Bukannya Dunia Bisa Kalah?
Pagi itu, matahari tak nampak dimanapun. Awan kelabu menggelayut mesra,
menawan matahari lengkap dengan cahayanya. Aku membuka mata perlahan, tidak ada
sinar mencolok, tidak ada kewajiban lain. Lalu apa? Aku kembali menghempaskan
diri ke ranjang. Pengumuman kelulusan sudah dilakukan sejak dua minggu yang
lalu dan aku menjadi pengangguran. Sesekali, aku pernah pergi ke sekolah
sekadar menghabiskan waktu. Tapi, pagi ini aku disini—di sebuah kota dengan
jalan penuh lubang, sebuah kota yang berada di sebelah barat Provinsi Jawa
Tengah. Aku kembali membuka mata pagi ini, kepalaku masih pusing akibat
perjalanan delapan jam ditemani jalan penuh lubang.
“Sarapan dulu, Meg. Sudah jam delapan,” kata Yumna yang aku yakin berada di
luar kamar. Aku
hanya mengeliat dan berujar dengan setengah sadar. Lalu hening. Aku
ternyata telah kembali, tertidur dalam suasana pagi kota Brebes.
Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh ketika aku benar-benar menemukan
kesadaran untuk bangun. Aku berjalan menuju kamar mandi di samping kamar,
menghidupkan keran lalu merasakan airnya yang agak hangat menyentuh kulitku.
Aku hanya berlibur di sini—awalnya, tapi siapa sangka hidup yang semula terasa
sangat mudah menjadi se-mengejutkan ini?
“Om Niko sakit apa, Bunda?” tanyaku waktu kami sampai di rumah sakit tempat
Om Niko dirawat.
“Gagal ginjal, berdoa aja ya semoga semuanya baik-baik saja,” kata Bunda
malam itu. Tapi, Om
Niko berkeras bahwa dia tidak akan melakukan cuci darah.
Om Niko adalah ayah
Yumna, dan dua orang anak Om Niko lainnya yaitu Reza dan Kiko. Ketiga anaknya
masih bersekolah, Yumna sekarang kelas tiga SMA, Reza kelas satu SMA, dan Kiko
baru kelas tiga SD. Aku pernah
berekpektasi buruk tentang mereka karena—yang benar saja—Yumna yang sudah kelas
tiga SMA tidak bisa mengendarai sepeda motor, dan tidak bisa memasak, sedangkan
Reza dia mungkin lebih tidak manja daripada yang lain tapi dia justru tinggal
di Pondok Pesantren, dan Kiko aku tidak menyalahkannya umurnya baru sepuluh
tahun, jadi yang dia tahu hanya bermain dan berteriak agar kebutuhannya
terpenuhi. Keluarga itu, semuanya terpusat pada sosok Om Niko kebutuhan mereka
semuanya dipenuhi Om Niko bahkan untuk urusan lauk pauk dan masak-memasak.
Aku berlibur di kota
ini selama tiga hari dan hari pertama tentu dihabiskan dengan menjenguk Om Niko
di Rumah Sakit Kardinah, Tegal. Hari kedua, aku akhirnya bisa menikmati
liburanku yang sebenarnya, pukul sepuluh pagi aku dan keluargaku yang lainnya
bertolak ke Pantai Randusanga. Pantai itu berada di pesisir utara Pulau Jawa
dengan jarak kurang lebih lima belas kilometer dari kediaman Om Niko. Pantai
berpasir putih dengan banyak pecahan kerang, pantai yang relatif sepi dengan
ombak yang tenang—khas pantai utara dan hari itu, aku melihat sorot kebahagian
lagi di mata itu—di mata Kiko.
“Ayo, Dit! Lempar bolanya,” seru Kiko, kakinya basah ditempa ombak. Adit
melempar bola ke a rah pantai lepas, dan seketika itu aku tahu bahwa bahagia
itu sederhana. Sesederhana kau bernafas, sedikit berusaha dengan banyak efek.
“Ayo sini, lempar ke aku,” kataku berusaha untuk ikut menambahi kebahagian
mereka. Lalu tanpa disuruh kakiku melangkah mendekati Adit dan berusaha menjatuhkannya
di pantai. Kalian
tahu? Betapa kami terlihat seperti keluarga bahagia, seperti tak punya beban. Padahal
disisi lain, kami semua tahu bahwa kematian selalu ada didepan mata kita.
“Wah, buka baju
segala. Sudah kayak artis aja,” kata Om Deni melihat setelan bajuku hanya
dengan tank-top, maklum tidak ada
persiapan untuk berbasah-basahan.
“Biarin, biar
mobilnya nggak basah,” kataku mengelak sambil terus berusaha menjatuhkan Adit.
Setiap waktu berlalu
dengan cepat ketika kita menikmatinya, setiap waktu bersama orang yang membuat
kita tertawa, setiap waktu yang membawa kita menerawang sambil tersenyum
bahagia, setiap waktu dan tempat yang selalu punya cerita bahagia.
Tapi, tepat enam
bulan setelah vonis dokter, Om Niko meninggal. Kalian tahu betapa buruknya saat
itu? Betapa buruknya saat melihat Bundaku menangis ditelepon? Melihat Bundaku
sama sekali tidak bisa berpikir jernih dan hanya bisa mengikuti kata hatinya? Betapa
buruknya saat aku tahu bahwa Om Niko tidak pernah berhenti berusaha bertahan
hidup? Memang Om Niko tidak mau mengikuti program cuci darah, tetapi beliau
tidak pernah berhenti mencoba pengobatan-pengobatan alternatif dengan obat
herbal. Om Niko hanya tidak ingin menyusahkan orang lain untuk mengantarkannya
pergi cuci darah di Rumah Sakit. Betapa mencekamnya malam itu seakan setiap
dering telepon hanya akan menambah satu kabar buruk.
Dimulai dari satu dering telepon malam itu, “Tante, Bapak kritis. Tante
harus ke sini, sekarang,” kata Yumna malam itu, dan bundaku hanya bisa bilang,
“Maaf, Yum. Tante nggak ada sopir, Om Indro juga baru aja kecelakaan, nggak
bisa nyopir.”
Kemudian dering telepon kedua, yang terdengar hanya suara tangis Yumna dan
semuanya menjadi lebih jelas, semuanya menjadi lebih buruk. Om Niko meninggal.
Satu hal yang terburuk saat itu adalah ketika aku sama sekali tidak bisa
meneteskan air mata, ketika pukul 13 siang aku sampai di kota itu lagi, ketika
aku melihat mayat Om Niko membujur kaku dengan dibungkus kain kafan. Melihat tubuhnya
membiru dan kapas putih menutupi setiap lubang di wajahnya, yang aku tahu saat
itu bahwa aku sama sekali tidak akan pernah merasa kehilangan Om Niko—bahkan
sampai sekarang—karena setiap tawanya, setiap suaranya masih terpatri jelas
diingatanku.
“Pak, kok aku nggak bisa nangis ya?” tanyaku sore hari setelah Om Niko
dikuburkan.
“Sedih itu nggak harus nangis kan?” kata Bapak saat itu, “Bapak aja nggak
bisa nangis, kalau kamu nggak bisa nangis itu bukan karena hati kamu yang kayak
batu, orang itu beda-beda,” kata Bapak lalu meminum teh hangat di depannya.
Kami menghabiskan dua hari berkabung—dua hari penuh abu-abu—di rumah Om
Niko akhirnya, sebelum kami bertolak ke Yogyakarta sore itu kami lebih dulu
mendatangi makam Om Niko dan berdoa disana.
“Yum, tante balik dulu ya? Jaga ibu, jaga eyang, jaga adik-adik,” kata
Bunda sore itu diringi air mata yang entah mengapa sore itu bisa aku rasakan.
“Iya, Tante. Tante
hati-hati ya, sering main ke sini,” kata Yumna memeluk bunda.
Tiga bulan setelah
kepergian Om Niko, Yumna mengikuti Ujian Nasional untuk SMA dan ketika
pengumuman jalur undangan, Yumna diterima di Universitas Negeri Semarang jurusan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar seperti mendiang ayahnya dahulu. Hidup harus
terus berjalan, kan? Tidak peduli apa yang pernah terjadi beberapa waktu yang
lalu? Kita sendiri yang memutuskan untuk sukses atau tidak,kan? Bukan orang
lain? Kita tidak akan maju, kan? Sampai kita sendiri yang memutuskan kalau kita
akan bergerak maju? Sampai kita sendiri yang memutuskan untuk mengalahkan
dunia? Bukannya dunia akan mengerahkan seluruh tangannya ketika kita
benar-benar berusaha?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar