Hitung apa yang sudah kau punya, jangan menghitung apa yang tidak kau
punya. Dengan begitu kau akan lebih berhati-hati dalam bertindak.
Sebenarnya, aku ingin membiarkan rasa sakit ini menjalar dulu. Aku ingin
menikmati rasa sakit itu dulu. Aku ingin menikmati rasa sakit itu dulu dalam
setiap sel tubuhku, dalam setiap detak jantungku, dalam setiap doaku, dalam
setiap helaan nafasku.
Agar, tubuhku nanti akan terbiasa.
Agar akhirnya, aku bisa merasa kebas. Sungguh. Aku pikir itu lebih
baik. Tapi aku juga ingin merasakan rasa sakit itu dulu, agar aku bisa percaya
bahwa aku masih hidup mesikpun ada rasa sakit yang membuncah disini.
Seandainya aku bisa, aku ingin menyalahkanmu. Aku ingin mengeluarkan
sumpah serapah. Aku ingin membencimu, tapi aku tahu dengan membencimu ada
bagian dari diriku yang mengingatmu dengan baik. Hatiku yang membencimu. Dan aku
membencinya juga.
Aku pernah mendengar sebuah lagu “Jika aku memang tercipta untukmu, ku
kan memilikimu” seandainya bisa aku ingin percaya. Aku ingin percaya jika saja
waktu pernah bersedia menyisakan sepersekian detiknya untukku bersamamu.
Tapi nyatanya, warna saja tidak sudi untuk sekadar singgah memberikan
kebahagiaan. Memberikan warna senja yang di elu-elukan indah, hingga aku sadar
ada sebuah warna yang berbaik hati menyumbangkan artinya dalam cerita kita.
Abu-abu.
Kadang, aku berpikir kenapa setiap warna harus dipetakkan dalam
kategori-kategori kecil; ketidakpastian, duka, ceria, bahagia, cinta. Padahal,
setiap warna itu indah. Padahal, setiap warna itu akan tetap memberi warna.
Seandainya bisa, aku akan memilih warna salem untuk ceritaku. Warna lembut
yang entah mengapa aku sukai karena ketika aku melihatnya, aku tahu kemana aku
akan bermuara. Aku tahu dimana hilir itu berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar