Laura
Aku memang penggemar berat
Coldplay sejak dulu sayangnya jika menunggu Coldplay menggelar konser di
Jakarta entah sampai kapan. Jadi, ketika world tournya 2016 ini ada yang di
Melbourne aku cepat-cepat membeli tiket konser bahkan sebelum tahu akan pergi
dengan siapa dan menginap di hotel mana atau mau kesana pakai apa. Satu tiket
terkantongi, pikirku pergi sendiri tidak masalah toh aku sudah biasa perjalanan
dinas sendiri Jakarta-Singapura, Jakarta-Jepang, you name it.
Aku tiba di Melbourne satu minggu
sebelum konser, memutuskan untuk mengambil cuti dan “lari” dari rutinitas
sebentar. Kemudian, memesan kamar lewat airbnb karena tidak ingin merepotkan
siapapun yang aku kenal di sana. Juga karena aku ingin menikmati waktu sendiri
dan Melbourne terlihat ramah untuk seorang pendatang.
But apparently going to a concert alone is a whole different story. Berdiri sendiri diantara ribuan orang
tanpa satu orang pun mengenalimu serasa melepaskan semua embel-embel yang kamu
bawa bersamamu sepanjang hidupmu. Seperti kata seseorang yang aku temui di
pesawat seminggu yang lalu bahwa you don’t
need to define who you are in front of people because they don’t care. Mendengar
percakapan ribuan orang dalam bahasa yang tidak familiar di telinga that’s a whole different story.
So, let me tell you mine, aku sudah berada di sekitar Etihad
Stadium berjam-jam sebelum konsernya dimulai, menghabiskan waktu di Woolshed
memandangi orang-orang yang niat mendirikan tenda di sekitar Stadium hanya
untuk mendapatkan posisi terbaik saat konser. Konser Coldplay memang selalu
luar biasa, bukan hanya dari segi performa bandnya tapi bahkan secara visual, their concert is always visually pleasing,
tidak pernah mengecewakan.
Dibuka dengan lagu sesuai judul
konsernya A Head Full of Dreams aku
ikut melompat-lompat bersama dengan ribuan orang lainnya. Gelang LED ditanganku
menyala-nyala sesuai lagu yang dibawakan. Jangan ditanya seperti apa aura Chris
Martin diatas sana karena aku sendiri tidak bisa menjelaskannya. We did nothing but singing and screaming and
dancing.
Berjam-jam setelahnya, Chris Martin
naik ke atas panggung tanpa diikuti seluruh anggota band-nya hanya dia dan
grand piano diatas panggung. Dia menyayikan lagunya dari albumnya yang
terdahulu The Scientist bersama
penonton konser lainnya tapi entah mengapa aku hanya bisa berdiri disana tidak
merasakan orang-orang disekitarku, membeku lalu merasakan ada air mata mengalir
begitu saja saat mendengarnya menyanyikan lagu itu. I’m crying alone in the middle of concert for no reason.
Adji
Sudah lama gue memperhatikan dia
yang ikut heboh berjingkrak-jingkrak dengan penonton lainnya. She looks happy dan membuat gue akhirnya
menekan shutter kamera tanpa ijin. Gue
bukan stalker tapi melihat seseorang begitu bahagia kadang membuat lo ikut
tersenyum, right?
Kalau ditanya siapa dia, gue akan
jawab namanya Laura. Kerja dan tinggal di Jakarta. Ke Melbourne sendirian
katanya hanya untuk liburan. Bukan gue bukan maniak pemburu orang.
Gue ketemu Laura di penerbangan
menuju Melbourne satu minggu yang lalu. Dia duduk tepat disebelah gue. Gue tahu
perjalanan Jakarta ke Melbourne akan menjadi perjalanan yang tidak singkat jadi
untuk mengurangi kecanggungan akhirnya gue mengajaknya ngobrol.
“Business or pleasure?” Tanya gue sebasi itu.
Dia menengok, mematikan apapun
yang saat itu sedang dia tonton di pesawat, “Pleasure,”
katanya sambil tersenyum.
Dan semudah itu pula kami memulai
obrolan tentang banyak hal. Biasanya, yang duduk disamping gue kalau bukan
bapak-bapak, ibu-ibu yang hampir selalu berusaha menjodohkan gue dengan
anaknya. Jadi saat gue bertemu dia, I
know it’s gonna be a whole different journey.
“Ke Melbourne sama siapa, Ra?”
“Sendirian aja sih gue. Mumpung
bisa ambil cuti. Lo sama siapa, Ji?”
“Gue bertiga sama temen-temen tapi
mereka udah berangkat duluan. Jadilah gue ditinggal sendiri.”
“Kerja dimana, Ra? I don’t mean
to be rude. Kalo ga dijawab nggak apa-apa, Ra,” kata gue sebelum dikira lancang
nanya-nanya personal stuff.
“Di Chevron, Ji. Di kantornya aja
tapi nggak di offshore. Lo sendiri?”
“Gue? Gue kesana-kesini, Ra.
Kalau ada yang minta difoto ya gue datang. Life
story of tukang foto.”
“Lo fotografer?”
“No, I don’t call myself that. Lebih enak kalo jadi orang itu nggak
perlu mendefinisikan dirinya siapa, Ra. Lo nggak perlu mendefiniskan diri bahwa
gue anaknya pak ini yang punya perusahaan itu jadi lo harus manggil gue dengan
sebutan begini. Sebutan-sebutan itu yang akhirnya justru membatasi ruang gerak
lo buat jadi diri lo yang sebenarnya, Ra.
“Emang lo anaknya siapa, Ji?”
tanyanya dengan muka polos yang benar-benar membuat gue kehilangan kata-kata.
Gue akhirnya hanya bisa tertawa
dan membuatnya semakin bingung, “Ih kok ketawa, gue nanya beneran.”
“Laura, itu cuman permisalan.”
Yang gue sesali dari hari itu
adalah ketika akhirnya pesawat itu mendarat and
we said goodbye, gue lupa untuk meminta nomornya. Mungkin dia pikir gue
brengsek setelah obrolan panjang Jakarta-Melbourne gue pergi begitu saja
seakan-akan tidak berarti apa-apa.
Tapi kemudian gue melihat dia
lagi di pintu masuk Etihad Stadium. Masih sendirian seperti sengaja ingin
menikmati semuanya hanya dengan dirinya sendiri. Jadi gue diam saja tidak
berusaha menyapanya.
Berjam-jam setelah A Head Full of
Dreams, Yellow dan lagu lainnya, gue sedang tidak sengaja menengok saat
melihatnya menangis di tengah Konser Coldplay malam itu. Kami sama-sama di Arena
3, gue berdiri hanya beberapa meter jauhnya dari dia, tapi saat itu gue tidak
tahu kemana pikirannya pergi. Melihatnya begitu hancur malam itu satu-satunya
hal yang ingin gue lakukan hanyalah menghampirinya dan menemaninya. Tapi tidak
gue lakukan.
Setelah konser selesai gue
berpamitan dengan teman-teman gue dan memutuskan untuk mencari Laura. Gue
menemukannya di luar Etihad Stadium sedang berjalan menuju Southern Cross
Station.
“Ra, Laura!”
Dia berhenti melangkah dan
menengok. Matanya menemukan gue yang berlari mengejar dia.
Laura
“Ra, Laura!”
Aku secara spontan menoleh ke
belakang. Kemudian aku melihatnya berlari ke arahku. Mukanya memerah bekas
berlari, tapi dia tersenyum.
“Hai,” katanya.
And here comes another story and another problem berbentuk seorang
manusia bernama Adji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar