Senin, 13 Agustus 2012

BONEKA BALLERINA


There are two ways to live: you can live as if nothing is a miracle or you can live as if everything is a miracle.

Hari ini langit cerah–sangat biru, hanya ada satu awan putih yang bergerak bagaikan domba diatas rerumputan berwarna biru. Sesekali Adele Hanidika Tyasputri melirik jam tangan berwarna cokelat muda—senada dengan kulitnya kuning langsat mulus.
Pukul 17.10 menit, belum ada tanda-tanda senja akan segera turun, matahari masih bersinar dengan terang—meskipun tidak terik. Sinarnya menelusup melewati daun-daun yang berwarna keemasan karena tertimpa cahaya kekuningan memasuki ruangan penuh kaca tempat Adele duduk. Matanya kosong menatap cermin besar di depannya. Menari bukan hobinya, dia masuk sanggar tari juga karena paksaan. Bukan ide yang bagus menurutnya, tapi Mama-nya bersikeras.
Latihan sudah usai sejak setengah jam yang lalu, tapi dia memilih untuk tinggal berlama-lama di studio tempatnya latihan menari. Bukan karena dia betah berada disini, tapi jelas karena dia lebih tidak betah tinggal di rumah. Di telinganya terpasang headphone berwarna merah maroon, iPod-nya berada di saku, aliran musiknya tidak terlalu keras One Last Breath milik Creed tapi volumenya sengaja dipasang keras-keras, sehingga siapapun yang masuk kedalam studio dia tidak akan tahu. Atau lebih tepatnya tidak akan peduli.
“Setidaknya aku bisa sendirian disini, merasa lebih damai daripada harus mendengar cerita-cerita Mama tentang impiannya yang kandas begitu saja,” pikir Adele. Sekarang matanya menatap tajam wajah yang ada di cermin besar berbingkai hitam di depannya.
“Aku mencintai duniaku sekarang, tapi tidak dunia tariku. Mamaku dia tentu saja berbeda denganku, dan kenapa aku harus mengikuti ambisinya? Bukankah kalau dia sudah terjatuh dari langit yang selama ini ingin dipijaknya itu salahnya sendiri karena sayapnya kurang kuat?” matanya menatap nanar siluet yang ada di dekatnya. Siluet dari dirinya sendiri, matahari sudah condong ke barat cahayanya masih bisa masuk ke dalam studio menyelusup melewati rambut hitam kecoklatan yang tergerai indah hampir sampai ke pinggang.
Matanya hijau, dia dapat dari Mamanya yang blasteran Finlandia, Jawa, Belanda, dan Norwegia. Matanya hampir sama dengan Kristin Kreuk. Aktris kelahiran Vancouver itu sama beruntungnya dengan Adele, matanya indah—sangat indah, hanya sekitar 1-2% penduduk dunia yang memiliki warna mata seperti mereka.
Adele adalah perempuan yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan, kecantikannya benar-benar tidak bisa dipungkiri—meskipun hanya sebagian orang yang berani berbicara terang-terangan dengannya. Hampir kesempurnaan yang ia miliki, mata hijau menawan yang indah dan jernih, hidung yang hampir sempurna perpaduan antara Kalimantan dan Eropa—well, tidak terlalu mancung juga lubangnya tidak terlalu besar, tubuhnya ramping agak atletis karena latihan menarinya, tangannya mulus karena sering ke salon belum lagi kukunya yang rutin dikarantina di salon, kakinya cukup jenjang—meskipun tidak terlalu indah. Kesempurnaan yang terlalu indah menjadi kenyataan, seperti putri-putri dari Negara antah berantah milik para pangeran berkuda putih dan putri-putri dengan beribu dayang yang siap melayani setiap tindak tanduknya.
Satu hal yang sama sekali tidak bisa ia pungkiri, bahwa Mamanya juga bak putri raja lebih darinya ratu dari sebuah negeri nan jauh di sana. Ratu yang titahnya harus selalu dituruti, ratu yang tidak pernah sekalipun mengalami hal menyakitkan, ratu yang selalu dilindungi. Hingga suatu saat, ketika untuk pertama kalinya ia harus sakit—menghancurkan, mengecewakan, segala hal yang ia upayakan, segala hal yang ia perjuangkan menjadi abu menguap terbawa angin. Jatuh dari langit ketujuh dan bruuuuk! Hancur berantakan berkeping-keping.
Semuanya diturunkan kepada dirinya, tentang titahnya dan segala tindak tanduk bagai putri raja, kecantikan dan setitik jalan menuju kesempurnaan, kemenawanan yang tak bisa ditolak, juga tentang hal yang mengecewakannya. Hal yang tak pernah bisa diwujudkan Mama-nya, hal paling buruk yang diturunkan Mama-nya yang menyiksanya selama 18 tahun hidupnya. Adele berusia awal 21 tahun, sejak umur tiga tahun dia sudah dijejali berbagai macam les, les menari tentunya—cita-cita Mama-nya kandas seperti salju yang belum sempat mencapai tanah—mencair.
Sekarang senja sudah benar-benar datang menyambut, matahari sudah tergelincir sejak seperempat jam yang lalu. Semburat merah, jingga, dan semburat keunguan. Dendang adzan berkumandang bersautan seperti burung kenari menyambut pagi hari, jalanan mulai macet bunyi bip klakson mobil juga tak kalah bersautan. Aktivitas sehari-hari yang terlihat di jalanan bip klakson yang tidak sabar, pengamen-pengamen di warung makan kaki lima pinggiran yang penuh sesak pengunjung.
Adele sudah memutuskan untuk beranjak, pulang, bertemu Mama-nya dan rewang-nya tentu saja tidak dengan Papa-nya. Belum selesai meeting—kebiasaan yang sangat biasa bagi para pengusaha kelas kakap.
“Adele?” sambut Mama dari balik pintu kaca yang sangat besar. Adele tidak menyahut, hanya menoleh. Melirik lebih tepatnya.
            “Dari mana aja kamu?” tanya Mama, nadanya meninggi. Nadanya memerintah, bertitah untuk dijawab, paksaan wajib yang tidak pernah bisa ditolak Adele.
            “Studio ballet, aku capai, Ma. Mau mandi,” matanya sama sekali tak menatap mata mamanya.
            “Mama tunggu di meja makan, lima belas menit lagi!”
            Tak ada sautan, yang ada hanya suara langkah kaki yang menjauh. Menuju bagian timur rumah yang sebagian besar interiornya berwarna broken white, coklat kayu, dan soft krem. Sekarang, tidak ada suara lain selain suara TV yang dinyalakan tanpa ditonton. Jelas saja pemborosan listrik, mengingat negeri sedang carut marut dengan persediaan energy. Lima belas menit yang berlalu terasa begitu cepat bagi Adele, disini dia nyaman, di bawah guyuran air hangat dari shower berwarna metalik. Semua bebannya sedikit berkurang. Itu dua menit yang lalu.
            Sekarang keduanya berada di meja makan berhadapan, bagaikan dua malaikat dari surga yang sengaja turun hanya untuk mengambil selendang yang tertinggal. Selama delapan belas tahun hidupnya Adele sudah berbakti kepada Mamanya. Jadi sekarang inilah saatnya dia mengikuti kata hatinya. Hanya kata hatinya. Meskipun delapan belas tahun itu tak cukup untuk berbakti, tapi dia hanya ingin mencoba satu hal kecil dalam hidupnya. Merasa bebas—hanya satu bulan.
            “Aku besok mau berangkat ke Berlin,” Adele memulai percakapan dengan nada sangat tenang. Walaupun dalam hati dia sangat khawatir.
            “BERLIN?” mata Mamanya mengerjap beberapa kali. Seperti tak percaya anak perempuannya akan pergi begitu jauh. “Jerman?” Adele hanya mengangguk.
            “Pementasan. Ini kan cita-cita Mama? Go internasional? Kenapa Mama kaget?” tanya Adele suaranya masih setenang satu menit yang lalu.
            “Tapi Mama tahu kamu nggak pernah suka nglakuin itu,” Mamanya masih shock suaranya bergetar.
            “Aku cuman pengen berbakti, apa itu nggak cukup buat Mama?” ditekankannya setiap kata yang dia ucapkan. Berhati-hati dan menjaga emosi agar air matanya tidak jatuh.
            “Bohong! Kamu nggak pernah suka, Del. Mama tahu, apa susahnya jujur?”
            “Aku menginginkan pementasan itu, Ma. Yang perlu Mama tahu hanya itu,” matanya sudah panas, Adele yakin air matanya akan turun sepersekian menit lagi.
            Mamanya hanya tertunduk, matanya kosong. Ekspresinya berpikir tapi sebenarnya entah dimana sekarang otaknya mengembara. Yang dia tahu, kalau dia membiarkan Adele pergi kemungkinannya hanya satu—Adele tidak akan kembali lagi.
            “Mama perlu ngomong sama Papa dulu nanti malem,” jawab Mamanya. Kemudian Mamanya menyantap makanan di depannya.
            “Adele packing dulu,” kata Adele seraya meninggalkan Mamanya sendirian di meja makan berkursi enam itu.
            Langkahnya menjauh, sampai di depan kamarnya Adele membuka pintu suaranya berderit. “Ah aku akan merindukan ini,” katanya dalam hati. Adele membuka lemari pakainnya kemudian mengambil beberapa baju, tidak banyak hanya tujuh pasang. Toh hanya sebulan, yang paling penting adalah bajunya yang satu ini, BAJU BALLET. Ini dia alasan Adele bisa pergi, dia yakin Papanya tidak akan menentangnya untuk pergi Papanya sangat menyayanginya. Mamanya juga, walaupun caranya salah.
            Tidak perlu tidak bisa tidur, malah bisa dibilang tidurnya malam ini nyenyak. Karena besok adalah hari besarnya. Dia bisa memimpikan kota Berlin dengan segala hiruk pikuknya yang bisa melepaskan sedikit bebannya.
***
            “Adele, bangun!” teriak Papanya tepat di telinga Adele. Adele tetap bergeming. Ditariknya selimut Adele. Tetap tidak ada tanggapan. “Oh, okay. Kalo kamu nggak bagun, lihat aja nggak bakal Papa ijinin kamu ke Berlin,” Papanya angkat bicara lagi. Adele terkesiap, langsung bangun tanpa banyak bicara. Matanya masih merah, menguap beberapa kali. Papanya tersenyum penuh kemenangan. Tirai di kamarnya dibuka sinar matahari dari timur menyusup melewati jendela.
            “Udah mandi sana. Pesawat take off  jam 16.00. Itu berarti masih ada..” Papanya melirik arloji ditangannya. “Tujuh jam untuk berpamitan dan menyiapkan berkas-berkas pementasanmu. Atau kamu akan ketinggalan pesawat dan seluruh pementasanmu gagal,” Papanya melirik Adele yang masih mempertahankan posisi tengkurapnya karena matanya silau.
            “Iya, Papaku sayang. Masih tujuh jam kan berarti itu masih..” Adele menghitung dengan jarinya. “420 menit, dan 25200 detik. Lagipula berkasku tinggal diambil, baju udah dipacking. Kurang apalagi coba?” tanya Adele.
            “Paspor,” jawab Papanya singkat sambil mengangkat paspor yang ada ditangannya.
            “Aaaaah, Papa. Ayolah, aku tahu Papa nggak bakal ngasih paspor itu kalo Adele belum mandi,” Adele merajuk. Mukanya memelas, tangannya mengucek mata. Kemudian menguap lagi.
            “Ayoooooo, mandi! Anak cewek udah gedhe males mandi. Ntar cowok pada kabur. Bau kamu udah menyebar Dele. Ayooo,” Papanya menarik tangan Adele paksa.
            Adele baru menyadari kalau hari ini Minggu, pantas saja Papanya di rumah. Tidak biasanya Papanya berada di rumah walaupun masih pagi. Atau… lebih tepatnya ini bukan pagi. Adele melangkah ke kamar mandi, tangannya masih saja dipegang Papanya.
            “Papa tunggu di bawah, setengah jam lagi. Kita sarapan bersama,” Papanya melepaskan tangan seraya pergi.
            Adele mandi– berendam lebih tepatnya. Air hangat selalu bisa menghilangkan segala apa yang ada dipikirannya. Yang ada dibenaknya hanya satu hal, keberangkatannya ke Berlin. Perjalanannya yang akan penuh dengan kebosanan. Sebenarnya andai dia punya pilihan untuk tidak pergi tapi tetap memiliki kebebasan itu. Dia akan lebih memilih untuk tinggal. Dia merasa aman di rumah, meskipun tidak nyaman. Karena satu-satunya hal yang membuatnya tidak nyaman adalah keputusan Mamanya. Dan selalu itu.
***
            “Gate 3,” Esther, pelatih balletnya memberitahu. Adele menunjukkan paspor dan tiketnya kepada petugas, kemudian melewati arena pemeriksaan.
            “Silahkan menuju kursi 20A,” kata seorang petugas dengan seulas senyum mengembang diwajahnya.
            Papanya dan Mama yang mengantarnya sudah pulang sejak Adele memasuki pintu keberangkatan. Perjalananya akan ditempuh selama kurang lebih 21 jam. Dan itu berarti 21 jam dalam diam, atau 21 jam yang dia harap penuh keajaiban. Kursi 20A ada didepannya sekarang. Dia harap dia akan bisa duduk bersebelahan dengan Esther atau temannya yang lain. Tapi tidak ada tanda-tanda mereka akan duduk disebelahnya. Justru sekarang ada sesosok laki-laki yang berjalan menuju kearahnya. Laki-laki kurus yang cukup jangkung. Dengan melihat sosoknya Adele yakin, dia blasteran. Matanya biru, hidungnya-pun mancung, kulitnya tidak seperti orang-orang barat pada umumnya. Kuning langsat, penuh bulu-bulu berwarna cokelat, rambutnya juga kecoklatan. Mungkin dia sudah terlalu lama di Indonesia—berlibur atau sebagainya. Atau malah dia memang blasteran. Laki-laki itu justru menatap Adele—sadar sedari tadi ada yang mengamatinya dari atas sampai bawah. Adele hanya tertunduk salah tingkah. Laki-laki itu tahu-tahu sudah duduk disampingnya. Adele mendelik tak percaya.
Sumpah bakal mati kutu duduk disebelah orang ini. Mati malu juga.
            Sekarang lelaki itu menatap Adele lekat-lekat. Melihatnya dari atas sampai bawah. Menilai. Kemudian mengulurkan tangan.
            “Damon. Keith Damon Abiel Atmadja,” senyum mengembang diwajahnya menunjukkan lesung pipit yang tidak terlalu dalam tapi jelas adanya.
            “Adele Hanidika Tyasputri,” Adele menyambut uluran tangan lelaki bernama Damon yang telah membuat dadanya berdesir.
            Ah wanita macam apa aku ini, baru saja bertemu. Kenapa rasanya tidak keruan seperti ini.
            Keduanya bercerita tentang diri mereka masing-masing tanpa diminta. Semuanya mengalir begitu saja. Mudah saja bercerita dengan Damon, semuanya terasa lebih menyenangkan. Untunglah perjalanan yang akan menghabiskan 21 jam dalam hidupnya ini akan terasa sangat menyenangkan. Untunglah ada Damon sekarang. Untunglah 21 jam ini adalah 21 jam penuh keajaiban.
            “Aku lihat kamu tidak seperti orang Indonesia pada umumnya, matamu. Kulitmu, hidungmu,” Damon berpendapat, matanya masih jelalatan melihati segala yang ada didiri Adele.
            “Jangan melihatku seperti itu, nanti kamu suka mataku,” Adele tertawa. “Well—Mamaku blasteran juga, seperti kamu kan?” Adele mengerling jail pada Damon.
            Damon sekarang juga ikut tertawa, “Oh, ternyata dari tadi ada orang yang memeperhatikanku juga. Ada yang penasaran juga sepertinya,” matanya menatap kedepan lurus-lurus, tangannya bersedekap, dan bibirnya menyunggingkan senyum.
            Adele menjambak rambut kecoklatan milik Damon. Damon mengerang, kemudian mengembuskan nafas berat. Tangannya menarik tangan ramping milik Adele, kemudian mata mereka bertemu mata hijau yang selalu terlihat jernih dengan mata biru yang menatapnya tajam. Tidak lama setelah itu mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
            “Dramatis,” komentar Adele setelah keduanya berhenti tertawa.
            “Sinetronis,” Damon ikut berkomentar. Tidak lama setelah itu Adele sudah terlelap dalam tidurnya.
***
           21 jam berlalu. Sekarang pesawat sudah landing di Bandara Schönefeld, Berlin. Adele memindahkan kopernya dari bagasi untuk melanjutkan perjalanannya ke Hotel Radisson yang terletak di  Blu Karl-Liebknecht-Straße 3, Berlin.  Damon berjalan dibelakangnya setelah tadi mereka menaiki Omni Bus.
Adele lalu berbalik dan menatap Damon, alisnya terangkat, “Kok kamu nggak pulang? Kenapa ikut kesini?”
            Damon mengerjap beberapa kali lalu menjawab dengan enteng, “Menginap sehari dua hari disini tidak masalah, menjadi guide tour mu. Bukankah kau memerlukannya?” Damon tersenyum tulus. Adele hanya mengangguk kecil, bibirnya membentuk huruf O.
            Sebenarnya Adele memang menginginkan ini, menginginkan Damon ada disampingnya. Karena saat bersama Damon semuanya terasa lebih mudah. Damon memesan kamar yang berseberangan dengan kamar Adele. Sedangkan Adele yang sudah berada di kamarnya tidak habis pikir dengan apa yang Damon lakukan.
            Keesokan harinya Adele telah bersiap menuju Staatsoper Unter den Linden im Schiller Theater tempat pementasan The International Dance Summit Berlin, acara tahunan yang rutin digelar dua tahun sekali untuk mencari bakat-bakat terbaik dari seluruh penjuru dunia. Damon juga mengikutinya sampai tempat pementasan, menemaninya saat berada di backstage dan memberinya semangat saat dia sudah tampil didepan jutaan pasang mata. Saatsoper Unter den Linden im Schiller Theater adalah gedung opera tertua dan termegah di Berlin, interior berwarna emas dan putih serta puluhan ribu kursi berwarna merah menyala menyapa setiap orang yang masuk di dalamnya. Kesan megah dan mewah akan datang begitu saja hanya dengan melihat interior dan alat-alat yang ada di dalam gedung opera ini.
            “You look so…professional,” Damon berjalan mendekati Adele dengan senyum bahagia yang terkembang diwajahnya serta tepuk tangan yang tidak berhenti sejak Adele mulai menari.
            Adele hanya tersenyum, dia bahagia hari ini. Untuk pertama kali dalam hidupnya menari membuatnya bahagia. Dia tidak peduli apakah orang lain akan berkata hal yang sama atau tidak, dengan Damon memujinya-pun dia sudah sangat bahagia. Setelah berpamitan dengan Esther, Adele pergi bersama Damon menikmati malam kota Berlin. Mereka berjalan-jalan disekitar sungai Auer di kota Leipzig, berjalan diatas jembatan tua terbuat dari batu bata dengan lampu-lampu neon kuning di sisi kanan dan kiri jembatan juga pemandangan rumah-rumah tua yang juga terbuat dari batu bata.
            “Leipzig itu sebenarnya dulunya salah satu kota di Jerman Timur, tapi setelah penyatuan Jerman. Leipzig menjadi salah satu bagian dari Jerman, kota tua ini dulunya selamat dari kehancuran pasca perang dunia II,” Damon menjelaskan seluk beluk kota yang sama sekali belum pernah diinjak oleh Adele. Adele sendiri hanya sibuk dengan kameranya mengabadikan seluruh keindahan kota yang nampak sangat tua.
            “Sudah berapa kali kamu berkunjung kesini?” Adele bertanya pada Damon tanpa menatapnya. Masih asyik dengan kamera ditangannya.
            “Baru dua kali, dan aku menyukai Leipzig. Maka dari itu aku mengajakmu kemari,” Damon menjawab. “Jaraknya cukup jauh dari rumahku, maklum dulunya rumahku ada di daerah Jerman Barat.”
            “Oh, orang sibuk rupanya,” kemudian tawa mereka berderai.
            “Bagaimana kalau sabtu besok kita ke Großer Tiergarten? Selama kau ada di Jerman akan ku tunjukkan tempat bagus disini,” katanya tulus mengajak Adele.
            “Boleh. Tapi Großer Tiergarten? Apa itu?”
            “Taman kota, jaraknya tidak jauh. Masih disekitar Berlin, biasanya kalau musim gugur seperti ini Großer Tiergarten akan terlihat sangat menawan.”
***

            Hari ini, hari kedelapan Adele berada di Berlin. Selama itu, Damon selalu mengajak Adele berkeliling kota, bahkan kadang keluar kota. Kadang Damon mengajak Adele pergi pada malam hari, kadang juga pada siang atau sore hari. Sore ini, mereka berjalan-jalan di sekitar Groβer Tiergarten. Angin musim gugur menyambut wajah Adele membuatnya sedikit bergidik, rambutnya yang dia biarkan tergerai bergerak-gerak tertiup angin.
            “Benar katamu, taman ini indah. Aku tidak pernah melihat yang seperti ini di Jakarta, Jakarta selalu penuh polusi, bising, macet, dan banjir. Meskipun sekarang pohon tidak sedang menghijau tapi aku tahu, pasti Groβer Tiergarten adalah taman yang sangat rindang,” Adele memuji apa yang ada di depannya. Groβer Tiergarten memang indah dengan pesonanya sendiri.
            “Ya—karena di Jakarta tidak mungkin ada pohon maple yang daunnya berubah warna menjadi kecoklatan dan akhirnya gugur,” Damon menatap daun-daun didepannya. “Ich mag dich, liebe dich auch1,“ katanya memberanikan diri. Tapi tetap saja matanya tak mampu menatap mata hijau yang selalu jernih milik Adele.
            Adele hanya mengerjap tak percaya,“Maukah kau menjadi pacarku?“ kata Damon kemudian. Adele lagi-lagi seperti tuli, tak menjawab apa yang dikatakan Damon. Setelah Adele sadar bahwa Damon serius dia mengangguk, tulus.
***
            Hari ini, Adele akan bertolak ke Indonesia. Setelah pementasan yang sukses itu. Setelah satu bulan ini, dia kembali menjajakkan kaki di Bandara Schönefeld, Esther berjalan disampingnya membawa dua buah koper besar berwarna hitam dan merah. Damon juga berada di sisinya yang lain. Adele memasuki terminal keberangkatan, kemudian memeluk Damon sekali dan berkata padanya bahwa dia akan kembali. Tak lama setelah itu pesawat yang membawa Adele take off. Duapuluh satu jam setelah itu, dia sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Pukul 14.00 waktu Indonesia bagian barat. Adele bisa melihat Papa dan Mamanya ditempat penjemput. Mereka kemudian berpeluk cium dan memutuskan untuk kembali ke rumah.
            Pintu rumah tidak dikunci, Adele mengangkat alis. Tidak biasanya, meskipun ada rewang-nya pintu rumah tetap selalu dikunci. Mata Adele nyaris meloncat dari tempatnya berada saat Keith Damon Abiel Atmadja duduk manis dipojok sofa rumahnya.
            “Jangan melotot, nanti matanya keluar,” Damon berbicara sambil tersenyum dan menghampiri Adele yang masih membeku ditempatnya berdiri sementara Papa dan Mamanya juga ikut tersenyum melihat Damon—bukan justru kaget melihat orang asing di rumahnya. “Om, Tante,” Damon mencium tangan Papa dan Mama Adele seperti sudah mengenal mereka bertahun-tahun.
            “Duduk dulu, Mon. Kok enggak kesini bareng Papa Mamamu?” tanya Mama Adele sambil berjalan menuju dapur.
            “Papa sama Mama masih ada kerjaan, Tante. Mama sama Papa titip salam buat Om sama Tante,” katanya lancar.
            “Waaaah, padahal Tantemu itu sudah mengimpikan akan bertemu dengan Mamamu lagi—“ Papanya baru akan buka mulut lagi sampai Adele menyela.
            “Apa-apaan ini? Aku kok enggak tahu apa-apa sih,” gerutunya sebal.
            “Makanya, duduk sini dulu. Emangnya enggak capai apa berdiri disitu terus,” Papanya menyuruh Adele tanpa menatap Adele.
            Setelah Adele duduk Damon memulainya, menjelaskan semua kejanggalan yang baru diketahui Adele.
            “Sebenarnya, aku itu anaknya temen Mama kamu. Kamu ingat anak cowok kecil di Bandara yang pernah kamu ajak senyum limabelas tahun yang lalu?” baru saja Adele ingin menjawab. “Itu sebenarnya aku, Mamamu dan Papamu menghubungi Papaku saat kamu bilang kamu akan pergi ke Berlin. Dan aku punya tugas untuk menjagamu selama disana. Aku tidak pernah bilang karena tahu kamu akan pergi dan menghindar dariku. Sejak pertemuan keduaku denganmu di pesawat aku langsung menyukaimu. Makanya aku lebih memilih tidak memberi tahumu karena aku tidak mau kamu pergi
            “Siapapun aku—maksudku kamu mengenalku sebagai Damon pemuda blasteran yang menguntitmu kemanapun kamu pergi ataupun setelah kamu mengenalku sebagai Damon putra dari teman lama Mamamu, perasaanku terhadapamu masih sama. Aku mencintaimu, jadi please jangan marah atau pergi setelah penjelasan ini.”
            Adele bergeming, mata dan hatinya seperti terkena hipnotis karena suara Damon.
            “Aku tidak pernah marah dan tidak akan pernah pergi darimu, karena aku juga membutuhkanmu,” Adele menunduk, malu setengah mati mengatakan kejujuran itu. Damon kemudian mengacak rambut coklat Adele.
                                                                           ***
      365 hari dalam setahun, mereka bertemu lagi di Berlin. Lebih tepatnya kembali lagi ke Berlin. Tempat dimana mereka saling mengenal, tempat dimana mereka saling jatuh cinta. Sekarang keadaan masih sama, tidak ada yang berubah dari Berlin setelah kepulangan Adele setahun yang lalu. Dibawah senja kota Berlin, mereka duduk di Großer Tiergarten park. Menatapi sang senja yang cahayanya kemerahan. Berlin sedang mengalami musim gugur. Dan itu berarti siang akan lebih panjang daripada malam. Daun maple berwarna coklat dan merah berada disetiap sudut kota dan jalan.

"Senja itu selalu indah," Adele angkat bicara setelah keduanya lama terdiam mengagumi senja dan daun maple yang gugur terbang terbawa angin. Angin musim gugur memang tidak sedingin saat musim dingin, tapi angin itu cukup untuk membuat Adele harus terus menggosok kedua telapak tangannya.
"Musim gugur juga selalu menawan," Damon menimpali.
"Memang, aku juga menyukainya. Aku selalu datang kesini saat musim gugur tiba, dan aku menikmatinya terutama anginnya," Adele tertawa. Damon terasa teraliri aliran tawa Adele yang selalu membuatnya merindukan Adele.
Tiba-tiba Damon sudah memegang kotak warna silver berbentuk hati,"Möchten Sie mich heiraten?2" tanya Damon dengan bahasa jerman, kental dengan logatnya.  Adele hanya mendelik tidak percaya, matanya berbinar menahan tangis dan menatap kotak dihadapannya. Cincin emas putih yang simple tapi sangat menawan.
            Adele mengangguk kecil lalu tersenyum, “Tentu saja.”
            Damon merengkuh bahu Adele lalu mengecup keningnya penuh kasih, “Aku mencintaimu,” bisiknya ditelinga Adele. “Aku tahu, tidak perlu diulang-ulang,” kata Adele yang lalu tersenyum geli.
            Wajah mereka hanya berjarak lima senti. Detak jantung Adele memburu, yang dia inginkan hanya satu semoga jantungnya tidak meloncat dari tempatnya berada. Adele bisa merasakan hangat diwajahnya meskipun angin tidak berhenti bertiup, pipinya memerah.
            KRINGGGGGGGGGGGGGGG
Handphone Adele dan Damon berbunyi bersamaan. Damon mendengus kesal, merutuki siapapun yang menghancurkan menit-menit impiannya, menghancurkan kekhusyukan yang tiga menit terakhir ia bangun. Adele hanya tersenyum geli melihat raut wajah Damon yang kecewa.
            “It’s not the time,” terdengar suara ceria diikuti tawa yang berderai renyah dibelakangnya. “Mamaaaaaaaa,” suara Damon merajuk. Bersamaan dengan itu Adele juga ikut merajuk pada Papanya.
            Ini dia keajaiban yang Adele maksud, tidak harus keajaiban besar. Bisa bahagia bersama Damon pun itu sudah lebih dari cukup. Keajaiban itu selalu ada, walaupun kadang Adele tidak menyadarinya. Mulai dari kariernya—yang awalnya sangat ia benci, kemudian ternyata kepergiannya ke Berlin yang justru juga membawa keajaiban yang selalu dia tunggu. Kebebasan dan cinta. Mulai saat ini dan seterusnya Adele akan selalu menyukai musim gugur. Dan Berlin.
1=aku menyukaimu, juga mencintaimu
2=maukah kau menikah denganku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar