Bagaimana rasanya bila
kau mencintai sahabatmu sendiri? Atau bahkan dia bukan sahabatmu. Hanya kau
anggap sebagai sahabatmu agar kau bisa menutupi apa yang sebenarnya kau simpan.
Aku tahu rasanya. Itu seperti cinta yang tak kau akui keberadaannya, namun
sekuat apapun kau mencoba menghindar darinya, cinta akan mendorongmu lebih
dalam. Tak akan memberimu ruang untuk
sekadar bernafas. Tak akan memberimu ruang untuk sekadar melepaskan diri.
Aku tahu, ini hanya
cerita biasa. Sangat-sangat biasa. Namun, dibalik itu semua aku menikmatinya. Menikmati
setiap rasa sakit karena cinta itu sendiri. Menikmati setiap detik ketika aku
menunggumu mengirim pesan. Terlebih dari itu aku menyukainya. Menyukai ketika
aku berjalan sendiri dalam hujan dan
berharap kau akan sekadar berjalan bersamaku dalam diam. Karena kita tahu—kau dan
aku tahu—tidak mudah untuk saling memastikan bahwa kau dan aku baik-baik saja.
Tidak mudah untuk saling bercerita bahwa guru kita sangat membosankan. Atau
tidak mudah untuk berdiskusi tentang soal-soal trigonometri. Dan satu hal yang
sangat tidak mudah adalah membiarkan bibirku—dan hatiku—mengucapkan “selamat
tinggal” kepada cinta itu sendiri. Aku
juga tahu bahwa aku menyukai ketika moodku dengan mudah berganti hanya karena
satu pesan singkat. Aku juga tahu bahwa aku menyukai sabtu malam ketika kau
mengirim pesan. Tapi, aku juga tahu bahwa aku menyukai keadaan saat ini yaitu
ketika kau tidak tahu dan tidak mau tahu dengan perasaanku bahwa kita tidak
menjadi sepasang kekasih, bahwa kita tidak pernah berjalan beriringan. Karena
dengan begitu kita tidak perlu saling membenci dan menjaga jarak. Hanya perlu
menjaga agar semuanya baik-baik saja. Seperti saat ini.
bagus vi.. aku juga pernah merasakannya :p
BalasHapusEh makasoh lo han. Rasah curhat lo han :p
Hapus