Hai,
Selamat sore senja
keemasan dibalik bukit bernama Volga. Apa kabar? Kau tahu apa yang ingin aku
lakukan sekarang? Aku ingin berterimakasih kepadamu.
Terimakasih telah
menitipkan salam rindu itu kepadaku. Terimakasih telah menitipkan sebagian
rindumu untuknya kepadaku. Rindumu untuknya. Terimakasih telah mempercayaiku
membawa salam rindu itu. Bukankah itu artinya kau pernah memikirkanku walau
sejenak? Bukankah itu artinya aku pernah menyita waktumu? Aku bersyukur untuk
itu, kau tahu? Seberapapun berartinya orang itu—orang yang salam rindunya kau
titipkan kepadaku—setidaknya kau pernah memikirkanku. Walaupun hanya berakhir
kepadanya, tapi aku cukup bahagia untuk bahagiamu dan harapanmu akan salam
rindu yang kau titipkan kepadaku lewat hangatnya angin musim semi kota San
Fransisco.
Kau tahu? Aku sudah terbiasa denganmu. Terbiasa kau anggap orang yang
memberimu senyum ketika kau kembali dan tetap memberimu senyum bahkan ketika
kau hanya akan menyisakan punggung itu menjauh.
Hai,
Apa kabar lelaki bervespa biru? Masih tetap berdiri kan? Aku yakin kau akan
tetap berdiri meski tanpaku, karena yang ku tahu kau tidak butuh kehadiranku
untuk membantumu sekadar berdiri. Kau tahu? Aku baru saja menyadari beberapa
hal. Pertama, aku baru menyadari bahwa ada bagian dari diriku yang berteriak
ingin berkata aku merindukanmu. Kedua, wanita itu—wanita yang kau sebut
mencintaimu dan kau cintai—telah menyadarkanku tentangmu, tentang setiap kata
yang kau pilih adalah katanya juga. Dan setiap spasi yang kau ketik di pesan
singkatmu adalah spasinya juga. Dan aku baru menyadari begitu berartinya dia
bagimu, dan kamu baginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar