Tidak ada cinta dan persahabatan yang hadir di garis
hidup kita tanpa meninggalkan bekas di sana. - Francois Mauriac
Suara adzan maghrib bergema mengisi seantero sekolah,
angin semilir menyapa lembut wajah setiap murid yang masih ada di sekolah.
Senja menyapa dengan setiap keelokan yang ditorehnya. Semburat ungu, jingga,
merah, dan biru. KeGeatan belajar mengajar sudah usai sejak empat jam yang
lalu, tapi anak-anak masih betah berlama-lama
di sekolah untuk sekadar ber-wifi-an
atau mungkin berorganisasi.
Anne sedang berjalan menuju parkiran sekolah ketika
sebuah suara memanggilnya riang. Gea berdiri lima meter di depannya,
melambaikan tangan seraya tersenyum. Anne hanya tersenyum sekilas lalu berjalan
melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Gea menghentikannya lalu
menelusuri setiap detail wajah Anne. Tangannya meraih tangan Anne lalu
mengajaknya duduk, menikmati setiap keelokan senja.
“Apa, sih?” tanya Anne risih.
“Kenapa nggak semangat gitu, sih?” tanya Gea, matanya
masih menelusuri setiap ekspresi yang Anne buat.
“Cuma kecapaian.”
“Zzzzz, gara-gara mikirin sahabatmu lagi ya? Sudahlah,
masalahmu sudah banyak. Nggak usah mikirin hal-hal yang bikin tambah berat.
Kalau memang ingin cepat selesai ya diselesaikan, to caranya?”
“Enggak harus sekarang, dinikmati aja dulu. Lagipula
siapa tahu dia lama-lama sadar?” Anne berdalih padahal dalam hati dia yakin
bahwa orang yang keras kepala seperti Dias tidak akan pernah sadar.
“Aku kan hanya memberi solusi,” gerutu Gea sebal.
“Aku cuma nggak ingin nambah masalahnya, Ge. Nggak ingin
dia nggak fokus,” kata Anne matanya menerawang jauh menatap tempat bekas sang
surya turun keperaduaanya.
“Siapa yang tahu masalahnya, Ne? Kamu aja nggak tahu, to? Kalian itu sahabat, sejak tiga tahun
yang lalu. Tapi bahkan sampai sekarang kamu nggak pernah kan benar-benar tahu
siapa dia? Aku aja yang baru kenal kamu dua bulan udah bisa tahu kok. Kalian
itu kurang komunikasi.”
Komunikasi,
kapan terakhir kita bertemu, Di? Kapan terakhir kita saling menanyakan kabar?
Kapan terakhir kita berkirim pesan? batin Anne dalam hati. Kata-kata Gea
semakin membuatnya gundah.
“Aku tahu, dan sekarang aku ingin
pulang,” Anne menghembuskan nafas berat, “yuk!”
Gea hanya mengalah, lalu ikut
mengekor di belakang Anne. Tiga bulan, bukankah itu waktu yang cukup lama? Tapi
kenapa semunya terasa berat? Kenapa Anne belum terbiasa? Kenapa jam terasa tiap
detaknya lebih lama?
***
“Jadi logaritma itu dinotasikan
dengan log,” Pak Endro mengusap keringat,”alog b dibaca logaritma b
dengan bilangan pokok a.”
Dua kali empat puluh lima menit
berlalu dengan setiap butir keringat yang mengucur dari setiap muka siswa.
Yogyakarta semakin panas, panas tak selalu berarti memberikan kehangatan bukan?
Tapi satu hal yang pasti semua orang di kelas ini terdiam—patuh, tak pernah ada
sepatah kata umpatan ataupun keluhan dari bibir mereka. Dan, Anne benci itu.
Seandainya
kamu di sini, Di. Kelas tidak akan mencekam dan seperti neraka. Seandainya. Dan
hanya seandainya.
Tiba-tiba semuanya berputar seperti
film yang sudah tersimpan rapi dalam file-file otak Anne. Saat mereka melempar
senyum kemudian bersemu merah, saat mereka tertawa bersama karena lelucon
mereka sendiri. Satu hal yang selalu ingin dilupakan Anne, kenangan saat mereka
saling membenci dan tak menanyakan kabar satu sama lain.
“Kenapa,
Di?” tanyanya suatu hari saat mereka tinggal berdua di dalam kelas.
“Aku
butuh bicara sama kamu,” matanya memandang mata Anne—menusuk.
Anne
hanya mengangguk, tahu kemana arah pembicaraan ini akan bermuara.
“Kita
memang sahabat, Ne. Aku tahu itu. Tapi bukan berarti kamu bisa mencampuri
urusan keluargaku seperti itu. Kita punya kehidupan kita, dan kita yang pegang
kontrol, Ne. Bukan orang lain.”
“Aku
cuma ingin jadi sahabat yang baik buat kamu, cuma ingin ngelurusin masalah kamu
sama orang tuamu, cuma enggak ingin lihat kamu murung di sekolah. Bukannya itu
gunanya sahabat?” Anne mengatur nafasnya yang sudah mulai naik turun tidak
teratur.
“Hah,
bullshit, Ne. Entahlah, aku nggak peduli lagi. Cukup buat hari ini, dan lain
kali jangan pernah jadi seperti itu lagi,” Dias melangkah keluar matanya berkilat
karena amarah yang dia tahan. Sedangkan Anne hanya bisa mengekor Dias dan
berjalan gontai di belakangnya. Melihat punggung Dias menjauh tanpa pernah
menengok lagi.
Air matanya mengucur perlahan, lalu
Anne cepat-cepat mengangkat tangan dan meminta izin ke kamar mandi. Di sana
tangisnya semakin menjadi, seakan semua bendungan yang selama ini dibangunnya
runtuh. Anne mengeluarkan foto mereka berdua.
Bodoh!
Bukannya aku justru akan semakin sedih? Anne merutuki dirinya sendiri tanpa
suara.
Satu hal yang tidak pernah
diinginkannya adalah melihat punggung Dias menjauh. Lagi. Dia membutuhkannya. Meskipun
dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dia butuhkan. Bahu tempatnya
bersandar atau senyum yang seakan menjadi api dalam dinginnya salju.
“Hoi! Siapa di dalam? Cepat, dong! Bisa enggak sih?” suara seseorang
dari luar mengembalikan Anne ke dunia nyata. Dunia yang selalu tak ingin
dipijaknya. Sekarang.
Anne keluar lalu tersenyum—semu.
“Maaf,” katanya lirih lalu berlari menuju lantai atas.
Di kelas Gea menunggu teman
sebangkunya untuk memulai bercerita, tapi selalu seperti biasa. Anne tidak akan
pernah memulai. Itu bukan konsumsi publik katanya pada suatu hari. Tapi Gea
tidak pernah menghiraukan apa kata Anne, yang dia tahu dia akan mencoba menjadi
sahabat yang lebih baik dari orang yang selalu membuat teman sebangkunya
menekuk wajah.
“Mau mulai cerita?” katanya saat bel
istirahat berbunyi.
“Enggak ada yang perlu diceritain,
Ge. Semuanya baik-baik aja,” kata Anne. Matanya menatap Gea berusaha meyakinkan.
“Iya, tentu aja baik. Kalau seumpama
enggak ada kantong mata di bawah matamu. Kelihatan banget, Ne. Kamu nangis kan
waktu di kamar mandi?” tanya Gea polos mulutnya penuh dengan biskuit dan chocochips.
“Ssssst, diam. Malu tahu,” Anne
membungkam mulut Gea yang terlanjur berbicara panjang lebar,”semuanya terjadi
gitu aja, Ge.”
“Terjadi gitu aja gimana? Kita kan
lagi pelajaran. Gimana bisa terjadi gitu aja? Makanya, fokus sama pelajarannya
biar enggak kayak begini,” kata Gea sambil mengusap bahu Anne yang berguncang
kecil.
“Aku pernah ngerasain gimana jauh
sama Dias, gimana sakitnya kalau sahabat kita benci kita padahal aku niatnya ingin
bantu dia. Aku enggak mau itu terjadi lagi. Cukup sekali aku melihat
punggungnya menjauh seperti itu. Aku ingin berjalan di sampingnya. Bukan di
belakang atau di depannya,” Anne bercerita matanya menerawang langit yang
berwarna biru dengan satu dua awan berwarna putih seperti kapas.
“Sssst, enggak akan, Ne. Tenang aja,
jangan dibawa serius banget begini. Kalian kan masih tetap sahabat, cuma
lokasinya aja yang jauh. Yang penting gimana caranya supaya lokasi itu enggak
jadi penghalang kalian buat sahabatan, Ne. Kalau kamu ingin berjalan di
sampingnya bilang sama dia. Kalau kamu butuh dia, bilang sama dia. Dia enggak
punya indera keenam kan? Jadi mana mungkin dia bisa tahu kalau kamu sama dia
enggak saling komunikasi, dan enggak saling terbuka.”
Angin bertiup dari barat, membawa
uap air yang semakin lama semakin terasa basah. Langit yang tadinya cerah
berubah menjadi kelabu. Entah tanda-tanda apa. Yang pasti akhir-akhir ini alam
memang tidak bisa diprediksi.
Anne membuka tangannya lalu
merasakan butir-butir air mulai turun. Tapi dia menikmatinya, matanya terpejam
dan berharap setelah membuka mata semuanya akan berubah menjadi lebih baik dan
menyenangkan.
“Ayok, ih! Ngapain berdiri di sini?”
Gea menarik tangan Anne menuju tempat yang bisa digunakan untuk berteduh.
“Kamu udah sempat hubungin Dias lagi
akhir-akhir ini, Ne?” Gea membuka tangan lalu merasakan setiap butir hujan yang
menusuk seperti duri.
“Belum, mau ngomongin apa? Aku itu
bingung,” kata Anne polos.
“Janjian buat ketemu aja! Kan bisa refreshing sekaligus biar kamu bisa
ketawa lagi,” kata Gea memberi ide, seakan-akan idenya brilian dan belum pernah
Anne coba.
“Udah pernah, Ge,” kata Anne seperti
putus asa.
“Hasilnya?” tanyanya lagi.
Anne hanya menggeleng pelan,”Dia
sibuk.”
“Kirim surat aja, kamu hias sebagus
mungkin terus kamu ungkapin disitu. Semuanya. Terus kamu kirim ke Dias lewat
temanmu.”
Mata Anne berbinar, Gea benar. Ini
dia yang belum pernah dia coba.
Di atas kertas berwarna biru Anne
menuliskan semuanya. Ya, semuanya. Semua yang pernah dia rasakan saat bersama
Dias. Karena akan lebih mudah ketika kita terbuka. Ketika kita jujur.
25
September 2012,
Ketika
kata “hai” adalah sebuah pembuka dari sebuah cerita. Perkenalan adalah hal
klasik, yang tetap saja harus dilakukan.
Lalu
apa hubungannya denganmu? Tentu saja ada. Cerita-ceritaku berawal dari
perkenalan. Di kelas berkenalan, dimasyarakat berkenalan.Hah! sudah berapa kali
saja aku berkenalan.
Tapi, ketika hari itu
aku bertemu denganmu aku berkenalan. Klasik. Dan biasa saja. Tersenyum,
berjabat tangan, berkata “hai” dan menyebutkan nama. Mau tahu bagian mana yang
berbeda? Yang berbeda adalah saat aku melihatmu tersenyum, dan tertawa lepas
saat aku memberikan lelucon-lelucon kecil.
Benar. Bahagia itu
sederhana. Bahagia itu sesaat. Bahagia itu saat aku tertawa dan menangis
bersamaan. Bahagia itu saat..bahagia itu saat semua rasa bertemu dan menyatu
dalam balutan bumbu.
Bumbu yang membuatmu
dan membuatku bersatu.
Di, mungkin ini
terlalu norak. Atau whatever you say. Tapi aku cuma mau mencoba satu hal.
Mencoba mengungkapkan apa yang sebenarnya selama ini aku rasakan. Aku kangen
sama kamu. Kita enggak pernah ketemu. Gimana orang-orang di sana? Udah dapat
yang lebih baik dari aku? Hahaha. Tentu saja sudah. Tapi aku enggak pernah
ingin melihat punggungmu menjauh lagi, Di. Aku mohon. Jangan pergi. Jangan
melupakanku. Besok sore jam empat aku tunggu di tempat makan biasanya. Aku
perlu ngomong yang sebenarnya.
Anneke
Triasani
Kertas itu basah, hurufnya menjadi kabur, terang saja
Anne mentikkan air mata ketika menulisnya. Kertasnya menjadi tertekuk tidak
beraturan, hasil pekerjaan tangan orang yang sedang kesal bercampur marah dan
frustasi tidak akan pernah sempurna dan indah dipandang. Terlihat dibeberapa bagian
Anne menekankan bolpoinnya begitu kuat hingga kertasnya nyaris robek. Anne
hanya menghembuskan nafas berat sekaligus lega melihat pekerjaan tangannya
sudah selesai.
***
Karena aku percaya
setiap masalah akan mendewasakan kita
Di tempat lain, seorang perempuan
muda berpawakan kurus membuka sebuah kertas biru pemberian Anne yang sengaja ia
titipkan kepada Jodi, teman dekat Dias. Mimik mukanya berubah seketika—keruh.
Perasaannya dilanda kecemasan dan rasa bersalah yang entah datang dari mana.
Yang dia tahu dia hanya perlu meluruskan satu hal. Satu hal bahwa dia juga
merindukan Anne, bahwa tidak akan pernah ada yang lebih baik darinya.
Tangannya kemudian bergerak cepat di
atas layar ponsel, “Jam empat tepat. Aku akan datang.”
Semuanya akan berakhir hari ini.
Menjadi lebih baik atau semakin memburuk, entahlah lagipula siapa yang tahu
jika belum mencoba. Tepat pukul empat sore Anne sudah berada di rumah makan
yang biasa ia gunakan dengan Dias menghabiskan waktu—dulu. Matanya tak pernah
luput dari pintu masuk—menunggu. Setiap detiknya tiba-tiba berubah menjadi
lebih lama. Ketika sosok yang ia tunggu mulai berjalan memasuki rumah makan
jantungnya memburu, berdetak semakin kuat. Semua penantiannya selama ini, akan
berakhir di sini.
Senja sudah mulai turun saat Dias
berdiri tegap di depannya. Masih sama, dengan tas berwarna merah dan sepatu kets berwarna putih. Hanya saja baju dan
roknya yang berbeda. Rambutnya juga masih sama, ia biarkan tergerai begitu saja
di pundak. Bahkan bau parfumnya pun Anne masih hafal.
Tidak
pernah ada yang berubah. Ya, seandainya saja begitu, Di.
“Sorry telat. Tadi ada rapat dadakan,” tangan Dias
terulur, “bagaimana kabarmu?” senyumnya terulas tulus.
“Enggak apa. Tidak lebih baik sejak
kita jarang bertemu,” senyum Anne ikut terulas di wajahnya yang terlihat kusut.
“Oh, aku tidak tahu kalau kamu
merasakannya juga. Dari jam berapa di sini? Mau pesan apa?” tanya Dias sambil
membuka buku menu masakan.
“Terserah kamu saja,” jawab Anne,
tangannya bergerak-gerak untuk menyembunyikan kegundahannya selama ini.
“Sebenarnya aku sudah tahu sejak dulu bahwa persahabatan
kita memang tidak akan berjalan lama. Tidak akan pernah menjadi selamanya,”
kata Anne sambil menahan panas yang menjalari hati dan matanya.
Dias mendongak menatap mata
sahabatnya, “Maksudmu apa to, Ne?”
seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Ya kita ini, Di. Kita. Kita selalu
menganggap persahabatan kita itu kuat, persahabatan kita akan berlangsung lama.
Dan,” Anne menghela nafas panjang, “sayangnya kita salah.”
“Oke. Sekarang sebenarnya yang salah
dibagian mana? Aku nggak ngerti, Ne.”
“Yang salah itu kita. Ego kita.
Kalau sekarang seperti ini? Kita beda sekolah. Kita punya dunia lain di sisi
dunia kita yang dulu. Kita punya keGeatan masing-masing. Kita sibuk dan kita
sama sekali nggak pernah punya waktu buat sahabat kita sendiri. Terus kita
harus gimana?” tanya Anne. Nafasnya naik turun tidak teratur, jantungnya
memburu.
“Jadi sekarang kamu nyalahin
keadaan?” Dias menghembuskan nafas berat, “harusnya kamu nyalahin diri kamu
sendiri! Bukan keadaan, dan bukan juga aku, Ne!”
“Aku nggak nyalahin keadaan, dan aku
nggak nyalahin kamu!” jarinya menunjuk Dias, matanya berkilat marah, “aku cuma
mau ngelurusin perspektif kita yang salah! Aku ingin kita sama-sama ngerti,
kalau kita sekarang udah jauh banget. Aku ingin kayak persahabatan orang lain.
Mereka berusaha datangin sekolah sahabatnya hanya buat sekadar ketemu. Aku ingin
kayak gitu.”
“Kamu tahu? Itu dia sifatmu yang
selalu membuatmu nggak pernah puas! Kamu selalu ingin kayak orang lain, apa
salahnya sih beda?” tanya Dias.
“Nggak ada. Tapi kita salah,
menurutku kita bukan sahabat. Kita nggak pernah kan ada buat sahabat kita saat
dia butuh bahu kita buat nangis? Kita nggak pernah ada satu sama lain. Yang
kita tahu sejak dulu cuma kita bercanda, ketawa, duduk bareng, tapi kita nggak
pernah nangis bareng. Itu bukan sahabat. Yang aku tahu sahabat itu nggak cuma
enak diajak ngedan, nggak cuma
ngerayain ulang tahun bareng, nggak cuma duduk bareng. Tapi sahabat itu selalu
nyempatin bahunya buat tempat nangis. Selalu nyempatin buat berbagi kebahagiaan,”
air matanya turun melewati pipi yang kemerahan, panas yang selama ini membakar
matanya terasa semakin panas, tangannya mengusap air matanya beberapa kali.
“Sssst, kita perbaiki bareng ya, Ne.
Aku juga ngerasa kok. Makasih udah jujur, Ne.”
Kemudian Dias merengkuhnya dalam
pelukan hangat. Senja. Lagi-lagi senja. Di ufuk barat matahari semakin
kemerahan. Di langit bulan sudah mulai muncul dari timur. Senja memang selalu
indah, dan senja selalu menentramkan.
Sejak saat itu semuanya benar-benar
berakhir. Berakhir menjadi indah, menjadi saling memberi dan saling membagi.
Karena sahabat itu bukan hanya sekadar enak untuk menjadi lawan bicara, bukan
hanya sekadar enak untuk diajak jalan-jalan. Tapi sahabat itu selalu menjadi
sahabat saat bahunya dibutuhkan, saat rengkuhan tangannya ditunggu, saat
senyumnya menjadi bara api pembakar semangat, saat kata-katanya menjadi
motivasi.
Ada satu hal yang terlewatkan yaitu, kehidupan baru
memang akan membawa hal baru. Mencipatakan yang baru tanpa harus memusnahkan
apa yang sudah seharusnya ada. Kehidupan baru berarti membuka buku baru tanpa
harus membakar buku yang sudah ada. Karena seperti itu juga persahabatan,
mencari kawan sebanyak-banyaknya tanpa harus meninggalkan yang sudah ada.
Nama:
Vivi Rahmawati
Kelas:
X1
Nomor:
19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar