Sabtu, 03 Maret 2018

A Head Full of Stories#2



A Head Full of Stories
Adji
Gue berhenti tepat di depannya dengan napas terengah-engah, menarik dan menghembuskan napas berkali-kali untuk menghilangkan detak jantung yang tidak karuan yang gue tahu bukan karena bekas berlari.
“Hai,” akhirnya gue menemukan suara.
Dia menatap gue bingung, bukan tatapan bingung “lo siapa?” tapi tatapan bingung “kok lo ada disini?” namun sedetik kemudian dia tersenyum dan membalas, “Hai, Ji.”
“Sama siapa, Ra?” pertanyaan yang sama seperti saat di pesawat keluar dari mulut gue begitu saja, yang kemudian gue sesali. Damn, Ji nggak ada pertanyaan yang lebih basi?
“Sendirian aja kok gue. Temen-temen lo mana, Ji?” tanyanya sambil menengok jam tangan
“Oh mereka lagi ambil mobil kayaknya tadi gue lihat lo makanya gue samperin dulu.”
Dia melirik jam tangannya, lagi dan mukanya terlihat gelisah, “Lo nggak apa-apa, Ra?”
Sorry, Ji. But I really have to go, kereta terakhir sebentar lagi.” Katanya
“Bareng gue aja, Ra?” cetus gue spontan
“Eh nggak usah, nggak enak sama temen-temen lo,” jawabnya enggan.
Gue tahu dia akan menolak, setiap cewek seperti dia akan menolak. Siapa juga yang tiba-tiba mau diantar oleh lelaki yang baru dikenalnya selama 8 jam. Ralat tiga laki-laki. Jadi akhirnya gue hanya mengangguk dan menyerahkan handphone ke arahnya.
If you don’t mind,” kata gue ragu.
Laura
                Tangannya mengulur ke arahku dengan sebuah telepon genggam, “If you don’t mind,” katanya.
                Saat ini adalah saat yang paling tepat untuk mundur dan menolak dengan halus bahwa nomor lokalku tidak aku hidupkan saat disini. Bisa saja dengan beribu lainnya dan Adji akan menerimanya. Aku bisa memutuskan segala sesuatu yang berhubungan dengannya sebelum bahkan sempat dimulai. Kita akan menjadi dua orang asing yang tidak pernah bertemu sebelumnya dan dia hanya akan menjadi nama yang ku kenal di pesawat seperti orang-orang lain yang pernah ku temui. He’ll just be gone and we’ll never cross each other’s path ever again.
                Namun, memikirkan kemungkinan itu membuatku sedikit merasa tidak rela. Akhirnya tanganku bergerak maju menerima telepon genggam dari tangannya dan menuliskan sederet nomor yang ku hafal di luar kepala.
                “Ji! Come on,” kata dua orang laki-laki yang tiba di depanku dengan sebuah jip terbuka. Mata mereka menyipit penuh tanya.
                Guys, kenalin ini Laura,” kata Adji
                Mereka hanya melambaikan tangan sambil tersenyum penuh arti. “Come on,” kata salah satu dari mereka lagi.
                I’ll be in touch,” dia tersenyum sambil naik ke atas jip.
                Aku masih berdiri di luar stasiun saat panggilan kereta terakhir berbunyi, menyadari keputusan yang ku ambil dan mempertanyakan apakah itu keputusan yang tepat. Beberapa detik setelahnya aku mulai berlari menuju ke dalam stasiun.
Adji
                Gue menyukai langit, lengkap dengan konstelasi yang tergambar di dalamnya. Gue masih ingat Adji kecil yang lebih suka duduk di teras depan rumah memandangi langit malam dibanding melihat acara televisi sabtu malam yang menarik bagi anak-anak. Rumah gue di Jogja yang dekat dengan laut membuat gue selalu menyempatkan waktu main ke pantai saat bulan purnama. Melihat cahaya keperakan yang terpantul di air, memotretnya dengan kamera analog hadiah dari Bapak. Sounds cheesy, right? Tapi, masa-masa itulah yang menjadi awal perkenalan gue dengan fotografi. Setelahnya, gue makin suka memfoto apapun yang menurut gue menarik: cahaya matahari disela-sela pohon, rumput-rumput liar, jangkrik. Obsesi Adji kecil terhadap langit terpendam begitu saja tergantikan oleh hobinya yang baru. Hobi ini yang akhirnya membuat gue meninggalkan kuliah di jurusan manajemen dan nekat menentang Bapak.
                Namun, melihat matanya malam ini mengingatkan gue tentang obsesi Adji kecil, keinginannya untuk berkeliling ke tempat-tempat minim polusi cahaya, just because. Mimpinya yang sampai saat ini tersisihkan menunggu untuk ditemukan. Some people say, “You only need one person to remind you who you are.” Dan gue tahu tanpa perlu bertanya, she did it, and that’s why I can’t let her go, not again.
Laura
                Sesampainya aku di rumah ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Adji, “Coffee?  With me?”
“Besok udah harus balik ke Jakarta. Di Jakarta kalau gitu? On me?” balasku
Tidak sampai dua menit, satu pesan masuk dari nomor yang sama, hanya satu kata, tegas dan afirmatif “Oke.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar