Senin, 18 Juni 2012

Di Tempat Khusus


Aku merasa hidup itu seperti sawah. Punya banyak jalan, juga persimpangan. Banyak ilalang juga semut merah. Ketika seseorang memutuskan untuk ke sawah, dia pasti punya tempat untuk dituju. Tempat dimana dia akan berhenti berjalan. Dan melakukan apa yang ingin dia lakukan.
                Seperti juga hidup. Suatu saat kita harus terus berjalan, walaupun kadang berhenti untuk menentukan pilihan. Memilih jalan yang akan dilalui. Jalan yang banyak ilalang atau jalan yang banyak semut merah. Jalan yang harus memutar atau jalan yang lebih cepat. Jalan yang penuh lumpur atau jalan yang lebih kering. Itu tergantung kita. Setiap jalan yang kita lalui akan menimbulkan konsekuensi berbeda.
                Karena seperti dalam Spiderman aku mengutip kata “Seiring kekuatan yang besar, ada tanggung jawab yang besar pula”.
                Saat kita berjalan kita harus tahu apa yang kita tuju, dan apa yang harus kita lakukan. Tahu kapan kita harus berhenti dan kapan kita harus tetap berjalan. Karena seperti itulah hidup, apapun itu harus tetap berjalan.
                "Winaaaaa," panggil Bunda dari lantai bawah.
Aku menggeliat, kemudian mataku melihat jam dinding. Aku baru sadar sekarang sudah pukul setengah tujuh.
                “Astaga, Tuhan!” aku kemudian menghambur ke kamar mandi.
                “Bun, aku berangkat,” aku mencium tangan Bunda. “Daaaaa,” aku melambaikan tangan. Sebenarnya sebagai tanda aku sudah terlambat hari ini.
***
                “Ibu sudah capek ngurusin kamu telat tiap hari, Win. Kamu bangun setiap pagi jam berapa?” tanya Bu Laras guru BP yang setiap hari memberiku hukuman karena telat masuk sekolah.
                “Setengah tujuh,” jawabku enteng.
                Bu Laras menggeleng tak percaya. "Sebagai hukumannya kamu harus membersihkan kelas XII seluruhnya!” kata Bu Laras
                “Kelas XII?” aku menelan ludah. “Sial!” umpatku dalam hati. “Tap­­—“ aku belum selesai mencari alasan Bu Laras sudah memotong omonganku.
                “Nggak ada tapi, lagipula apa salahnya sama kelas XII anggap saja sekalian perkenalan kalau kamu itu tukang telat,” kata Bu Laras.
                “Ya, Bu. Saya permisi,” aku meninggalkan kantor BP yang berada disamping ruang Kepala Sekolah itu. Tempatnya tertata rapi, bersih cukup wangi juga. Tapi kantor ini adalah satu-satunya ruangan terhoror di sekolah karena tentu saja gurunya juga horror.
***
                Hari ini, aku mengerjakan hukuman ditemani Tania. Sekalian melihat-lihat kakak kelas katanya. Kelas XII IPA 2. Aku melihat di papan identitas di atas pintu.
                “Huh,” aku menghela nafas. “Masih ada tiga kelas lagi, dan gila aja tuh guru BP emangnya aku disini cleaning service, awas aja tuh Bu Laras.”
                “Sabar aja, Win. Kan aku temenin disininya,” kata Tania sambil tertawa.
                “Iya, kamu nemenin tapi nggak bantu apa-apa. Terus apa gunanya? Nggak guna banget sih,” kataku ketus.
                “Broooook!”
                “Awwwww,” suara berasal dari belakang punggungku.
                “Tan—“ bukan Tania padahal aku sudah mengulurkan tangan. Aku membatu. Aku kemudian menutup mata dan mulut.
                Orang itu melirikku sekilas, tatapannya membunuh. Tepat sasaran, tatapan yang membuatku bersalah. Sangat bersalah. Mataku hanya mengikuti bayangnya pergi. Dan akhirnya menghilang di balik koridor.
                Aku menatap Tania dengan tatapan siapa-dia-tadi- aku tak habis pikir ada orang sedingin dia.
                “Mika Adiga Hendrarto, kelas XII IPA 3. Orangnya dingin, jarang senyum, jarang bicara, pintar dalam segala bidang, tapi nggak untuk olahraga, nggak pernah ikut olahraga, temennya sedikit,” itu dia Tania.
                Aku menatapnya lagi dengan tatapan ada-apa-dengan-dia- kemudian meng-oh-kan.
                Benar seperti dugaan Tania, aku bertemu lagi dengan Mika alias Adiga alias Hendarto di XII IPA 3. Sekarang dia berkacamata, membolak balik halaman buku. ENSIKLOPEDIA TEORI RELATIVITAS.
                “Wow,” aku berdecak. “Ini orang bener-bener culun, aneh, dan nggak waras,” kataku dalam hati.
                Aku memasuki kelas, berharap dia tidak melihatku. Dan dia memang tidak melihatku, masih terpaku dengan Ensiklopedia dua ratus halaman yang ada didepannya. Atau mungkin memang tidak tertarik melihatku.
***
                Hukuman hari ini selesai, aku masih kebagian kelas matematika dua jam pelajaran.
                “Bad day! Terkutuk hari ini!” kataku dalam hati mengutuki hari yang mempertemukanku dengan orang yang super dingin, dan benar-benar aneh.
                “What your feel now?” Tania mengamatiku cemas dengan sikapku yang agak gusar.
                “Not good,”  jawabku singkat tanpa menengok dan melihat ekspresinya sekarang. Aku hanya bisa berharap dia tidak berasumsi macam-macam. Tidak berfikir aku akan bunuh diri menengguk secangkir obat nyamuk atau menggantung diri di kamar atau menyuntikkan morfin tepat di jantung setelah hari ini. Karena its not me anymore!
                Aku kemudian melirik sedikit dari balik buku matematika yang aku gunakan untuk menutupi wajahku yang sangat acak-acakan.
                “Fiuh!” aku lega.
                Jam berjalan sangat lambat, sepertinya benar-benar menguji kesabaranku. Atau mungkin memang bumi sudah belajar untuk berhenti berputar. Aku melirik jam tangan biru yang ku gunakan. Pukul 13.15, aku kemudian menghela nafas dalam-dalam.
                “Aku masih harus bertahan,” kataku dalam hati sampai akhrinya bel pulang sekolah berbunyi.
                Aku pulang seperti biasa, tidak ada yang berubah. Hanya saja, retina mataku menangkap bayangan yang tidak asing. Aku mencoba mengingatnya, tapi nihil.
                “Siapa? Dimana?” kataku bergumam tidak jelas.
                Orang itu melewatiku, dingin. Tidak melirikku sama sekali, mataku mengikuti arah jalannya. Kemudian aku ingat.
                “MIKA ADIGA HENDARTO,” aku berteriak karena terlalu kaget.
                Dia menghentikan langkahnya, kemudian berbalik badan dan melihatku dengan tatapan, siapa-kamu. Aku buru-buru menutup mulut dengan kedua tangan. Aku hanya tersenyum sambil melambaikan tangan pertanda “lupakan saja”. Dia menatapku, lebih tepatnya mengamatiku dari atas sampai bawah.
                “Tuhan, semoga dia tidak mengenaliku,” aku berdoa dalam hati.
                “Kamu? Siapa?” tanyanya polos.
                “Fiuh, syukurlah,” aku bicara lebih pada diriku sendiri. “Bukan siapa-siapa,” aku berjalan sambil lalu.
                “Gila, ini orang beneran amnesia apa pura-pura nggak kenal? Apa dia emang nggak mau kenal?” aku berbicara sambil berjalan memasuki halaman rumah.
                “Great! Terrible, and worst day!” kataku sambil menghempaskan diri di atas ranjang warna ungu dengan aksen putih. Aku tutup hari itu dengan membenamkan diri dalam kamar mandi menikmati air hangat yang mengucur dari shower diatasku.
***
                Aku tidak melihatnya hari ini, pagi ini lebih tepatnya. Hari ini aku lebih memilih untuk tidak telat, daripada harus telat dan dihukum mengepel kelas XII bertemu dengan orang dingin bernama MIKA ADIGA HENDARTO.
                “Win,” sapa seseorang dari belakang punggungku.
                “Iy—,” kataku terhenti waktu tahu siapa yang memanggilku. “W-H-A-T? M-I-K-A,” kataku dalam hati.
                “Buku kamu jatuh, benerkan Wina Septyadianing Putri?” tanyanya memastikan sambil mengulurkan buku.
                “Iya, ma-kas. Makasih,” kataku agak gugup. “Bisa ngomong juga dia rupanya,” aku bergumam tidak jelas.
                Dia hanya tersenyum simpul, lalu berjalan melewatiku. Menuju koridor dekat ruang guru. Sedangkan aku terpaku diam, bagaikan patung dipajang tanpa jiwa tak bernyawa.
                “Senyumnyaaaaa,” aku tersenyum pada diriku sendiri. “Aku perlu melihat matanya, esok.”
                Aku berjalan, lalu berhenti sejenak. ESOK? Apa yang aku katakan tadi? Untuk apa aku bertemu dengannya esok?
                Hari ini, pelajaran seperti biasa. Pelajaran olahraga, aku kemudian berganti pakaian dan berlari ke arah lapangan sekolah. Aku melihat Mika disana, bukan di lapangan sekolah. Tapi di lorong dekat lapangan sekolah, berjalan bersama seorang cewek yang juga berkacamata. Ada perasaan membuncah di dadaku.
                “Aku benci, kalian,” kataku agak keras sambil mengepalkan tangan.
                “Siapa?” tanya Tania yang sudah berada di belakangku. Tania menyentuh pundakku, dan mengikuti arah pandangku.
                “MIKA?” tanyanya memastikan bercampur kaget yang sangat terlihat dari suaranya.
                “Ah, sudah deh. Nggak usah ikut-ikut. Kesana yuk,” ajakku agar Tania tidak bertanya lebih jauh.
                “Kamu cemburu, ya?” tanyanya penuh selidik.
                Aku tidak menjawab. Hening.
                “Aku cemburu?” aku bertanya pada diriku sendiri dalam hati. “Apa benar? Aku sudah gila.”
                “Bener, kan?” Tania masih belum menyerah.
                “Shut up! Enggak, ngerti?” mataku menatap Tania lekat-lekat berusaha supaya dia mempercayai omonganku.
                Omongan Tania memenuhi kepalaku. Aku tidak mungkin cemburu, apa mungkin aku menyukainya hanya karena senyumannya? Terlebih dia bukan orang yang banyak bicara. Mana mungkin? Aku memastikan lagi pada hatiku sendiri. Aku tidak mendapatkan jawaban apapun, karena sebenarnya hatiku meng-iya-kan. Tapi logikaku menolak hal itu.
                Mika lewat di depan hadapanku. Lagi. Hari ini. Ada apa dengan dia? Mau coba-coba tebar pesona?
                “Wina,” sapanya datar tapi tetap dingin.
                “Iya?” aksenku lebih pada bertanya dari pada meng-iya-kan.
                “Kamu yang kemarin itu?” tanyanya penuh selidik.
                “Eh. Umm… He-eh,” jawabku salah tingkah. “Rumahmu di kompleks itu juga?” tanyaku memastikan.
                “Iya,” jawabnya singkat. “Maaf, aku harus pergi,” katanya kakinya sudah akan melangkah waktu aku membuka mulut.
                “Nanti aku ke rumahmu ya?” aku agak berteriak karena dia sudah berjalan menjauh.
                Dia hanya tersenyum, senyum yang sama. Yang membuat hatiku luluh berantakan, membekukan segala hal yang berbentuk kesal.
                “Aku menyukaimu, Mika. Aku menyukai senyummu, terlebih matamu,” aku tersenyum geli melihat pengkuanku sendiri.
                Sepulang sekolah, aku menunggu di parkiran. Menunggu Mika dan mengajaknya pulang bersama. Tap, sebentar. Aku tidak bawa kendaraan, Mika juga. Terus buat apa aku menunggu kurang kerjaan disini? Akhrinya setelah beberapa lama, aku melihat Mika berjalan akan keluar dari gerbang sekolah.
                “Kak Mika,” panggilku agar lebih sopan aku beri title “KAK”
                Dia menengok dan mencari sumber suara, sampai akhirnya dia menemukanku berlari ke arahnya. Dia menungguku sampai aku berada di sisinya. Kami berjalan berdua keluar dari gerbang, tidak ada mata yang memandangi kami seperti disinetron. Ralat. Ada sepasang mata, hanya sepasang. Tania memandangiku dari dekat lapangan.
                Kami menghabiskan waktu berjalan berdua sampai ke rumah dalam diam, dia tidak menanyakan apapun. Jadi aku putuskan tidak menanyakan apapun juga. Padahal banyak hal yang ingin aku tanyakan.
Seperti, kenapa dia tidak pernah ke kantin? Kenapa dia lebih suka baca buku ensiklopedia dari pada komik? Kenapa dia tidak pernah ikut olahraga? Kenapa dia jarang biacara? Kenapa dia sering banget kasih senyum simpul? Tapi akhirnya aku urungkan semua niatku karena dia-pun tidak bertanya apa-apa denganku.
                “Mik,” akhirnya aku juga yang memulai. Aku menyerah dalam diam begini.
                “Kenapa?” tanyanya dingin matanya menatapku.
                “Kok aku jarang banget ya lihat kamu di kompleks?”
                “Aku, aku sering pulang pergi. Jarang di rumah.”
                “Kenap—,“ aku belum sempat selesai bertanya dia sudah menyambar.
                “Kamu suka bunga?” tanyanya kini melembut.
                “Eeh? Lumayan,” jawabku salah tingkah.
                “Bunga apa?” matanya kini berpindah ke jalan aspal di depan kami.
                “Mawar, kamu suka bunga?” tanyaku. Dalam hati aku mengutuki diriku sendiri, “Mana ada cowok suka bunga. Goblok banget sih aku,” lanjutku.
                “Lumayan,” jawabnya singkat.
                “Suka bunga apa?” tanyaku seperti mbak-mbak penjual bunga yang ingin merayu pembelinya.
                “Semuanya lumayan suka, kecuali mawar,” matanya menerawang lagi. Aku mengamatinya, selalu mengamati setiap perubahannya.
                Sudah banyak pertanyaan yang siap mengucur dari mulutku tapi dengan susah payah aku menahannya. Akhirnya aku hanya berkata “Oh”.
                Kami diam lagi. Hanya suara angin dan daun bergesekan yang menjadi musik latar kami. Seandainya ada lagu romantis yang aku harapkan saat ini menjadi musik latar adalah A Thousand Years-nya Christina Perri.
                Aku menghabiskan sepanjang malam bersama Mika malam ini, belajar berbagai macam hal. Dia mengajariku matematika, fisika, biologi, kimia dan semuanya menyenangkan. Rasanya lebih baik Mika yang jadi guru daripada yang ada di sekolah. Mika yang aku kenal saat mengajar, sangat berbeda dengan Mika yang dingin dan pendiam. Mika yang aku kenal itu sabar, telaten, dan bahasanya mudah dimengerti.
                Aku mengamati rumahnya semua interior dan catnya berwarna cokelat dipadukan dengan kuning keemasan. Ada kesan glamour dan seperti di istana Buckingham.
                “Kamu suka cokelat, ya?” tanyaku tanpa berpikir. Kalau dipikir “yaiyalah, aku suka cokelat ngapain ditanyain?” pasti itu jawabnnya.
                “Enggak, itu Mama yang suka,” katanya mengejutkanku.
                “Kamu suka warna apa?”
                “Abu-abu,” katanya tanpa penjelasan.
                “Aku benci abu-abu,” kataku lebih pada diriku sendiri. “Kamu tahu nggak?”
                “Tahu apa?” tanyanya penasaran, kali ini dia terlihat menggunakan emosinya. Bukan amarah.
                “Aku selalu bermimpi ditembak cowok sambil dinyanyiin lagunya Inilah Cintaku miliknya Petra, sambil dikelilingi lilin,” kataku panjang lebar.
                Dia hanya menatap mataku lama, aku merasakannya mencari celah diantara mataku yang bisa mengingkari bahwa pernyataanku itu adalah sebuah kejujuran. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku jaraknya hanya beberapa sentimeter. Kemudian dia tersenyum jahil melihatku salah tingkah, aku hanya berharap dia tidak merasakan berapa kencangnya detak jantungku.
                Beberapa bulan terakhir ini aku semakin dekat dengan Mika, aku semakin yakin bahwa aku menyukainya sangat menyukainya, caranya berpikir, caranya berbicara, caranya menatapku, caranya tersenyum, aku menyukainya apa yang ada dalam dirinya.
***
                “Kamu lihat, Mika?” tanyaku pada setiap orang yang aku temui di sekolah. Bibirku sudah menebal dua sentimeter karena pertanyaan yang sama kepada lebih dari tiga ratus orang di sekolah.
                Jawaban yang aku dapat selalu sama “TIDAK”. Yang aku pikirkan saat ini adalah, Mika meninggalkanku tanpa penjelasan, tanpa kabar, dan dia telah membuatku menyukainya tanpa dia sadar. Dia mencampakkanku begitu saja tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku menangis menyadari hal itu. Aku mengutuki diriku sendiri kenapa aku mengacuhkan logika yang selama ini aku pakai? Inilah saat-saat dimana aku benar-benar menghilang karena malu yang tak terhingga. Setiap kali dalam masalah hal yang paling ingin dan wajib aku lakukan adalah mandi selama mungkin dibawah guyuran air hangat yang benar-benar bisa menenangkan pikiran.
                Aku tetap tidak bisa kembali hidup normal setelah kepergian Mika tanpa kabar, sama sekali. Dia tidak menelponku sama sekali, mengirim SMS-pun tidak. Aku benar-benar muak! Aku membenci keadaan ini. Lebih baik aku sama sekali tidak mengenal Mika sebelumnya, tidak mengikuti adrenalin yang ada dalam diriku.
                “Mikaaaaaaa, aku membencimu!” aku berteriak di dalam hutan pinus yang berjarak tiga kilometer dari rumahku. Seperti di sinetron-sinetron karena terlalu sedih aku sama sekali tidak peduli dengan rasa capai yang muncul dari tubuhku. Aku mengacuhkan logika ku lagi, aku menggunakan hatiku lagi.
                TOK! TOK! TOK!
                “Mbaaaaak, ada tamu,” panggil Inem dari luar pintu kamar.
                “Siapa?” tanyaku dari dalam kamar.
                “Turun sendiri aja deh, mbak. Biar surprise gitu lo,” logat jawa kental ada dalam suara Inem.
                “Mika?” aku terpaku menatapnya tak percaya setelah semua yang dia lakukan dia datang dalam keadaan sehat, lebih kurus memang tapi lebih cerah dari dua minggu yang lalu saat terakhir aku melihatnya.
                “Aku mau minta maaf, maaf membuatmu khawatir. Eyangku sakit—,“ kata-katanya terhenti saat aku mulai menyambar omongannya.
                “Kamu enak banget, datang pergi gitu aja. Semudah itu kamu pergi, terus kembali lagi minta maaf. Kamu nggak nyadar betapa khawatirnya aku. Kamu pergi tanpa kabar sedikitpun. Kamu itu abu-abu. Aku nggak suka, kamu nggak jelas,” aku sudah hampir menangis. Air mata yang aku tahan akhirnya mengucur deras tanpa disuruh.
               
“Aku. Apa yang akan kamu lakukan ketika seseorang memberi tahumu bahwa umurmu tinggal sebanyak kelopak mawar dalam satu batang mawar?” matanya menatapku meminta jawaban.
            Aku diam, aku tidak tahu apa yang dia maksud.
            “Yang pasti, aku bakalan sedih. Frustasi, tapi nggak dengan pergi tanpa kabar,” aku masih berapi-api.
***
            Hari ini, ulang tahun sekolah. Sekaligus ada farewall party untuk kelas XII. Hubunganku dengan Mika masih tarik ulur. Tidak ada yan berubah, tapi Mika sebentar lagi akan kuliah. Karena itulah aku takut ke sekolah hari ini. Tapi akhirnya aku berangkat sekolah. Acara sudah dimulai.
            “Ini dia penampil kita yang kedua,” suara Gia pembawa acara sampai di telingaku.
            Aku terperanjat, Mika akan menyanyi. Suara gitar sudah mulai terdengar, aku tidak tahu dia bisa bermain gitar.
            “Ini lagunya Blake Shelton, God Gave Me You. Semoga kalian suka,” suara Mika mengalun, seperti bass mengisi udara yang mulai sesak.
i've been a walking heartache
i've made a mess of me
the person that i've been lately
ain't who i wanna be
but you stay here right beside me
and watch as the storm blows through
and i need you
cause god gave me you for the ups and downs
god gave me you for the days of doubt
and for when i think i lost my way
there are no words here left to say, it's true
god gave me you
gave me you
there's more here than what we're seeing
a divine conspiracy
that you, an angel lovely
could somehow fall for me
you'll always be love's great martyr
and i'll be the flattered fool
and i need you
god gave me you for the ups and downs
god gave me you for the days of doubt
and for when i think i lost my way
there are no words here left to say, it's true
god gave me you
on my own i'm only
half of what i could be
i can't do without you
we are stitched together
and what love has tethered
i pray we never undo
cause god gave me you for the ups and downs
god gave me you for the days of doubt
god gave me you for the ups and downs
god gave me you for the days of doubt
and for when i think i lost my way
there are no words here left to say, it's true
god gave me you, gave me you.
he gave me you.

            Lagunya selesai, semua orang tersihir. Ini dia kenangan yang akan Mika berikan. Mika kemudian menemuiku.
            “Aku harus pergi besok. Aku harus ke Jakarta, nggak tahu kapan bisa balik. Aku harus nemenin Eyang,” matanya tidak menatapku sekarang, matanya menerawang. Membuatku tidak bisa mencari kejujuran yang aku harapkan tidak ada.
            “Oh, great! Sampaikan salamku untuk Eyangmu. Semoga cepat sembuh, kamu boleh pergi sekarang,” aku tidak melihatnya saat berbicara aku berbalik badan tidak sanggup melihat wajahnya lebih lama. Menyakitkan itu yang aku rasakan.
            Inilah yang aku takutkan, dan ini terjadi hari ini. Aku benci kamu Mika, aku benci kehadiranmu dalam hidupku. Aku benci kamu merusak benteng yang selama ini aku bangun, kamu merusak semua kekuatan yang aku sisakan. Setelah kepergian Papa tiga tahun yang lalu, aku merasakan hal yang sama. Kehilangan.
            Mika benar. Dia pergi. Sekarang dia sudah pergi selamanya dari hidupku. Aku akan menghapusmu. Itu janjiku. Aku terlalu sakit untuk mengatakan itu. Aku benci nama itu.
***
                TOK! TOK! TOK!
                “Ada surat, buat mbak Wina Septyadianing Putri,” kata pak pos.
                “Itu saya, pak,” aku mengabur dari atas sofa kulit warna hitam di ruang tengah.
                Aku membukanya. Benar. Itu untukku. Ada namaku disana.
Surat Pertama, bertanggal 11 Mei 2011 :
"Apa yang akan kamu lakukan ketika seseorang memberi tahumu bahwa umurmu tinggal sebanyak kelopak mawar dalam satu batang mawar?" masih ingat kata-kata itu? Itulah yang aku alami.
Sungguh, kamu tidak akan tahu seberapa menyakitkannya itu sebelum kamu sendiri yang merasakannya. Dan.
Sungguh, aku tidak ingin kamu merasakannya.
Kamu masih ingat lagu yang aku nyanyikan saat ulang tahun sekolah? Itu untukmu.
Aku masih ingat kamu ingin seseorang menyatakan perasaannya dengan menyanyikan lagu Petra, Inilah Cintaku dengan dikelilingi lilin.
Aku ingin melakukannya saat itu juga untukmu, andai saja waktu adil untukku. Tapi waktu tak pernah adil untukku.
Aku pergi darimu hanya untuk membuatmu semakin membenciku. Hanya untuk membuatmu berhenti mengharapkan apa yang tidak mungkin kamu dapat.
Sungguh, aku tidak ingin menyakitimu. Tidak sekalipun. Aku hanya ingin kamu tersenyum saat aku sudah tidak ada lagi. Hanya ingin kamu tidak menyia-nyiakan air matamu untukku.
Aku mencintaimu, Win. Dengan segenap rasa yang tak pernah bisa kuungkap dengan kata. Karena, itulah aku.
Ijinkan aku membawa separuh hatimu pergi terkubur bersama jasadku. Ijinkan aku merasakan cinta dalam hatimu yang tak pernah ku sentuh. Karena.
Sungguh, aku sangat mencintaimu. Jangan ijinkan aku untuk melupakanmu walaupun hanya sedetik. Aku akan abadi disana bersama cinta dan hatimu yang ku bawa.
Sungguh, aku tak ingin kamu mengingatku jika itu hanya membuatmu menangis.
Inilah alasan kenapa aku tidak pernah menginginkanmu saat kamu mendekatiku.
Karena aku tidak mau menyakitimu terlalu dalam
ps: awas ya jangan nangis kalau kamu baca ini. Stay alive ya Wina. Waktu memang nggak pernah adil untukku, tapi dia adil untukmu. Setelah baca surat ini,  jangan membenciku karena dengan begitu kamu akan mudah melupakanku. Aku mencintaimu.
                                                                                                                        Mika Adiga Hendarto
                Aku menangis, air mataku menetes. Ini dia aku dapat latar lagu yang tepat. Thinking Of You miliknya Katy Perry. 

Surat Kedua, bertanggal 12 Mei 2011 :
Ketika hidup tak pernah sejalan dengan logika. Bahkan kata hati tidak pernah dimengerti. Mencintaimu dengan cara yang berbeda adalah pilihan terhebat.
Ketika ego lebih dalam dari jurang tak berbatas. Dan harga diri adalah harga mati yang diagungkan. Memendam hati dalam peti penuh memori adalah hal terbaik.
Ketika sang senja bercerita tentang malam, tentang pantai. Bercengkrama tentang duka, tentang cinta, dan tentang kecewa.
Hanya sajak yang bisa ku ungkap sekarang. Karena bayangku nyata, masih ada dalam setiap bintang. Masih tersirat dalam setiap memori, tapi tak mengapa raga yang terbalut luka bernanah hancur bersama dengan mengeringnya bunga diatas pusara. 
Karena jiwa yang abadi selalu ada, tanpa pernah memudar. Karena jiwa yang mencintaimu juga akan abadi, tak akan pernah ikut mati bersama raga yang tak berharga.
Yakinlah, aku mencintaimu. Dalam setiap nafas yang ku hembus.
Yakinlah, aku mendambamu. Selalu, Setiap detik dalam hidupku.
Yakinlah, semua ini milikmu. Setiap tawa dan tangisku.

                                                                                                                                Mika Adiga Hendarto
           
Aku masih menangis, rupanya Mika sakit. Tumor otak, dan aku sama sekali tak tahu. Keadannya diperparah dengan penyakit Von Willebrand-nya. Sekarang aku tahu alasan dia tak pernah olahraga, aku tahu alasan dia menjadi pendiam, aku tahu kenapa dia terlihat sangat rapuh untuk ukuran lelaki. Aku tahu kenapa dia dingin kepada orang-orang. Aku tahu alasan dia pergi. Setelah tahu semuanya yang ada dalam hatiku hanya satu kata "menyesal"
***
               
     “Ramadhan tahun ini akan berbeda tanpa kamu, Mika. Aku menyayangimu juga. Sejak pertama kamu memberikan senyum untukku. Aku akan membawa separuh hatimu juga. Sekarang aku memiliki Rendi, dia menyanyangiku seperti kamu juga. Tapi dia berbeda denganmu tidak akan pernah sama, dia menghormatimu. Dia tidak berusaha mengambil tempatmu. Dan aku tetap akan menempatkanmu disini di tempat khusus,” aku menunjuk hatiku. Dua tahun setelah kepergian Mika. Aku berada di makam Mika, bersama Rendi. Rendi mencintaiku secara utuh, tanpa pernah mencoba mengambil posisi Mika di hatiku. Kemudian aku memeluknya. “Aku bahagia bersamamu,” aku membisikkan itu ditelinga Rendi.
                “Aku mencintaimu. Selalu,” Rendi mengecup keningku.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar