak bisa lihat tapi
lo glowing with happiness. You’re finally
happy, Ra, for the past two years, and you deserve that. Apa lo siap
membuang itu semua demi Adji yang udah mau married sama orang lain?”
Aku
tertawa lemah. “Gue nggak bodoh kok, Za. Gue tahu perasaan gue nggak karuan
gini bukan karena gue masih berharap sama Adji, tapi karena…” aku terdiam
sebentar, “karena apa gue nggak tahu pasti. Tapi lo tahu kan, orang nggak
mungkin sepenuhnya bisa lupa, apalagi sama orang yang udah pernah bikin lo
bahagia sebahagianya dan sedih sesedihnya. Tapi bukan berarti gue mau untuk
mengulangi dan kembali ke masa-masa itu.”
“Good. Because you look happy, Ra. We don’t
want you to lose that, okay?” katanya lagi.
“But
you have to tell Arya, okay? Gue yakin dia bisa menghilangkan kekhawatiran dan
keraguan lo yang nggak berdasar ini,” kata Tiara.
“Iya,
bawel. Udah ah yuk balik.”
“Laura
dipeluk-peluk sama dielus-elus dikit juga pasti langsung nempel sama Arya
lagi.”
“Sialan ya.”
Saat
kami kembali dari Canteen, Arya sudah duduk di mejaku. Ketorpak di depannya
dibiarkan begitu saja. Dia melepaskan pandangan dari Iphone-nya ketika
mendengar langkah kaki kami mendekat.
“Hai,
Za, Ti. Udah selesai makan siangnya?” tanyanya.
“Udah.
Kemana aja, bro? Tumben nggak ikutan,” Reza duduk kembali ke kubikelnya yang
terletak tepat di belakangku.
“Ada
deadline gue tadi.”
“Dimakan dulu dong, Ya, ketopraknya. Keburu lembek nanti,” kataku sambil menarik kursi kosong di dekat pantry.
“Dimakan dulu dong, Ya, ketopraknya. Keburu lembek nanti,” kataku sambil menarik kursi kosong di dekat pantry.
“Sengaja
nungguin kamu balik. Temenin aku makan ya?” katanya manja.
Aku
duduk di sampingnya. Arya selalu makan seperti anak kecil yang baru pertama
kali mencoba makanan, full of wonders
dan selalu terlihat excited.
“Kamu
mau?” tanyanya melihatku mengamatinya.
Aku
menggeleng, “Enggak, udah kenyang.”
“Langit
dan bumi banget ya. Kamu makan di Canteen, aku makan ketoprak lima belas
ribuan,” katanya sambil tertawa.
“Iyadeh,
iya. Bilang aja aku boros,” kataku bercanda.
Arya
tertawa dan sedikit tersedak, “Ra, tolong ambilin air dong.”
“Helpless
banget ya kamu kalau aku nggak ada,” kataku sambil berdiri.
“Iya,
Ra. Makanya nikah sama aku yuk?” katanya sudah berdiri di belakangku.
Aku
berbalik, mencari kesungguhan di mata Arya, “Ini beneran?” dia mengangguk.
“Disini banget?” tanyaku lagi masih tidak tahu harus menjawab apa.
Tiara,
Reza dan teman-temanku satu lantai sudah berdiri heboh meneriakkan, “Yes!”
“Sebenarnya
udah disiapin daritadi, Ra. Tapi kamunya udah keburu pergi, terus aku laper
banget jadi yaudah makan dulu. Hehe,” katanya salah tingkah, membuatku ingin
menciumnya, “So?” Arya mengeluarkan
kotak kecil Pandora, “Will you give me
the honor to marry you?”
“Yes, of course, yes,” kataku akhirnya, menghapuskan seluruh
keraguan yang baru saja ku miliki.
Adji
Pernikahan
gue dan Wina bisa dibilang cukup cepat. Gue kenal Wina separuh hidup gue. Wina
adalah salah satu teman masa kecil gue yang tidak hilang ditelan waktu dan
kesibukan. Dia adalah teman gue semasa SMP di Jogja. Tidak sengaja bertemu lagi
ketika gue sedang melakukan pemotretan salah satu artis yang menggunakan jasa
manajemennya. Walaupun jarang bertemu, Wina adalah sahabat yang selalu ada buat
gue, tempat gue menceritakan kebusukan dan kebodohan gue, dia juga saksi
pertengkaran gue dengan bokap hingga akhirnya gue pergi dari rumah dan saksi
betapa hancurnya gue ketika gue putus dengan Laura. Gue tidak pernah menyangka
akhirnya gue luluh dengan kenyamanan yang selama ini diberikan Wina.
Enam
bulan yang lalu, gue dan Wina memutuskan untuk membawa hubungan kita ke arah
yang lebih serius. Tiga bulan kemudian, gue melamarnya. Hanya disaksikan oleh
teman-teman gue yang saat itu ikut melakukan photo session dengan model dari manajemen Wina. Dua minggu
sebelumnya, gue terbang ke Jogja tanpa sepengetahuan Wina untuk meminta izin
kepada ayahnya.
Saat
akhirnya gue memutuskan melamarnya, gue tahu bahwa apapun yang terjadi Wina
akan selalu memahami gue. In the ways,
that even Laura can’t. Mungkin karena seperti pekerja kantor pada umumnya,
Laura cenderung bekerja dengan jam yang tetap dan jadwal libur yang pasti.
Sementara gue, sebagai freelancer tidak pernah dikekang waktu, dan Wina
memahami itu. Hal-hal yang dulu pernah gue ributkan dengan Laura, yang akhirnya
membawa akhir ke hubungan kami, tidak pernah pernah menjadi masalah bagi gue
dan Wina.
Laura
bagi gue adalah sosok yang membutuhkan gue, membuat gue merasa perlu
melindunginya. Bukan karena Laura terlalu rapuh tapi Laura membuat gue merasa
harus selalu memperjuangkannya. Gue tidak pernah yakin bisa benar-benar
memenangkannya. Berhubungan dengan Laura seperti kecanduan. The high is very high and the low is too low.
Sementara Wina membuat gue nyaman dengan diri gue sendiri. Gue tidak perlu
terus-terusan membuktikan diri bahwa gue layak untuknya. Wina membuat gue
merasa cukup. Berhubungan dengan Wina terasa stabil.
Gue
tidak pernah tahu apa alasan pasti gue berhenti berhubungan dengan Laura.
Setelah pertengkaran 2 tahun yang lalu, yang gue tahu gue telah menyakitinya
dengan kebodohan gue sendiri. We’re just
kind a drifted apart after that, somehow.
Kita terlalu egois dan keras kepala untuk saling memperjuangkan satu sama lain.
Hingga pada suatu saat kita berhenti berbicara dan tidak pernah lagi mencoba.
Namun, menuliskan namanya di daftar tamu undangan kami terasa begitu surreal.
Dalam
tiga tahun hubungan gue dan Laura, pernah dalam suatu titik gue merasa she’s the one. Gue pernah membayangkan
namanya bersanding dengan nama gue, dan nama orang tuanya bersanding dengan
orang tua gue. Gue pernah membayangkan menuliskan daftar nama tamu undangan
kami, teman-teman kantornya dan teman-teman gue. Gue nggak pernah membayangkan
nama orang lain yang akhirnya bersanding dengan nama gue di undangan itu.
Setelah
satu setengah tahun gue berusaha memberikan jarak dan waktu untuk Laura, tangan
gue kembali mengetik pesan untuknya.
Adji:
Ra, for all the pain I’ve caused you, I’m
sorry.
Sent.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar