A Head Full of
Stories
Adji
Gue berhenti
tepat di depannya dengan napas terengah-engah, menarik dan menghembuskan napas
berkali-kali untuk menghilangkan detak jantung yang tidak karuan yang gue tahu
bukan karena bekas berlari.
“Hai,”
akhirnya gue menemukan suara.
Dia menatap
gue bingung, bukan tatapan bingung “lo siapa?” tapi tatapan bingung “kok lo ada
disini?” namun sedetik kemudian dia tersenyum dan membalas, “Hai, Ji.”
“Sama siapa,
Ra?” pertanyaan yang sama seperti saat di pesawat keluar dari mulut gue begitu
saja, yang kemudian gue sesali. Damn, Ji
nggak ada pertanyaan yang lebih basi?
“Sendirian aja
kok gue. Temen-temen lo mana, Ji?” tanyanya sambil menengok jam tangan
“Oh mereka
lagi ambil mobil kayaknya tadi gue lihat lo makanya gue samperin dulu.”
Dia melirik
jam tangannya, lagi dan mukanya terlihat gelisah, “Lo nggak apa-apa, Ra?”
“Sorry, Ji. But I really have to go,
kereta terakhir sebentar lagi.” Katanya
“Bareng gue
aja, Ra?” cetus gue spontan
“Eh nggak
usah, nggak enak sama temen-temen lo,” jawabnya enggan.
Gue tahu dia
akan menolak, setiap cewek seperti dia akan menolak. Siapa juga yang tiba-tiba
mau diantar oleh lelaki yang baru dikenalnya selama 8 jam. Ralat tiga
laki-laki. Jadi akhirnya gue hanya mengangguk dan menyerahkan handphone ke
arahnya.
“If you don’t mind,” kata gue ragu.
Laura
Tangannya
mengulur ke arahku dengan sebuah telepon genggam, “If you don’t mind,” katanya.
Saat
ini adalah saat yang paling tepat untuk mundur dan menolak dengan halus bahwa
nomor lokalku tidak aku hidupkan saat disini. Bisa saja dengan beribu lainnya
dan Adji akan menerimanya. Aku bisa memutuskan segala sesuatu yang berhubungan
dengannya sebelum bahkan sempat dimulai. Kita akan menjadi dua orang asing yang
tidak pernah bertemu sebelumnya dan dia hanya akan menjadi nama yang ku kenal
di pesawat seperti orang-orang lain yang pernah ku temui. He’ll just be gone and we’ll never cross each other’s path ever again.
Namun,
memikirkan kemungkinan itu membuatku sedikit merasa tidak rela. Akhirnya
tanganku bergerak maju menerima telepon genggam dari tangannya dan menuliskan
sederet nomor yang ku hafal di luar kepala.
“Ji!
Come on,” kata dua orang laki-laki
yang tiba di depanku dengan sebuah jip terbuka. Mata mereka menyipit penuh
tanya.
“Guys, kenalin ini Laura,” kata Adji
Mereka
hanya melambaikan tangan sambil tersenyum penuh arti. “Come on,” kata salah satu dari mereka lagi.
“I’ll be in touch,” dia tersenyum sambil
naik ke atas jip.
Aku
masih berdiri di luar stasiun saat panggilan kereta terakhir berbunyi,
menyadari keputusan yang ku ambil dan mempertanyakan apakah itu keputusan yang
tepat. Beberapa detik setelahnya aku mulai berlari menuju ke dalam stasiun.
Adji
Gue
menyukai langit, lengkap dengan konstelasi yang tergambar di dalamnya. Gue
masih ingat Adji kecil yang lebih suka duduk di teras depan rumah memandangi
langit malam dibanding melihat acara televisi sabtu malam yang menarik bagi
anak-anak. Rumah gue di Jogja yang dekat dengan laut membuat gue selalu
menyempatkan waktu main ke pantai saat bulan purnama. Melihat cahaya keperakan
yang terpantul di air, memotretnya dengan kamera analog hadiah dari Bapak. Sounds cheesy, right? Tapi, masa-masa itulah yang menjadi awal
perkenalan gue dengan fotografi. Setelahnya, gue makin suka memfoto apapun yang
menurut gue menarik: cahaya matahari disela-sela pohon, rumput-rumput liar,
jangkrik. Obsesi Adji kecil terhadap langit terpendam begitu saja tergantikan
oleh hobinya yang baru. Hobi ini yang akhirnya membuat gue meninggalkan kuliah
di jurusan manajemen dan nekat menentang Bapak.
Namun,
melihat matanya malam ini mengingatkan gue tentang obsesi Adji kecil,
keinginannya untuk berkeliling ke tempat-tempat minim polusi cahaya, just because. Mimpinya yang sampai saat
ini tersisihkan menunggu untuk ditemukan. Some
people say, “You only need one person to remind you who you are.” Dan gue
tahu tanpa perlu bertanya, she did it,
and that’s why I can’t let her go, not again.
Laura
Sesampainya
aku di rumah ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Adji, “Coffee?
With me?”
“Besok udah
harus balik ke Jakarta. Di Jakarta kalau gitu? On me?” balasku
Tidak sampai
dua menit, satu pesan masuk dari nomor yang sama, hanya satu kata, tegas dan afirmatif
“Oke.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar