There are two ways to live:
you can live as if nothing is a miracle or you can live as if everything is a
miracle.
Hari
ini langit cerah–sangat biru, hanya ada satu awan putih yang bergerak bagaikan
domba diatas rerumputan berwarna biru. Sesekali Adele Hanidika Tyasputri
melirik jam tangan berwarna cokelat muda—senada dengan kulitnya kuning langsat
mulus.
Pukul
17.10 menit, belum ada tanda-tanda senja akan segera turun, matahari masih
bersinar dengan terang—meskipun tidak terik. Sinarnya menelusup melewati
daun-daun yang berwarna keemasan karena tertimpa cahaya kekuningan memasuki
ruangan penuh kaca tempat Adele duduk. Matanya kosong menatap cermin besar di
depannya. Menari bukan hobinya, dia masuk sanggar tari juga karena paksaan.
Bukan ide yang bagus menurutnya, tapi Mama-nya bersikeras.
Latihan
sudah usai sejak setengah jam yang lalu, tapi dia memilih untuk tinggal
berlama-lama di studio tempatnya latihan menari. Bukan karena dia betah berada
disini, tapi jelas karena dia lebih tidak betah tinggal di rumah. Di telinganya
terpasang headphone berwarna merah maroon, iPod-nya berada di saku, aliran
musiknya tidak terlalu keras One Last
Breath milik Creed tapi volumenya
sengaja dipasang keras-keras, sehingga siapapun yang masuk kedalam studio dia
tidak akan tahu. Atau lebih tepatnya tidak akan peduli.
“Setidaknya
aku bisa sendirian disini, merasa lebih damai daripada harus mendengar
cerita-cerita Mama tentang impiannya yang kandas begitu saja,” pikir Adele.
Sekarang matanya menatap tajam wajah yang ada di cermin besar berbingkai hitam
di depannya.
“Aku
mencintai duniaku sekarang, tapi tidak dunia tariku. Mamaku dia tentu saja
berbeda denganku, dan kenapa aku harus mengikuti ambisinya? Bukankah kalau dia
sudah terjatuh dari langit yang selama ini ingin dipijaknya itu salahnya
sendiri karena sayapnya kurang kuat?” matanya menatap nanar siluet yang ada di
dekatnya. Siluet dari dirinya sendiri, matahari sudah condong ke barat
cahayanya masih bisa masuk ke dalam studio menyelusup melewati rambut hitam
kecoklatan yang tergerai indah hampir sampai ke pinggang.
Matanya
hijau, dia dapat dari Mamanya yang blasteran Finlandia, Jawa, Belanda, dan
Norwegia. Matanya hampir sama dengan Kristin Kreuk. Aktris kelahiran Vancouver
itu sama beruntungnya dengan Adele, matanya indah—sangat indah, hanya sekitar
1-2% penduduk dunia yang memiliki warna mata seperti mereka.
Adele
adalah perempuan yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan, kecantikannya
benar-benar tidak bisa dipungkiri—meskipun hanya sebagian orang yang berani
berbicara terang-terangan dengannya. Hampir kesempurnaan yang ia miliki, mata
hijau menawan yang indah dan jernih, hidung yang hampir sempurna perpaduan
antara Kalimantan dan Eropa—well,
tidak terlalu mancung juga lubangnya tidak terlalu besar, tubuhnya ramping agak
atletis karena latihan menarinya, tangannya mulus karena sering ke salon belum
lagi kukunya yang rutin dikarantina di salon, kakinya cukup jenjang—meskipun
tidak terlalu indah. Kesempurnaan yang terlalu indah menjadi kenyataan, seperti
putri-putri dari Negara antah berantah milik para pangeran berkuda putih dan putri-putri
dengan beribu dayang yang siap melayani setiap tindak tanduknya.
Satu
hal yang sama sekali tidak bisa ia pungkiri, bahwa Mamanya juga bak putri raja
lebih darinya ratu dari sebuah negeri nan jauh di sana. Ratu yang titahnya
harus selalu dituruti, ratu yang tidak pernah sekalipun mengalami hal
menyakitkan, ratu yang selalu dilindungi. Hingga suatu saat, ketika untuk
pertama kalinya ia harus sakit—menghancurkan, mengecewakan, segala hal yang ia
upayakan, segala hal yang ia perjuangkan menjadi abu menguap terbawa angin.
Jatuh dari langit ketujuh dan bruuuuk! Hancur berantakan berkeping-keping.
Semuanya
diturunkan kepada dirinya, tentang titahnya dan segala tindak tanduk bagai
putri raja, kecantikan dan setitik jalan menuju kesempurnaan, kemenawanan yang
tak bisa ditolak, juga tentang hal yang mengecewakannya. Hal yang tak pernah
bisa diwujudkan Mama-nya, hal paling buruk yang diturunkan Mama-nya yang
menyiksanya selama 18 tahun hidupnya. Adele berusia awal 21 tahun, sejak umur
tiga tahun dia sudah dijejali berbagai macam les, les menari tentunya—cita-cita
Mama-nya kandas seperti salju yang belum sempat mencapai tanah—mencair.
Sekarang
senja sudah benar-benar datang menyambut, matahari sudah tergelincir sejak
seperempat jam yang lalu. Semburat merah, jingga, dan semburat keunguan.
Dendang adzan berkumandang bersautan seperti burung kenari menyambut pagi hari,
jalanan mulai macet bunyi bip klakson
mobil juga tak kalah bersautan. Aktivitas sehari-hari yang terlihat di jalanan bip klakson yang tidak sabar,
pengamen-pengamen di warung makan kaki lima pinggiran yang penuh sesak
pengunjung.
Adele
sudah memutuskan untuk beranjak, pulang, bertemu Mama-nya dan rewang-nya tentu saja tidak dengan
Papa-nya. Belum selesai meeting—kebiasaan yang sangat biasa bagi para pengusaha
kelas kakap.
“Adele?”
sambut Mama dari balik pintu kaca yang sangat besar. Adele tidak menyahut,
hanya menoleh. Melirik lebih tepatnya.
“Dari mana aja kamu?” tanya Mama, nadanya meninggi.
Nadanya memerintah, bertitah untuk dijawab, paksaan wajib yang tidak pernah
bisa ditolak Adele.
“Studio ballet, aku capai, Ma. Mau mandi,” matanya sama
sekali tak menatap mata mamanya.
“Mama tunggu di meja makan, lima belas menit lagi!”
Tak ada sautan, yang ada hanya suara langkah kaki yang
menjauh. Menuju bagian timur rumah yang sebagian besar interiornya berwarna
broken white, coklat kayu, dan soft krem. Sekarang, tidak ada suara lain selain
suara TV yang dinyalakan tanpa ditonton. Jelas saja pemborosan listrik,
mengingat negeri sedang carut marut dengan persediaan energy. Lima belas menit yang berlalu terasa begitu cepat bagi
Adele, disini dia nyaman, di bawah guyuran air hangat dari shower berwarna metalik. Semua bebannya sedikit berkurang. Itu dua
menit yang lalu.
Sekarang keduanya berada di meja makan berhadapan,
bagaikan dua malaikat dari surga yang sengaja turun hanya untuk mengambil
selendang yang tertinggal. Selama delapan belas tahun hidupnya Adele sudah
berbakti kepada Mamanya. Jadi sekarang inilah saatnya dia mengikuti kata
hatinya. Hanya kata hatinya. Meskipun delapan belas tahun itu tak cukup untuk
berbakti, tapi dia hanya ingin mencoba satu hal kecil dalam hidupnya. Merasa
bebas—hanya satu bulan.
“Aku besok mau berangkat ke Berlin,” Adele memulai
percakapan dengan nada sangat tenang. Walaupun dalam hati dia sangat khawatir.
“BERLIN?” mata Mamanya mengerjap beberapa kali. Seperti
tak percaya anak perempuannya akan pergi begitu jauh. “Jerman?” Adele hanya
mengangguk.
“Pementasan. Ini kan cita-cita Mama? Go internasional?
Kenapa Mama kaget?” tanya Adele suaranya masih setenang satu menit yang lalu.
“Tapi Mama tahu kamu nggak pernah suka nglakuin itu,”
Mamanya masih shock suaranya bergetar.
“Aku cuman pengen berbakti, apa itu nggak cukup buat
Mama?” ditekankannya setiap kata yang dia ucapkan. Berhati-hati dan menjaga
emosi agar air matanya tidak jatuh.
“Bohong! Kamu nggak pernah suka, Del. Mama tahu, apa
susahnya jujur?”
“Aku menginginkan pementasan itu, Ma. Yang perlu Mama
tahu hanya itu,” matanya sudah panas, Adele yakin air matanya akan turun
sepersekian menit lagi.
Mamanya hanya tertunduk, matanya kosong. Ekspresinya
berpikir tapi sebenarnya entah dimana sekarang otaknya mengembara. Yang dia
tahu, kalau dia membiarkan Adele pergi kemungkinannya hanya satu—Adele tidak
akan kembali lagi.
“Mama perlu ngomong sama Papa dulu nanti malem,” jawab
Mamanya. Kemudian Mamanya menyantap makanan di depannya.
“Adele packing dulu,” kata Adele seraya meninggalkan
Mamanya sendirian di meja makan berkursi enam itu.
Langkahnya menjauh, sampai di depan kamarnya Adele
membuka pintu suaranya berderit. “Ah aku akan merindukan ini,” katanya dalam
hati. Adele membuka lemari pakainnya kemudian mengambil beberapa baju, tidak
banyak hanya tujuh pasang. Toh hanya sebulan, yang paling penting adalah
bajunya yang satu ini, BAJU BALLET. Ini dia alasan Adele bisa pergi, dia yakin
Papanya tidak akan menentangnya untuk pergi Papanya sangat menyayanginya.
Mamanya juga, walaupun caranya salah.
Tidak perlu tidak bisa tidur, malah bisa dibilang
tidurnya malam ini nyenyak. Karena besok adalah hari besarnya. Dia bisa
memimpikan kota Berlin dengan segala hiruk pikuknya yang bisa melepaskan
sedikit bebannya.
***
“Adele, bangun!” teriak Papanya tepat di telinga Adele.
Adele tetap bergeming. Ditariknya selimut Adele. Tetap tidak ada tanggapan.
“Oh, okay. Kalo kamu nggak bagun, lihat aja nggak bakal Papa ijinin kamu ke
Berlin,” Papanya angkat bicara lagi. Adele terkesiap, langsung bangun tanpa
banyak bicara. Matanya masih merah, menguap beberapa kali. Papanya tersenyum
penuh kemenangan. Tirai di kamarnya dibuka sinar matahari dari timur menyusup melewati
jendela.
“Udah mandi sana. Pesawat take off jam 16.00. Itu
berarti masih ada..” Papanya melirik arloji ditangannya. “Tujuh jam untuk
berpamitan dan menyiapkan berkas-berkas pementasanmu. Atau kamu akan ketinggalan
pesawat dan seluruh pementasanmu gagal,” Papanya melirik Adele yang masih
mempertahankan posisi tengkurapnya karena matanya silau.
“Iya, Papaku sayang. Masih tujuh jam kan berarti itu
masih..” Adele menghitung dengan jarinya. “420 menit, dan 25200 detik. Lagipula
berkasku tinggal diambil, baju udah dipacking. Kurang apalagi coba?” tanya
Adele.
“Paspor,” jawab Papanya singkat sambil mengangkat paspor
yang ada ditangannya.
“Aaaaah, Papa. Ayolah, aku tahu Papa nggak bakal ngasih paspor itu kalo Adele belum mandi,” Adele merajuk. Mukanya memelas, tangannya mengucek mata. Kemudian menguap lagi.
“Aaaaah, Papa. Ayolah, aku tahu Papa nggak bakal ngasih paspor itu kalo Adele belum mandi,” Adele merajuk. Mukanya memelas, tangannya mengucek mata. Kemudian menguap lagi.
“Ayoooooo, mandi! Anak cewek udah gedhe males mandi. Ntar
cowok pada kabur. Bau kamu udah menyebar Dele. Ayooo,” Papanya menarik tangan
Adele paksa.
Adele baru menyadari kalau hari ini Minggu, pantas saja
Papanya di rumah. Tidak biasanya Papanya berada di rumah walaupun masih pagi. Atau…
lebih tepatnya ini bukan pagi. Adele melangkah ke kamar mandi, tangannya masih
saja dipegang Papanya.
“Papa tunggu di bawah, setengah jam lagi. Kita sarapan bersama,”
Papanya melepaskan tangan seraya pergi.
Adele mandi– berendam lebih tepatnya. Air hangat selalu
bisa menghilangkan segala apa yang ada dipikirannya. Yang ada dibenaknya hanya
satu hal, keberangkatannya ke Berlin. Perjalanannya yang akan penuh dengan
kebosanan. Sebenarnya andai dia punya pilihan untuk tidak pergi tapi tetap
memiliki kebebasan itu. Dia akan lebih memilih untuk tinggal. Dia merasa aman
di rumah, meskipun tidak nyaman. Karena satu-satunya hal yang membuatnya tidak
nyaman adalah keputusan Mamanya. Dan selalu itu.
***
“Gate 3,”
Esther, pelatih balletnya memberitahu. Adele menunjukkan paspor dan tiketnya
kepada petugas, kemudian melewati arena pemeriksaan.
“Silahkan menuju kursi 20A,” kata seorang petugas dengan
seulas senyum mengembang diwajahnya.
Papanya dan Mama yang mengantarnya sudah pulang sejak
Adele memasuki pintu keberangkatan. Perjalananya akan ditempuh selama kurang
lebih 21 jam. Dan itu berarti 21 jam dalam diam, atau 21 jam yang dia harap
penuh keajaiban. Kursi 20A ada didepannya sekarang. Dia harap dia akan bisa
duduk bersebelahan dengan Esther atau temannya yang lain. Tapi tidak ada
tanda-tanda mereka akan duduk disebelahnya. Justru sekarang ada sesosok
laki-laki yang berjalan menuju kearahnya. Laki-laki kurus yang cukup jangkung.
Dengan melihat sosoknya Adele yakin, dia blasteran. Matanya biru, hidungnya-pun
mancung, kulitnya tidak seperti orang-orang barat pada umumnya. Kuning langsat,
penuh bulu-bulu berwarna cokelat, rambutnya juga kecoklatan. Mungkin dia sudah
terlalu lama di Indonesia—berlibur atau sebagainya. Atau malah dia memang
blasteran. Laki-laki itu justru menatap Adele—sadar sedari tadi ada yang
mengamatinya dari atas sampai bawah. Adele hanya tertunduk salah tingkah. Laki-laki
itu tahu-tahu sudah duduk disampingnya. Adele mendelik tak percaya.
Sumpah bakal mati kutu duduk
disebelah orang ini. Mati malu juga.
Sekarang lelaki itu menatap Adele lekat-lekat. Melihatnya
dari atas sampai bawah. Menilai. Kemudian mengulurkan tangan.
“Damon. Keith Damon Abiel Atmadja,” senyum mengembang
diwajahnya menunjukkan lesung pipit yang tidak terlalu dalam tapi jelas adanya.
“Adele Hanidika Tyasputri,” Adele menyambut uluran tangan
lelaki bernama Damon yang telah membuat dadanya berdesir.
Ah wanita macam apa
aku ini, baru saja bertemu. Kenapa rasanya tidak keruan seperti ini.
Keduanya bercerita tentang diri mereka masing-masing
tanpa diminta. Semuanya mengalir begitu saja. Mudah saja bercerita dengan
Damon, semuanya terasa lebih menyenangkan. Untunglah perjalanan yang akan
menghabiskan 21 jam dalam hidupnya ini akan terasa sangat menyenangkan.
Untunglah ada Damon sekarang. Untunglah 21 jam ini adalah 21 jam penuh
keajaiban.
“Aku lihat kamu tidak seperti orang Indonesia pada
umumnya, matamu. Kulitmu, hidungmu,” Damon berpendapat, matanya masih jelalatan
melihati segala yang ada didiri Adele.
“Jangan melihatku seperti itu, nanti kamu suka mataku,”
Adele tertawa. “Well—Mamaku blasteran
juga, seperti kamu kan?” Adele mengerling jail pada Damon.
Damon sekarang juga ikut tertawa, “Oh, ternyata dari tadi
ada orang yang memeperhatikanku juga. Ada yang penasaran juga sepertinya,”
matanya menatap kedepan lurus-lurus, tangannya bersedekap, dan bibirnya
menyunggingkan senyum.
Adele menjambak rambut kecoklatan milik Damon. Damon
mengerang, kemudian mengembuskan nafas berat. Tangannya menarik tangan ramping
milik Adele, kemudian mata mereka bertemu mata hijau yang selalu terlihat
jernih dengan mata biru yang menatapnya tajam. Tidak lama setelah itu mereka
berdua tertawa terbahak-bahak.
“Dramatis,” komentar Adele setelah keduanya berhenti
tertawa.
“Sinetronis,” Damon ikut berkomentar. Tidak lama setelah
itu Adele sudah terlelap dalam tidurnya.
***
21 jam berlalu. Sekarang pesawat sudah landing di Bandara Schönefeld, Berlin. Adele memindahkan kopernya dari bagasi
untuk melanjutkan perjalanannya ke Hotel
Radisson yang terletak di Blu Karl-Liebknecht-Straße
3, Berlin. Damon berjalan dibelakangnya
setelah tadi mereka menaiki Omni Bus.
Adele lalu berbalik dan menatap Damon, alisnya
terangkat, “Kok kamu nggak pulang? Kenapa ikut kesini?”
Damon mengerjap
beberapa kali lalu menjawab dengan enteng, “Menginap sehari dua hari disini
tidak masalah, menjadi guide tour mu. Bukankah kau memerlukannya?” Damon
tersenyum tulus. Adele hanya mengangguk kecil, bibirnya membentuk huruf O.
Sebenarnya
Adele memang menginginkan ini, menginginkan Damon ada disampingnya. Karena saat
bersama Damon semuanya terasa lebih mudah. Damon memesan kamar yang
berseberangan dengan kamar Adele. Sedangkan Adele yang sudah berada di kamarnya
tidak habis pikir dengan apa yang Damon lakukan.
Keesokan
harinya Adele telah bersiap menuju Staatsoper
Unter den Linden im Schiller Theater tempat pementasan The International Dance Summit Berlin, acara tahunan yang rutin
digelar dua tahun sekali untuk mencari bakat-bakat terbaik dari seluruh penjuru
dunia. Damon juga mengikutinya sampai tempat pementasan, menemaninya saat
berada di backstage dan memberinya
semangat saat dia sudah tampil didepan jutaan pasang mata. Saatsoper Unter den Linden im Schiller Theater adalah gedung opera
tertua dan termegah di Berlin, interior berwarna emas dan putih serta puluhan
ribu kursi berwarna merah menyala menyapa setiap orang yang masuk di dalamnya. Kesan
megah dan mewah akan datang begitu saja hanya dengan melihat interior dan
alat-alat yang ada di dalam gedung opera ini.
“You look so…professional,” Damon
berjalan mendekati Adele dengan senyum bahagia yang terkembang diwajahnya serta
tepuk tangan yang tidak berhenti sejak Adele mulai menari.
Adele
hanya tersenyum, dia bahagia hari ini. Untuk pertama kali dalam hidupnya menari
membuatnya bahagia. Dia tidak peduli apakah orang lain akan berkata hal yang
sama atau tidak, dengan Damon memujinya-pun dia sudah sangat bahagia. Setelah
berpamitan dengan Esther, Adele pergi bersama Damon menikmati malam kota
Berlin. Mereka berjalan-jalan disekitar sungai Auer di kota Leipzig, berjalan
diatas jembatan tua terbuat dari batu bata dengan lampu-lampu neon kuning di
sisi kanan dan kiri jembatan juga pemandangan rumah-rumah tua yang juga terbuat
dari batu bata.
“Leipzig
itu sebenarnya dulunya salah satu kota di Jerman Timur, tapi setelah penyatuan
Jerman. Leipzig menjadi salah satu bagian dari Jerman, kota tua ini dulunya
selamat dari kehancuran pasca perang dunia II,” Damon menjelaskan seluk beluk
kota yang sama sekali belum pernah diinjak oleh Adele. Adele sendiri hanya
sibuk dengan kameranya mengabadikan seluruh keindahan kota yang nampak sangat
tua.
“Sudah
berapa kali kamu berkunjung kesini?” Adele bertanya pada Damon tanpa
menatapnya. Masih asyik dengan kamera ditangannya.
“Baru
dua kali, dan aku menyukai Leipzig. Maka dari itu aku mengajakmu kemari,” Damon
menjawab. “Jaraknya cukup jauh dari rumahku, maklum dulunya rumahku ada di
daerah Jerman Barat.”
“Oh,
orang sibuk rupanya,” kemudian tawa mereka berderai.
“Bagaimana
kalau sabtu besok kita ke Großer Tiergarten? Selama kau ada di Jerman akan ku
tunjukkan tempat bagus disini,” katanya tulus mengajak Adele.
“Boleh.
Tapi Großer Tiergarten? Apa itu?”
“Taman
kota, jaraknya tidak jauh. Masih disekitar Berlin, biasanya kalau musim gugur
seperti ini Großer Tiergarten akan terlihat sangat menawan.”
***
Hari ini, hari kedelapan Adele
berada di Berlin. Selama itu, Damon selalu mengajak Adele berkeliling kota,
bahkan kadang keluar kota. Kadang Damon mengajak Adele pergi pada malam hari,
kadang juga pada siang atau sore hari. Sore ini, mereka berjalan-jalan di
sekitar Groβer Tiergarten. Angin musim gugur menyambut wajah Adele membuatnya
sedikit bergidik, rambutnya yang dia biarkan tergerai bergerak-gerak tertiup
angin.
“Benar katamu, taman ini indah. Aku
tidak pernah melihat yang seperti ini di Jakarta, Jakarta selalu penuh polusi,
bising, macet, dan banjir. Meskipun sekarang pohon tidak sedang menghijau tapi
aku tahu, pasti Groβer Tiergarten adalah taman yang sangat rindang,” Adele memuji
apa yang ada di depannya. Groβer Tiergarten memang indah dengan pesonanya
sendiri.
“Ya—karena di Jakarta
tidak mungkin ada pohon maple yang daunnya berubah warna menjadi kecoklatan dan
akhirnya gugur,” Damon menatap daun-daun didepannya. “Ich mag dich, liebe dich auch1,“ katanya memberanikan diri.
Tapi tetap saja matanya tak mampu menatap mata hijau yang selalu jernih milik
Adele.
Adele
hanya mengerjap tak percaya,“Maukah kau menjadi pacarku?“ kata Damon kemudian.
Adele lagi-lagi seperti tuli, tak menjawab apa yang dikatakan Damon. Setelah
Adele sadar bahwa Damon serius dia mengangguk, tulus.
***
Hari ini, Adele akan bertolak ke
Indonesia. Setelah pementasan yang sukses itu. Setelah satu bulan ini, dia
kembali menjajakkan kaki di Bandara Schönefeld, Esther berjalan disampingnya membawa dua
buah koper besar berwarna hitam dan merah. Damon juga berada di sisinya yang
lain. Adele memasuki terminal keberangkatan, kemudian memeluk Damon sekali dan
berkata padanya bahwa dia akan kembali. Tak lama setelah itu pesawat yang
membawa Adele take off. Duapuluh satu
jam setelah itu, dia sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Pukul 14.00 waktu
Indonesia bagian barat. Adele bisa melihat Papa dan Mamanya ditempat penjemput.
Mereka kemudian berpeluk cium dan memutuskan untuk kembali ke rumah.
Pintu rumah tidak dikunci, Adele mengangkat alis. Tidak
biasanya, meskipun ada rewang-nya
pintu rumah tetap selalu dikunci. Mata Adele nyaris meloncat dari tempatnya
berada saat Keith Damon Abiel Atmadja duduk manis dipojok sofa rumahnya.
“Jangan melotot, nanti matanya keluar,” Damon berbicara
sambil tersenyum dan menghampiri Adele yang masih membeku ditempatnya berdiri
sementara Papa dan Mamanya juga ikut tersenyum melihat Damon—bukan justru kaget
melihat orang asing di rumahnya. “Om, Tante,” Damon mencium tangan Papa dan
Mama Adele seperti sudah mengenal mereka bertahun-tahun.
“Duduk dulu, Mon. Kok enggak kesini bareng Papa Mamamu?”
tanya Mama Adele sambil berjalan menuju dapur.
“Papa sama Mama masih ada kerjaan, Tante. Mama sama Papa
titip salam buat Om sama Tante,” katanya lancar.
“Waaaah, padahal Tantemu itu sudah mengimpikan akan
bertemu dengan Mamamu lagi—“ Papanya baru akan buka mulut lagi sampai Adele
menyela.
“Apa-apaan ini? Aku kok enggak tahu apa-apa sih,”
gerutunya sebal.
“Makanya, duduk sini dulu. Emangnya enggak capai apa
berdiri disitu terus,” Papanya menyuruh Adele tanpa menatap Adele.
Setelah Adele duduk Damon memulainya, menjelaskan semua
kejanggalan yang baru diketahui Adele.
“Sebenarnya, aku itu anaknya temen Mama kamu. Kamu ingat
anak cowok kecil di Bandara yang pernah kamu ajak senyum limabelas tahun yang
lalu?” baru saja Adele ingin menjawab. “Itu sebenarnya aku, Mamamu dan Papamu
menghubungi Papaku saat kamu bilang kamu akan pergi ke Berlin. Dan aku punya
tugas untuk menjagamu selama disana. Aku tidak pernah bilang karena tahu kamu
akan pergi dan menghindar dariku. Sejak pertemuan keduaku denganmu di pesawat
aku langsung menyukaimu. Makanya aku lebih memilih tidak memberi tahumu karena
aku tidak mau kamu pergi
“Siapapun aku—maksudku kamu mengenalku sebagai Damon
pemuda blasteran yang menguntitmu kemanapun kamu pergi ataupun setelah kamu
mengenalku sebagai Damon putra dari teman lama Mamamu, perasaanku terhadapamu
masih sama. Aku mencintaimu, jadi please
jangan marah atau pergi setelah penjelasan ini.”
Adele bergeming, mata dan hatinya seperti terkena
hipnotis karena suara Damon.
“Aku tidak pernah marah dan tidak akan pernah pergi
darimu, karena aku juga membutuhkanmu,” Adele menunduk, malu setengah mati
mengatakan kejujuran itu. Damon kemudian mengacak rambut coklat Adele.
***
365 hari dalam setahun, mereka bertemu lagi di Berlin. Lebih
tepatnya kembali lagi ke Berlin. Tempat dimana mereka saling mengenal, tempat
dimana mereka saling jatuh cinta. Sekarang keadaan masih sama, tidak ada yang
berubah dari Berlin setelah kepulangan Adele setahun yang lalu. Dibawah senja
kota Berlin, mereka duduk di Großer Tiergarten park. Menatapi sang senja yang
cahayanya kemerahan. Berlin sedang mengalami musim gugur. Dan itu berarti siang
akan lebih panjang daripada malam. Daun maple berwarna coklat dan merah berada
disetiap sudut kota dan jalan.
"Senja itu selalu indah," Adele angkat
bicara setelah keduanya lama terdiam mengagumi senja dan daun maple yang gugur
terbang terbawa angin. Angin musim gugur memang tidak sedingin saat musim
dingin, tapi angin itu cukup untuk membuat Adele harus terus menggosok kedua
telapak tangannya.
"Musim gugur juga selalu menawan," Damon
menimpali.
"Memang, aku juga menyukainya. Aku selalu
datang kesini saat musim gugur tiba, dan aku menikmatinya terutama
anginnya," Adele tertawa. Damon terasa teraliri aliran tawa Adele yang
selalu membuatnya merindukan Adele.
Tiba-tiba Damon sudah memegang kotak warna silver
berbentuk hati,"Möchten Sie mich heiraten?2" tanya Damon
dengan bahasa jerman, kental dengan logatnya.
Adele hanya mendelik tidak percaya, matanya berbinar menahan tangis dan
menatap kotak dihadapannya. Cincin emas putih yang simple tapi sangat menawan.
Adele mengangguk kecil lalu
tersenyum, “Tentu saja.”
Damon merengkuh bahu Adele lalu
mengecup keningnya penuh kasih, “Aku mencintaimu,” bisiknya ditelinga Adele.
“Aku tahu, tidak perlu diulang-ulang,” kata Adele yang lalu tersenyum geli.
Wajah mereka hanya berjarak lima
senti. Detak jantung Adele memburu, yang dia inginkan hanya satu semoga
jantungnya tidak meloncat dari tempatnya berada. Adele bisa merasakan hangat
diwajahnya meskipun angin tidak berhenti bertiup, pipinya memerah.
KRINGGGGGGGGGGGGGGG
Handphone
Adele dan Damon berbunyi bersamaan. Damon mendengus kesal, merutuki siapapun
yang menghancurkan menit-menit impiannya, menghancurkan kekhusyukan yang tiga
menit terakhir ia bangun. Adele hanya tersenyum geli melihat raut wajah Damon
yang kecewa.
“It’s not the time,” terdengar suara
ceria diikuti tawa yang berderai renyah dibelakangnya. “Mamaaaaaaaa,” suara
Damon merajuk. Bersamaan dengan itu Adele juga ikut merajuk pada Papanya.
Ini dia keajaiban yang Adele maksud, tidak harus
keajaiban besar. Bisa bahagia bersama Damon pun itu sudah lebih dari cukup. Keajaiban
itu selalu ada, walaupun kadang Adele tidak menyadarinya. Mulai dari
kariernya—yang awalnya sangat ia benci, kemudian ternyata kepergiannya ke
Berlin yang justru juga membawa keajaiban yang selalu dia tunggu. Kebebasan dan
cinta. Mulai saat ini dan seterusnya Adele akan selalu menyukai musim gugur.
Dan Berlin.
2=maukah kau menikah denganku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar