Dear
diary,
Seandainya
mereka tahu, betapa aku merindukan mereka. Merindukan waktu yang terasa amat
berharga kini—setelah semuanya berlalu.
Bahkan,
ketika aku telah membayangkan betapa bahagianya jika waktu yang tidak bisa
diulang itu kita dapatkan lagi. Kalian tahu? Waktu empat hari itu ternyata
tidak cukup baik hingga bisa mempertemukan kita.
Mungkin,
Tuhan belum mengijinkan kita bertemu lagi. Mungkin, jika kita saling memaksakan
diri hasilnya tidak akan baik. Mungkin, memang begini seharusnya. Mungkin,
semua orang mengalaminya. Mungkin, hanya aku yang memikirnya. Apa kalian juga?
Tahukah
kalian betapa irinya aku pada kalian? Betapa sakitnya aku ketika aku tahu bahwa
kata “kita” berarti kau dan mereka dari duniamu, sedangkan kata “kita” bagiku
adalah aku dan kalian, manusia dari duniaku yang dulu. Betapa irinya aku ingin
sepertimu, betapa inginnya aku mendapatkan mereka dari duniaku tanpa harus
menutup pintu bagi kalian dari duniaku yang dulu dan seterusnya. Betapa aku ingin
mendapatkan bahu tempat aku mencurahkan setiap tangis dan air mata yang mulai
menggenang.
Tahukah kalian ? Ternyata seperti ini
konsekuensinya ketika kita mengambil jalan dalam persimpangan yang ada didepan
kita. Tahukah kalian? Ternyata seperti ini ketika kita memilih jalan kita untuk
dilewati menuju akhir yang entah kemana membawa kita.
Tahukah
kalian? Bahwa kita telah memilih jalan bagi kita sendiri? Tahukah kalian dimana
persimpangan ini akan mempertemukan kita? Tahukah kalian apa yang kalian tuju?
Yang
aku tahu adalah ketika aku telah mulai melangkah menjauhi pangkal persimpangan
itu aku tidak akan pernah bisa kembali.
Dan,
yang aku benci dari hal itu adalah aku tidak tahu arah jalan untuk kembali.
Karena
persimpangan itu hanya akan membawa kita menjauh dan menuju jalan yang lebih
besar. Membawa kita berjalan dan terus berjalan hingga hujan mempertemukan kita
di bawah naungan teduh halte bus berwarna hijau dan sinar temaram lampu kota
yang kekuningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar